Indonesia dan Fenomena "The Clash of Civilizations"?

Mengapa pula Indonesia yang “dipilih” sebagai medan pertempuran antar-peradaban?

Senin, 26 April 2021 | 18:01 WIB
0
369
Indonesia dan Fenomena "The Clash of Civilizations"?
Ilustrasi benturan peradaban (Foto: iqra.id)

Beberapa waktu belakangan, situasi perpolitikan nusantara sebagaimana terekam di berbagai lini dan kanal media massa dan media sosial cukup riuh dengan beragam peristiwa yang mengundang polemik dan kontroversi terkait dengan “agama” dalam ranah kebijakan dan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Diawali oleh pernyataan Kepala BPIP, Prof Yudian Wahyudi yang menyebut “Agama Jadi Musuh Terbesar Pancasila” (12/2/2020). Menurutnya, hal ini terjadi di era reformasi dimana asas-asas organisasi termasuk partai politik boleh memilih selain Pancasila, seperti agama. Disamping itu juga, ada kelompok yang mereduksi agama sesuai kepentingannya sendiri yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Mereka antara lain membuat Ijtima Ulama untuk menentukan calon wakil presiden yang tidak sesuai dengan Pancasila.

Peristiwa kedua adalah hilangnya “frasa agama” dalam visi pendidikan Indonesia 2035 yang terdapat di dalam “draft” Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 edisi Juli 2020 yang disusun oleh Kemendikbud. Di dalam visi tersebut dinyatakan bahwa pembangunan rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar dengan “menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila” (slide 29), dan tidak memasukkan “nilai-nilai agama”. Hal ini mengundang pertanyaan dan persepsi publik tentang adanya upaya “deprivatisasi agama” dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Sebuah upaya sistematis untuk meminggirkan peran agama dalam bernegara, dan agama ditarik (dibatasi) hanya pada urusan privat.

Peristiwa ketiga terkait dengan Kamus Sejarah Indonesia jilid I (Nation Formation: periode 1900-1950) yang diterbitkan oleh Kemendikbud. Di Kamus tersebut nama K.H. Hasyim Asy’ari tidak tercantum. Hilangnya nama tokoh tersebut dianggap sebagai sebuah kejanggalan. Padahal K.H. Hasyim Asy’ari adalah tokoh besar Islam di Indonesia, pendiri Nahdlatul Ulama sekaligus pahlawan nasional. Resolusi Jihad (22/10/1945) yang menjadi fatwa politik sang Kiai melawan pemerintah kolonial Belanda kemudian ditetapkan oleh Presiden Jokowi sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan ini mengindikasikan supremasi para santri dan ulama pesantren dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Peristiwa keempat terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Di dalam SNP tersebut, “frasa agama” ditempatkan di urutan bawah (huruf h) (pasal 40(1)) sebagai hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan kurikulum. Sementara, pada huruf a disebutkan kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka NKRI dengan memperhatikan “peningkatan iman dan taqwa”. Apakah iman dan taqwa yang dimaksudkan di sini bersumber dari selain agama?

Hal sama juga ditemukan di dalam pasal 36 UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) Tahun 2003. Padahal, pendidikan agama selalu diposisikan teratas sebagai muatan dari kurikulum pada semua jenjang pendidikan (dasar, menengah, dan tinggi).

Peristiwa kelima terkait dengan foto R.A. Kartini “tanpa jilbab” yang terus-menerus diunggah dan dipublikasikan. Padahal ada foto Kartini berjilbab (tidak pakai konde dan kebaya) ketia menjadi santri Kyai Sholeh Darat dari Mayong. Penampilan foto ini dipersepsi untuk menjadikan Kartini tetap dikenang sebagai sosok sekuler yang tak mau berjilbab. Padahal, selain Kartini, Kyai Saleh Darat sesungguhnya seorang ulama yang juga memiliki sejumlah anak didik dari kalangan tokoh-tokoh Islam Indonesia, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, Kiai R. Dahlan Tremas, dan Kiai Amir Pekalongan.

Semua fenomena terkait dengan “agama” tersebut sudah dinyatakan dan ditegaskan oleh yang berwenang sebagai “sebuah kealpaan, kekhilafan, ketidaksengajaan, keteledoran” atau “belum final”, serta bukan sesuatu yang disengaja atau by-design. Bahwa agama dan pendidikan agama tetap penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Namun, tampaknya debat di ruang-ruang publik masih terus berlanjut hingga kini. Bahkan, kemudian muncul pemikiran spekulatif, bahwa semua fenomena yang terjadi di Indonesia tersebut atas nama “agama” masing-masing tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkelindan, serta merupakan bagian dari sebuah skenario besar dan global yang menandai era baru konflik politik dunia.

Sebuah era, dimana konflik dunia—dan juga konflik di tingkat negara-bangsa—tidak lagi disebabkan oleh faktor ideologi dan ekonomi, melainkan konflik budaya.

Samuel P. Huntington menyebut konflik tersebut sebagai “benturan antar-peradaban” (The Clash of Civilizations). “The clash of civilizations will dominate global politics. The fault lines between civilizations will be the battle lines of the future” (Huntington, 1993:3).

Banyak kritik dan ketidaksetujuan dari para pakar atas klasifikasi “civilization” Huntington, karena dianggap cenderung statis, monolitik (Abidin, 2011), dan mencampuradukkan antara wilayah, negara, ajaran, kelompok agama, etnis, dan kebangsaan (Fitria, 2009). Kritik yang sama yang pernah dinisbatkan kepada Clifford Geertz (1969) yang juga mencampuradukkan antara stratifikasi sosial dan keagamaan dalam klasifikasinya tentang “Religion of Java” (Agama Jawa: Santri Priyayi dan Abangan),

Terlepas dari kontroversi dan ketidaksetujuan yang ada, Huntington (juga Geertz) menawarkan paradigma baru atas realitas dunia dan negara-bangsa dalam perspektif budaya yang melihat “civilizational-cultural religious factors” sebagai pemicu konflik/benturan. Kontras dengan paradigma sebelumnya yang didominasi oleh paradigma “state-centric realist theory” dan “the system dominated neo–realist model” yang memposisikan persoalan ideologi dan ekonomi sebagai causa prima (Shahi, 2017).

Melalui tesisnya, Huntington memprediksi akan terjadi konflik di level makro antara negara-negara dari peradaban yang berbeda dalam mengontrol institusi internasional, ekonomi global dan kekuatan militer. Peradaban berbeda yang akan mewarnai persaingan global tersebut adalah peradaban Kristen-Barat, Amerika Latin, Konfusius, Jepang, Islam, Hindhu, Kristen Ortodoks-Slavia, dan kemungkinan juga Afrika. Konflik antar-peradaban tersebut, bisa terjadi antar-negara dan/atau antar-kelompok yang memiliki latar belakang peradaban berbeda.

Benturan yang paling keras diprediksi Huntington akan terjadi antara peradaban Kristen-Barat (Western Christianity) dengan peradaban Islam (Islamic). Sebuah benturan yang bermula dari pemisahan dua agama yang sama-sama berakar dari Nabi Ibrahim (Abrahamic Religions). Kemudian terus berlanjut melalui episode panjang “trauma sejarah” (Historical Trauma) yang menyakitkan dan tak mudah dilupakan oleh orang Kristen-Barat yang merasa superioritasnya diinjak-injak oleh kekuasaan dan kekuatan Islam sejak awal abad ke-8 hingga penghujung abad ke15 (Agustam, 2020).

Para pakar memandang tesis Huntington bias dan sangat dipengaruhi oleh trauma sejarah relasi Barat-Islam tersebut. Karenanya, sangat bisa dipahami jika Huntington mengutuk Islam dan mengaitkan Islam dengan kekerasan (Abidin, 2011; Shahi, 2017). Bahkan, Huntington mengklaim bahwa “Islam has bloody borders” dengan peradaban Ortodoks-Serbia, Yahudi, Hindhu, Buddha, dan Kristen-Katolik yang merentang dari borders wilayah bulan sabit, Balkan, hingga Asia Tenggara (Myanmar dan Filipina) (p.14).

Tesis Huntington pun dipandang secara tidak langsung memperkuat asumsi dan stigma sebagian besar ilmuwan Barat yang melihat Islam sebagai kekuatan agresi dan ancaman (the forces of aggression and hostility). Pendek kata, bagaimana Barat menciptakan stereotipe-stereotipe simplistis yang menunjukkan wajah the rage of Islam.

Apa yang terjadi di Indonesia, belakangan ini, seperti ditunjukkan oleh lima peristiwa di atas, diduga merupakan wujud adanya benturan atau konflik antar-kelompok pendukung peradaban Islam dan Barat dalam satu negara (tetapi bukan antar-negara). Walaupun, di belakang kedua kekuatan yang saling berbenturan tersebut tentu ada kekuatan besar dan global yang menopang.

Sebagian kalangan Islam, memandang bahwa semua fenomena tersebut merupakan ikhtiar sistematis, terstruktur dan massif, melibatkan kelompok-kelompok kepentingan pro-Barat (sekuler) yang berada di ranah eksekutif dan legislatif. Sebuah ikhtiar yang tujuan akhirnya adalah melakukan proses sekularisasi yang kini sudah diyakini semakin mendalam (deeply secularized) dalam kehidupan publik.

Berbagai peristiwa di atas, dianggap bagian dari ikhtiar itu, yang dilakukan dengan cara menghilangkan agama dari ruang kebijakan publik; mengerdilkan kehadiran dan peran tokoh-tokoh agama; mendeprivatisasi atau menyingkirkan agama dari ruang kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia; dan menstigmatisasi ekspresi ke-beragama-an sebagai intoleran, anti-kebhinnekaan, bahkan anti-Pancasila atau radikal.

Benarkah berbagai fenomena dan peristiwa tersebut, dan sejumlah peristiwa lain yang dinarasikan sebagai “kriminalisasi ulama”, “aksi terorisme” yang semua dilakukan oleh orang/kelompok yang sering hanya disebut “Penganut Agama Tertentu” merupakan bagian dari “the clash of civilization” di tingkat global yang mengambil medan laga di negara-banga Indonesia?

Mengapa pula Indonesia yang “dipilih” sebagai medan pertempuran antar-peradaban? Apakah karena Indonesia memiliki keberagaman SARA (suku, ras, dan agama) yang sangat rentan dan sensitif terhadap konflik dan benturan?

Padahal, Huntington juga tidak pernah menyebut Indonesia sebagai bagian dari “has bloody borders?” dan Fuad Ajani (1993) juga menganggap negara kepulauan Indonesia “is deaf to the call of the religious radicals in Tehran as it tries to catch up with Malaysia and Singapore” (p.23).

Ataukah masuknya Indonesia sebagai medan laga benturan peradaban merupakan dinamika baru geopolitik dunia yang luput dari amatan atau tak terprediksi oleh Huntington dan Fuad...???

Wallahu ‘alam.

***