Misteri Kotak Pandora Pendidikan Tinggi: Angka Partisipasi Kasar (APK)

Interkonektivitas yang ditawarkan oleh RI-4.0 juga telah melahirkan sebuah inovasi disruptif terbaru di dunia PT. Yaitu hadirnya lapak online (marketplace) UT Cyber-U.

Kamis, 25 Maret 2021 | 14:57 WIB
0
304
Misteri Kotak Pandora Pendidikan Tinggi: Angka Partisipasi Kasar (APK)
Perguruan tinggi (Foto: silabus.web.id)

UUD 1945 mengamanatkan dan mewajibkan kepada negara untuk memenuhi hak setiap warga negara untuk memperoleh dan memilih jenis pendidikan dan pengajaran sesuai dengan minat, bakat, kebutuhan, dan kemampuannya. Bahkan, negara mewajibkan setiap warga negara, setiap orang untuk mengikuti pendidikan dasar dengan biaya negara, sebesar minimal sebesar 20% yang dialokasikan dari APBN/APBD.

Untuk memenuhi amanah dan kewajiban tersebut, negara menyelenggarakan pendidikan dengan “sistem terbuka” (UU no.20/2003). Sistem terbuka ini juga berlaku pada jenjang pendidikan tinggi (UU no.12/2012). Di dalam penjelasannya, sistem terbuka adalah penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian program lintas satuan dan jalur pendidikan (multi entry-multi exit system).

Terbuka juga berarti bahwa peserta didik dapat belajar sambil bekerja, atau mengambil program-program pendidikan pada jenis dan jalur pendidikan yang berbeda secara terpadu dan berkelanjutan melalui pembelajaran tatap muka atau jarak jauh.

Pemenuhan hak belajar atau memperoleh pendidikan oleh negara dapat dicermati dari Gross Enrollment Ratio (GER) atau Angka Partisipasi Kasar (APK). Melalui GER/APK sebagai salah satu indikator capaian Indeks Pendidikan Tinggi dalam suatu negara, dapat diketahui seberapa tinggi kualitas dan kemudahan layanan yang disediakan oleh pemerintah untuk memenuhi hak masyarakat dalam memperoleh akses pendidikan.  

Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, hak warga negara untuk belajar atau memperoleh pendidikan tampaknya sudah terpenuhi secara maksimal. Data BPS 2020 menunjukkan bahwa GER/APK jenjang SD/MI/Paket A 106.32%, SMP/MTs/Paket B 92.6%, dan SM/SMK/MA/Paket C 84,53%. APK 2020 ini mengalami kenaikan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan 10 tahun lalu (2009), dimana jenjang APK waktu itu untuk SD/MI/Paket A 110,42% (V4.1%), SMP/MTs/Paket B 81,25% (^11.35%), dan SM/SMK/MA/Paket C 62,55 (^21.98%).  

Kewajiban negara yang masih perlu terus diikhtiarkan adalah pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi (PT). Data BPS 2020 menunjukkan bahwa APK jenjang PT hanya mencapai 30,85% atau naik 5.59% dari lima tahun lalu (2015) 25,26%. Artinya, ada 69.15% warga negara lulusan SM/SMK/MA/Paket C yang belum terserap atau mengenyam pendidikan tinggi. APK terendah terjadi di provinsi Kepulauan Bangka-Belitung (14,73%) dan tertinggi di provinsi DI Yogyakarta (74,69%).

Jika dibandingkan dengan negara-negara di Kawasan ASEAN, APK-PT Indonesia tersebut masih di bawah negara jiran, Malaysia (38%), Thailand (54%). Bahkan, Singapura mempunyai APK-PT mencapai 78%. Dengan APK seperti itu, maka daya saing SDM dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia masih rendah dan akan menjadi persoalan serius bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan Revolusi Industri 4.0 atau Society 5.0.

Banyak faktor mengapa APK-PT Indonesia masih rendah. Diantaranya adalah kendala/kesulitan biaya; adanya batasan (kuota) jumlah penerimaan mahasiswa; persebaran PT belum merata dan menjangkau seluruh wilayah tanah air (terkonsentrasi di pulau Jawa); dan rendahnya keinginan/minat lulusan SM/SMK/MA/Paket C untuk melanjutkan studi ke jenjang PT; prioritas pembangunan pendidikan baru pada usaha wajar (wajib belajar) pendidikan dasar 12 tahun; dan PT masih terlalu berorientasi akademis-kesarjanaan, dan masih sangat kurang membuka ruang untuk program profesi dan pendidikan vokasi yang sangat dibutuhkan untuk memenuhi angkatan kerja di berbagai sektor industri dan sektor jasa.

Apapun alasannya, negara (pemerintah) berkewajiban untuk memenuhi hak dasar tersebut. Beberapa ikhtiar sesungguhnya telah dilakukan oleh pemerintah (negara).

Di antaranya adalah memberikan bantuan menambah kuota penerimaan mahasiswa melalui pembukaan beberapa jalur; pemberian bantuan operasional perguruan tinggi (BOPT); memberlakukan dan menetapkan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT); memberikan beasiswa Bidikmisi/KIP-Kuliah bagi lulusan SM/SMK/MA yang berasal dari ekonomi lemah tetapi berprestasi; dll. Namun demikian, belum bisa menyelesaikan persoalan APK-PT.

Salah satu ikhtiar penting dan strategis lainnya, yang telah dilakukan oleh pemerintah (negara) untuk meningkatkan APK-PT di Indonesia adalah mendirikan institusi perguruan tinggi yang yang menerapkan “sistem terbuka”, fleksibel, dan multi entry-multi exit system, sebagaimana diamanahkan oleh UU no.20/2003. Institusi PT yang dimaksudkan adalah Universitas Terbuka (UT) yang didirikan pada tahun 1984 yang menerapkan sistem pendidikan terbuka dan jarak jauh (SPTJJ).

Salah satu faktor utama mengapa pemerintah (negara) mendirikan UT dengan SPTJJ, jelas dikemukakan di dalam konsideran Keppres no. 41/1984 tentang “Pendirian Universitas Terbuka.” Bahwa UT didirikan untuk memperbesar daya tampung perguruan tinggi, sehingga sejauh mungkin mampu menjangkau calon mahasiswa diseluruh pelosok tanah air, melalui cara dan pendekatan baru dengan memanfaatkan perkembangan teknologi. Hal ini kembali ditegaskan oleh Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin dalam acara silaturahmi dengan sejumlah organisasi Islam (18/07/2020). Menurut beliau, dengan SPTJJ “APK-PT bisa lebih ditingkatkan, karena biaya bsa terjangkau dan mudah diakses oleh siapapun.”

Dengan SPTJJ yang diterapkan, eksistensi UT mampu meningkatkan persentase jumlah mahasiswa Indonesia sebesar 5 – 6 kali lipat dari PT terbesar di Indonesia (saat ini, jumlah mahasiswa UT yang registrasi mencapai 311.028 orang). Bahkan, UT disebut sebagai salah satu PT terbesar/terluas di dunia dalam kategori pendidikan jarak jauh menurut versi Largest.com

Jumlah mahasiswa yang demikian besar tak mungkin bisa dicapai oleh PT manapun (PTN & PTS) di Indonesia, yang menerapkan sistem pembelajaran tatap muka yang sangat mengandalkan pada ketersediaan sumber daya (fasilitas dan infrastruktur) fisik berbasis geografis.

Dengan demikian, dari perspektif peningkatan daya tampung atau APK-PT, kehadiran UT sejatinya tidak seharusnya dilihat sebagai “the new competitor” bagi PT (PTN atau PTS) yang ada. Keberadaan UT seharusnya dimaknai sebagai bentuk kehadiran negara dalam rangka untuk meningkatkan dan memperluas pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh layanan PT yang layak dan berkualitas. Terutama warga negara yang berada jauh di luar jangkauan PT tatap muka. Pada titik ini, UT hadir untuk menjangkau mereka yang tak terjangkau (reaching the unreachable) karena sejumlah keterbatasan (ekonomi, geografis, usia, akses, dll.)

Namun demikian, diakui atau tidak, disadari atau tidak, pendirian UT telah menimbulkan beragam isu yang kurang welcome dan kurang mendukung dari sebagian sejawat PT. Padahal, seperti disampaikan oleh bapak Patdono Suwignjo (mantan Direktur Kelembagaan Kemenristekdikti) bahwa salah satu kelemahan mendasar dari PT di Indonesia adalah jumlah perguruan tinggi yang ada tidak sebanding dengan APK, karena daya tampung atau kapasitasnya sangat kecil, terutama PTS. Akhirnya, mayoritas (75%) PTS di Indonesia adalah PT kecil, dengan jumlah mahasiswa kurang dari 2.500 orang (20/11/2017).

Penambahan kapasitas atau daya tampung pun tidak serta merta bisa dilakukan. Selain karena segala sesuatunya telah diatur di dalam Peraturan Menteri (Permen) dan Undang-undang (UU), juga menyangkut keseimbangannya dengan ketersediaan dan kelayakan fasilitas dan sumberdaya layanan pendidikan yang bisa diberikan. Pada akhirnya, hal ini berkonsekuensi pada kualitas lulusannya.  

Kehadiran UT dengan SPTJJ semakin menemukan momen tepat dengan hadirnya revolusi industri keempat (RI-4.0) atau bisa disebut sebagai revolusi digital. RI-4.0 telah memberikan peluang, kemudahan dan keterbukaan akses dan berbagi beragam informasi secara cepat dan tak terbatas hampir dimanapun, kemanapun, kapanpun, dan oleh siapapun. Jika ini terwujud, maka secara tidak langsung merupakan sebuah tawaran segar bagi mahasiswa atau siapapun untuk mengatur dan menetukan sendiri secara otonom waktu, gaya, dan kecepatan belajarnya atau yang lazim disebut “heutagogy learning atau self-determined learning."

Interkonektivitas yang ditawarkan oleh RI-4.0 juga telah melahirkan sebuah inovasi disruptif terbaru di dunia PT. Yaitu hadirnya lapak online (marketplace) UT Cyber-U yang menggunakan teknologi blockchain jenis "public blockchain" yang bersifat opensource dan berbasis jaringan peer to peer yang terdesentralisasi. Untuk mendukung program ini Kemendikbud menggandeng dan bekerja sama perusahaan global seperti Amazon Web Service, Google, hingga Huawei.

Dengan teknologi jenis ini, seluruh PT di Indonesia, termasuk PT yang tak memiliki infrastruktur jaringan internet pun bisa memanfaatkan, bergabung dan berkontribusi di dalam lapak UT Cyber-U. PT dapat bekerjasama dengan PT lain untuk mengelola dan me-maintenance konten-konten pembelajaran atau pelatihan yang terdapat di blockchain tersebut. Sebuah impian yang sejatinya menjadi jiwa dan semangat dari kebijakan mas Nadiem dengan dengan Kampus Merdeka-nya, yaitu kerjasama, kolaborasi, dan sinergitas untuk mencapai tujuan bersama yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa.”

Dari sisi penggunaan teknologi, kehadiran lapak UT Cyber-U ini merupakan frontier dari kisah perjalanan panjang kemendikbud dan PT di dalam rangka membangun sebuah sistem layanan pendidikan yang fleksibel dan terbuka tidak hanya bagi mahasiswa, melainkan juga bagi seluruh warga negara Indonesia yang ingin memperoleh konten pendidikan dan/atau pelatihan yang memadai dan berkualitas. Dengan demikian, persoalan daya tampung pun (capacity) diharapkan tidak lagi menjadi isu utama dan berkelanjutan yang melahirkan pemikiran dikotomistis dan kompetitif diantara sesama perguruan tinggi.

Salam Kampus Merdeka.

***