Kompas

Dari Kompas saya mendapatkan kisah-kisah yang diberitakan secara terus-menerus dan membekas kuat dalam ingatan. Drama mengerikan selama 40 jam para penumpang Tampomas II yang terbakar.

Senin, 29 Juni 2020 | 07:39 WIB
0
290
Kompas
Norman Edwin (Foto: phinemo.com)

Terbentuknya karakter setiap anak lelaki sangat dipengaruhi oleh bapaknya, lelaki dewasa di sekitar rumah, atau teman yang lebih tua. Umumnya, seorang anak lelaki diperkenalkan sekaligus ‘diarahkan’ untuk menjadi seorang ‘hero’, jagoan. Pembentukan karakter tersebut bisa melalui mainan, permainan, pergaulan, film atau cerita-cerita tentang ‘kehebatan’ kaum lelaki. Biasanya ditunjukkan dalam perkelahian, pertarungan, kompetisi atau peperangan.

Saya, yang melalui masa kanak-kanak antara paruh kedua dekade 1970an, dalam mengekspresikan gairah keheroikan laki-laki, selain bermain bersama teman-teman, juga punya agenda kesenangan tersendiri yang tidak setiap anak laki-laki usia 8 – 12 tahun memilikinya, yaitu membaca berita. Apalagi saya tinggal di sebuah kota kecil, Cianjur.

Tentu saja berita yang paling digandrungi adalah tentang konflik politik, peperangan, dan olahraga. Berita-berita itu saya dapatkan dari koran, majalah, dan televisi. Saya beruntung, sejak saya ingat, orang tua saya selalu berlangganan koran dan majalah. Waktu itu Kompas, Tempo, dan Mangle.

Jadi, meskipun tidak melewatkan cerita-cerita atau figur-figur fiktif kepahlawanan pada masa itu, saya juga menikmati asupan update informasi tentang berbagai persoalan geopilitik di berbagai kawasan, pihak-pihak yang bertikai, serta tokoh-tokohnya.

Namun, satu hal yang mungkin banyak orang tua tidak menyadarinya, bahwa informasi atau referensi sangatlah penting dalam menentukan persepsi mengenai ‘pihak baik’, ‘pembela kebenaran’, atau ‘jagoan’ dalam benak setiap anak.

Pada rentang masa itu, 1975 - 1980, semua berita tentang konflik antar negara, secara langsung atau tidak langsung, selalu menyangkut blok barat: Amerika Serikat (AS), Inggris, Perancis, dan sekutu lainnya di satu kubu, dengan blok timur: Uni Sovyet dan negara-negara satelitnya di kubu lain.

Karena blok barat menguasai industri informasi, maka persepsi mengenai ‘pihak yang baik’, ‘pihak terdzalimi’, ‘pembela kebenaran’, atau ‘jagoan’ itu adalah pihak barat. Seolah dalam berbagai hal, Inggris itu hebat, Amerika itu hebat. Sementara Uni Sovyet dan negara-negara komunis lainnya, adalah ‘jahat’, ‘agresor’, ‘kejam’, ‘licik’, dan seterusnya. Nah ‘virus’ informasi itu juga merasuki kepala saya di masa kanak-kanak.

Bukti paling jelas dari infeksi ‘virus informasi’ yang dipublikasikan Reuters, BBC, AFP, atau AP, ketika terjadi Perang Malvinas April-Juni 1982. Meskipun jelas-jelas Kepulauan Malvinas itu adalah milik Argentina, letak geografisnya hanya 500 kilometer dari pantai (Atlantik) Argentina, tapi saya, mungkin juga banyak orang lain, dengan fanatismenya mendukung Inggris.

Ini konyol sebenarnya. Selama lebih dari dua bulan, saya tidak mau sehari pun terlewat berita tentang perkembangan Perang Inggris vs Argentina itu. Membayangkan satu divisi Angkatan Laut Kerajaan Inggris berlayar sejauh 12.700 kilometer (hanya singgah di Pangkalan Ascension), untuk bertempur di ‘halaman’ depan negara Argentina. Waktu itu saya benar-benar mengikuti dan menikmati satu kisah peperangan yang masif antara dua negara maju melalui Dunia Dalam Berita dan dari Kompas. Saya benar-benar menikmati thriller dari panggung pertunjukan kehebatan kaum lelaki: Perang!!

Pada 2 Mei 1982, kapal selam HMS Conqueror menenggelamkan ARA General Belgrano. Tapi betapa kecewanya ketika diberitakan bahwa Argentina dengan rudal Exocet yang diluncurkan dari A4 Skyhawk, berhasil membalas dengan menenggelamkan HMS Sheffield dua hari kemudian, 4 Mei 1982. Gilanya, saya sampai berdoa, agar pilot-pilot Sea Harrier, Buccaner, Sepecat Jaguar, dan helikopter Sea King bisa segera menunjukkan kebolehannya.

Benar saja, pada 14 Juni 1982 Presiden Leopoldo Galtieri mengumumkan kekalahan Argentina dalam perang Malvinas. Setiap hari, sebelum berangkat sekolah, semua berita Kompas di halaman VII, berita-berita internasional, dan Kilasan Kawat Sedunia (hal XVI), sudah dibaca. Di malam hari, beberapa menit sebelum pukul 21.00 sudah berada di depan televisi, menantikan suara ‘empuk’ Edwin Saleh Indrapradja, Sjam Amir, atau Toety Adhitama membacakan Dunia Dalam Berita. Setiap Kamis malam, ada tambahannya, mengikuti Laporan Luar Negeri yang disampaikan oleh Hendro Subroto.

Saking keranjingan dengan berita-berita luar negeri, khususnya konflik, saya sampai memahami setiap konflik di berbagai belahan dunia. Bukan itu saja, saya juga hapal nama-nama kepala pemerintahan, menteri luar negeri, menteri pertahanan, pemimpin pemberontah, nama-nama persenjataan, pesawat tempur, dan detail-detail lain di setiap konflik.

Sampai-sampai, saya pernah mengidolakan Marc Campleman, ketua juru runding Amerika untuk pengurangan hulu ledak nuklir, yang nyaris setiap malam diberitakan. Dalam perundingan itu, ia berhadapan dengan seterunya, Victor Karpov, ketua juru runding dari Uni Sovyet. Dalam perundingan-perundingan berikutnya, Karpov yang menjabat Wakil Menteri Luar Negeri Uni Sovyet, digantikan oleh Yuli Kvitsinsky. Sedangkan Marc Campleman digantikan Paul H. Nitze.

Setiap kali mengikuti berita-berita itu, ada rasa takut, bagaimana kalau perundingan gagal dan perang nuklir benar-benar terjadi. Jika rudal-rudal ICBM (Inter Continental Ballistic Missile) seperti Minuteman, Titans, Pershing, Polaris, SS-20, SS-18 meluncur dari silo masing-masing, dunia akan menjadi seperti keju Swiss, bolong-bolong. Di Kompas, berita-berita yang disadur dari Reuters, AP, AFP, dan sesekali dari Pravda, biasanya ditulis oleh Satrio Arismunandar, A. Dahana, Raymond Toruan, atau Ninok Leksono.

Saya benar-benar menikmati berita, meski waktu itu masih duduk di bangku sekolah dasar. Membayangkan kejadian sebenarnya seperti apa, dan seterusnya. Setiap pulang sekolah sebelum bermain, saya membaca habis semua apa yang ada di 16 halaman Kompas setiap hari, termasuk iklan. Asupan informasi itu masih ditambah membaca majalah Tempo dan Mangle (majalah Sunda).

Dari berita-berita olah raga Kompas ini juga saya mengetahui dan hapal nama-nama kejuaraan di semua cabang olah raga, dan siapa saja (serta dari negara mana) para jagoannya. Jangankan event-event olah raga yang populer, olah raga yang tidak populer pun seperti kejuaraan tahunan perahu layar (Yacht) Piala America, tak terlewatkan. Jagoan di kejuaraan itu, perahu Kookabura II, III dari Australia dan Star and Stripes, America.

Berita-berita olah raga biasanya ditulis oleh Yesayas Oktavianus, TD Asmadi, Budiarto Shambazy, Rikard Bagun, Rudy Badil. Sekali lagi, dalam olah raga pun, persepsi mengenai ‘Barat itu baik’, juga terbawa. Dalam kejuaraan dunia beberapa cabang olah raga, atau multievent termasuk olimpiade, ada semacam empati terhadap Amerika dan negara-negara barat lainnya, yang selalu dikangkangi oleh hegemoni Uni Sovyet dan Jerman Timur dalam pengumpulan medali.

Kekaguman yang tidak berkesudahan tentang penulisan berita atau artikel olah raga, khususnya sepak bola, tertuju pada Sindhunata. Dalam tulisannya, peristiwa olah raga ditampilkan dari perspektif paling indah. Justru bukan dari segi teknis cabang olah raga itu sendiri, melainkan dari sudut sejarah, budaya atau filsafat.

Dari Kompas saya mendapatkan kisah-kisah yang diberitakan secara terus-menerus dan membekas kuat dalam ingatan. Drama mengerikan selama 40 jam para penumpang Tampomas II yang terbakar di perairan sekitar Kepulauan Masalembo, dan akhirnya tenggelam 27 Januari 1981.

Tragedi yang merenggut 431 orang itu, memunculkan seorang figur heroik, A. Rivai, Sang Kapten kapal. Dia bertahan di atas kapal yang terus terbakar bersama ratusan penumpang lainnya hingga kapal tenggelam. Keputusan itu ambil adalah bentuk pertanggung-jawabannya sebagai nakhoda.

Ada juga tragedi Aconcagua 1992 yang ditulis secara bersambung oleh Rudy Badil. Sampai-sampai, ketika membaca berita pada hari-hari di mana Norman Edwin dan Didiek Samsu mengalami hypothermia, saya seakan ikut merasakan dingin yang menusuk tulang. Lalu, bagaimana kesedihan membuncah di ketinggian yang beku, menyergap tanpa peduli: Didiek Samsu dan Norman Edwin meninggal, diberitakan dengan nyaris sempurna. Tulisan lain yang juga masih menghiasi ingatan, adalah pelayaran Phinisi Nusantara ke Vancouver 1986 yang ditulis oleh Pius Caro.

Sebagian besar, dari Kompas juga saya mendapatkan kesadaran akan informasi yang terdistorsi, yang dipropagandakan secara masif dan terus-menerus oleh media-media Barat. Berbagai peristiwa yang jelas-jelas menginjak-injak akal sehat dan demokrasi yang didewakan oleh Barat, makin menyadarkan saya betapa selama ini dunia, termasuk Indonesia, dijejali informasi yang berisi agenda atau kepentingan mereka.

Dimulai dengan tindakan bar-bar Jenderal Ariel ‘Arik’ Sharon atas warga Palestina di pengungsian Sabra dan Chatilla, Lebanon tahun 1982. Tahun 1983 tanpa malu-malu Amerika menginvasi Grenada karena pemerintahannya tidak sesuai dengan keinginannya. Kemudian, tahun 1986, secara brutal Amerika menghantam Libya dengan alasan aneh: menuduh Libya telah menasionalisasi Teluk Sidra. Lebih aneh lagi, Amerika dan beberapa sekutunya ngotot melakukan latihan perang di sana yang disebutnya perairan internasional.

Lalu, tindakan bar-bar lain terjadi di tahun 1989, Amerika menginvasi Panama, tahun 1991, Perancis ‘meludahi’ wajah demokrasi yang didewakan Barat, dengan mengirimkan pasukan militer membantu Chadli Benjedid membatalkan pemilu demokratis Aljazair yang dimenangkan FIS (Front Islamique du Salut). Atas itu semua, tak sekeping berita pun dibuat media barat, yang menyalahkan pelakunya: Israel, Amerika dan Perancis.

Atas berita-berita versi barat itu, reaksi psikologis yang muncul dalam benak saya, dan mungkin juga jutaan remaja di dunia, adalah bersimpati pada figur-figur pemimpin perlawanan terhadap hegemoni dan kesewenang-wenangan barat sebagai tokoh heroik: Moamar Khaddafi, Salim Al Banna (Abu Nidal), Hafez Al Assad, Fidel Castro, Kim Il Sung, Manuel Antonio Noriega.

Meskipun sejak masa kanak-kanak begitu inheren dengan berita, tapi itu tidak pernah menumbuhkan keinginan saya untuk menjadi seorang jurnalis. Paling tidak hingga lulus SMA. Baru ketika kuliah, saya mendapatkan ruang yang memberikan rasa senang dan puas, ketika bergabung dalam pers kampus. Saya menulis dan ikut mengelola majalah kampus. Terasa atau tidak, apa yang saya lakukan di majalah kampus, adalah mengaplikasikan ‘pengetahuan’ yang saya dapat dari Kompas.

Pembuktiannya, pada April tahun 1994, ketika saya menjalani wawancara terakhir sebelum bergabung dengan harian ekonomi Bisnis Indonesia sebagai wartawan.

“Kamu baru tahu kalau Bisnis Indonesia itu koran ekonomi-bisnis, ketika kamu ikut tes di sini? Terus, bagaimana bisa kamu bekerja sebagai wartawan nanti?”
“Saya pasti bisa menjadi wartawan, karena saya punya guru,” saya menjawab dengan tenang.
“Siapa?”
“Kompas.”

Selamat Ulang Tahun ke-55.

***