Unsur SARA dalam pengelolaan koran daerah masih mengental. Berdasarkan pengalaman, Pak Jakob pun minta saya mengundurkan diri dari jabatan Dirkel Persda dan menyerahkannya kepada Haji Herman Darmo.
Awalnya keterlibatan Kompas ke dalam penerbitan di daerah semata-mata memenuhi himbauan Menpen untuk membantu pers daerah. Namun setelah melihat kenyataan bahwa pers di daerah merupakan pasar masa depan, misi itu pun ditumpangi dengan keinginan untuk eksis di daerah-daerah.
Hal itu didukung kenyataan bahwa pers di daerah semakin berkembang karena kebutuhan pembaca akan kedekatan berita dan semakin merosotnya oplah Kompas di luar Jabotabek.
Untuk menjaga agar Kompas tidak berada di garis depan dalam penerbitan di daerah maka pada tahun 1988 dibentuklah kelompok usaha baru di lingkungan KKG yaitu Kelompok Pers Daerah atau Persda yang kemudian bernaung dalam PT Indopersda Primamedia. Direktur Kelompok yang pertama Raymond Toruan dengan wakil Valens Goa Doy (alm).
Pada tahun itu direalisasi kerjasama dengan tiga penerbitan daerah. Pertama di Palembang bekerjasama dengan Soleh Thamrin pemilik SIUPP Sriwijaya Post, kemudian di Banda Aceh bekerjasama dengan Noerhalidyn pemilik Harian Serambi Indonesia, dan di Bandung bekerjasama dengan Krishna Harahap pemilik SIUPP Harian Mandala.
Penerbitan koran di daerah mau tak mau harus bekerjasama dengan penerbit daerah pemilik SIUPP karena surat izin tersebut kala itu sangat berharga. Untuk mendapatkannya harus mendapat persetujuan dari Menpen setelah mendapat rekomendasi dari PWI Pusat dan SPS. Pemilik SIUPP benar-benar punya asset yang sangat berharga.
Dalam pola kerjasamanya, Kompas biasanya mendanai seluruh modal yang diperlukan berikut manajemennya, untuk itu ia menjadi pemilik saham mayoritas, biasanya tak lebih dari 51 persen. Pemilik SIUPP tetap pada jabatannya, misalnya Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi, orang Kompas mendapat porsi sebagai wakil saja. Sedangkan jabatan pemimpin perusahaan biasanya diberikan kepada Kompas, tentu saja dengan kompensasi bagi pejabat lamanya.
Jika ditilik dari segi bisnis kerjasama ini memang aneh, investor mengeluarkan dana dan tenaga tetapi tidak bisa berkuasa penuh karena pimpinan formalnya tetap di tangan pemegang SIUPP. Perbedaan kultur dan gaya pengelolaan menyebabkan sering terjadi konflik antara pengelola dengan pemilik SIUPP. Bahkan kerjasama di koran Mandala, Bandung, hanya berjalan setahun kemudian bubar. Kompas memilih mundur daripada terus berselisih.
Tentu saja secara financial kebijakan ini sangat merugikan, namun yang paling berat secara moral terhadap karyawan yang sudah direkrut. Untunglah saat itu Kompas memiliki beberapa proyek Koran daerah sehingga bagi mereka yang bersedia keluar Bandung, dapat disalurkan ke daerah lain. Saat itu saya sedang menjadi pimpinan proyek Koran Bernas di Jogya, menerima cukup banyak wartawan dan peralatan bekas Mandala.
Baca Juga: Kompas Inside [9] Luwi Iswara, Guru Jurnalistik Kami
Kerjasama pertama dilakukan tahun 1988 dengan Soleh Thamrin pemilik SIUPP Sriwijaya Post. Korannya sukses, bisa menjadi media unggulan di Sumatera Selatan tapi kemudian pernah runtuh karena perselisihan di dalam. Pada tahun itu juga di Aceh diterbitkan Serambi Indonesia untuk memenuhi permintaan Gubernur Acehyang saat itu dijabat Ibrahim Hassan. Kerjasama ini berjalan mulus hingga sekarang dan menjadi koran unggulan di Aceh hingga kini.
Pada tahun 1989 Persda bekerjasama dengan Harian Pos Kota, milik Harmoko, mantan Menpen dan Harian Berita Nasional (kemudian jadi Bernas) milik Kusfandi. Saat itu dijajagi juga kemungkinan bekerjasama dengan Harian Waspada, Semarang. Satu tim khusus termasuk Agung Adiprasetyo yang pernah menjadi CEO Kompas, dikirimkan ke Semarang namun akhirnya balik kandang karena tidak ada kesepakatan.
Pola kerjasama dengan Pos Kota cukup unik. Di harian Surya yang terbit di Surabaya ini, kepemilikan saham sama, masing-masing 40%, sisanya milik karyawan. Karena ketiadaan saham mayoritas, semua keputusan harus disetujui bersama akibatnya perkembangan koran itu menjadi lamban, apalagi ketika itu di Surabaya sudah ada Jawa Pos yang memonopoli pasar media cetak di Jawa Timur. Akhirnya Pos Kota melepaskan kepemilikannya, dan Kompas menjadi nahkoda penuh hingga sekarang.
Pada tahun yang sama, dipersiapkan kerjasama dengan Kusfandi (alm) pemilik SIUPP Berita Nasional, Jogyakarta. Saya ingat, sekitar bulan Agustus, Raymond Toruan selaku Direktur Kelompok Persda mengajak saya menemui Kusfandi di sebuah restoran dekat Monas. Saat itu saya baru tahu kalau dipersiapkan untuk menjadi pimpinan proyek Bernas. Di situ dilakukan negosiasi komposisi kepemilikan saham yang akhirnya diputuskan untuk di media (Harian Bernas) Kompas mayoritas (51%) sedangkan di percetakan menjadi minoritas (49%).
Dalam perjalanan karena investasi perbaikan alat cetaknya membutuhkan dana cukup besar sementara Pak Kus tidak mempunyai modal, maka perjanjian kerjasama di percetakan pun dibatalkan. Bernas akhirnya terbit pada awal tahun 1990.
Secara financial Harian Bernas yang saya rintis itu tidak pernah sukses. Selain pasar yang berat karena menghadapi koran legendaris Kedaulatan Rakyat, konflik di dalam pun hebat. Maklum, Pak Kus mensyaratkan agar tidak ada pemecatan karyawan sehingga mayoritas adalah karyawan lama.
Benturan tak bisa dihindari dalam pengelolaan, dan ini memang menjadi ciri khas di hampir semua proyek kerjasama Persda. Kerjasama ini akhirnya bubar pada tahun 2002. Di Bernas ini Kompas merugi namun Persda mendapatkan kader-kader yang kini banyak menduduki jabatan kunci di Kompas Gramedia.
Pada tahun 1992 setelah Raymond Toruan meninggalkan Persda digantikan Valens Doy, dan kemudian Valens pun meninggalkan Persda untuk menerbitkan koran sendiri di tanah kelahirannya, Kupang, saya pun diminta menjadi Direktur Kelompok Persda. Sebuah jabatan tertinggi saya selama berkarya di Kelompok Kompas Gramedia.
Pada tahun pertama dan kedua di Persda, saya berusaha membenahi adminsitrasi, terutama dari aspek hukum, atas semua kerjasama dengan koran daerah. Akhirnya pada tahun 1994, keluarga pemilik dan pendiri Banjarmasin Post minta bekerjasama dengan Persda. Proyek ini saya tangani sejak negoisasi dengan para pemilik saham hingga menjadi besar kembali ketika saya tinggalkan. Dari semua proyek kerjasama ketika itu, Banjarmasin Post-lah yang paling cepat berkembang secara bisnis.
Pada tahun 1994 itu Valens Doy dan pemilik Kupang Pos lainnya, minta bekerjasama dengan Persda. Nampaknya mereka sudah kekurangan modal sehingga Pak Jakob minta saya mengurus pengambilalihannya. Hingga sampai di situlah saya bekerja untuk Persda. Namun hingga akhir tugas di Persda, banyak masalah yang harus saya tangani, terberat adalah kasus Sriwijaya Post di mana partner dan Gubernur Sumatera Selatan berusaha merebut koran itu.
Pada saat itu unsur SARA dalam pengelolaan koran daerah masih mengental. Berdasarkan pengalaman yang ada, maka Pak Jakob pun minta saya mengundurkan diri dari jabatan Dirkel Persda dan menyerahkannya kepada Haji Herman Darmo yang saat itu menjadi Pimpro Harian Surya.
Pada tahun 1998 saya ditarik menjadi staf khusus PU. Jabatan yang jelas dengan pekerjaan yang tidak jelas! “You khan sudah setingkat direktur, ya you create pekerjaan sendiri!” Akhirnya selama dua tahun saya “diparkir” membantu yayasan rehabilitasi korban narkoba di Yayasan Kasih Mulya pimpinan Romo Lambretus Somar, MSc.
Dua tahun kemudian saya ditugaskan mengelola Harian Surabaya Pos di Surabaya. Proyek itu bisa dikatakan gagal karena terjadi sengketa antarpemilik di mana saya akhirnya hanya menjadi “bal-balan” antarkeduanya. Satu-satunya manfaat dalam proyek ini adalah keberhasilan Kompas mencetak dengan sistem jarak jauh menggunakan percetakan Surabaya Pos.
Balik dari Surabaya, saya pun kembali ke Kompas menjadi wakil redaktur Desk Nusantara yang kemudian pensiun dengan jabatan wakil sekretaris Redaksi Kompas. pada tahun 2004.
***
Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [30] Meninggalkan Lapangan
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews