Batu yang Dilempar pasti Kembali ke Tanah

Batu yang dilempar pasti kembali ke tanah. Harapan yang terlalu tinggi akan jatuh berkeping-keping ke tanah. Jangan lupa itu. Silahkan berharap, tapi jangan lupa berpijak pada kenyataan.

Senin, 18 Januari 2021 | 11:46 WIB
0
220
Batu yang Dilempar pasti Kembali ke Tanah
Ilustrasi lempar batu (Foto: Pixabay)

Batu yang dilempar pasti kembali ke tanah. Inilah hukum alam yang berlaku di bumi. Ini berlaku untuk semua. Jika tidak suka, silahkan meninggalkan bumi.

 Hal yang sama seperti harapan, ataupun ekspektasi. Kita melemparnya tinggi-tinggi ke langit. Lalu, ia jatuh menimpa kita. Rasa sakit pun muncul.

Berharap batu tak jatuh ke tanah itu mimpi di siang bolong. Berharap bahwa ekspektasi kita selalu menjadi nyata juga sama. Itu namanya hidup dalam mimpi. Penderitaan itu bagus, karena ia membangunkan kita dari mimpi.

Bagaimana harapan hancur? Ada beragam cara, dan anda mungkin sudah mengalaminya. Orang-orang yang tak pernah sesuai keinginan kita. Atau keadaan yang selalu bertentangan dengan apa yang kita rencanakan.

Sejauh pengalaman saya, inilah akar dari semua penderitaan. Yang luka bukanlah diri kita, melainkan harapan-harapan kita. Yang hancur berkeping-keping bukanlah hidup kita, melainkan harapan-harapan kita tentang hidup kita. Kita berharap, keadaan selalu baik, uang selalu ada, orang selalu sehat dan sebagainya. Itu namanya mimpi di siang bolong.

Di dalam pandangan dunia Asia, inilah yang disebut sebagai ketidaktahuan, atau kesalahan cara pandang. Kita tidak paham, apa itu kehidupan yang sebenarnya. Ketika keadaan baik, kita ingin memegangnya erat-erat. Ketika keadaan buruk, kita ingin lari darinya.

Seumur hidup, kita dibuat kacau oleh keadaan yang terus berubah. Padahal, jika kita mau berhenti sejenak, dan mengamati keadaan, pola kenyataan akan tampil jelas. Segalanya berubah, dan tak ada yang bisa digenggam, termasuk hidup kita sendiri. Secara alami, kita akan melepas, lalu, ironisnya, mendapat segalanya.

Inilah hukum alam. Ia berlaku untuk semua. Orang boleh percaya, atau tidak. Hukum alam tetap bergerak mengikuti pola-pola yang sudah ada.

Harapan akan terpatahkan. Sikap keras akan hancur oleh keadaan. Sikap lembut dan melepas akan menciptakan kebahagiaan. Derita akan membangunkan dari tidur yang membuat kita terlenakan.

Batu yang dilempar tinggi tersebut, sesungguhnya, bukanlah milik kita. Harapan kita bukanlah milik kita. Itu adalah harapan dari orang tua maupun masyarakat kita, lalu kita ambil alih secara tak sadar. Harapan-harapan yang kita genggam adalah “bangkai” dunia sosial.

Sayangnya, bangkai tersebut disebar lewat pendidikan. Orang berpendidikan tinggi cenderung punya harapan terlalu tinggi. Akhirnya, mereka gampang kecewa. Mereka gampang terpatahkan oleh keadaan.

Ini terjadi, karena pendidikan telah kehilangan rohnya. Di Indonesia, pendidikan telah menjadi tempat cuci otak, sekaligus tempat mengeruk uang. Tak ada pembebasan dan penyadaran disana. Pendidikan justru memperbodoh manusia-manusia yang terlibat di dalamnya.

Baca Juga: Ada Tersangka, Batu dan Ambulans

Pendidikan telah mencabut manusia dari kenyataan. Padahal, kenyataan adalah otoritas tertinggi. Kita hidup di dalamnya, dan tak bisa lepas dari hukum-hukumnya. Maka, kita perlu belajar melihat dunia sebagaimana adanya.

Artinya, kita perlu melepas semua asumsi yang ada. Kita menyelam ke kenyataan sebagaimana adanya, tanpa kerangka berpikir apapun. Kita menunda semua penilaian yang ada. Di dalam filsafat Eropa, inilah yang disebut sebagai sikap fenomenologis.

Buahnya adalah kejernihan. Kita tidak lagi hidup dalam mimpi. Kita tidak lagi diperbudak oleh harapan dan ekspektasi semu. Kita berhadapan dan tenggelam dalam kenyataan.

Secara intuitif, kita tahu apa yang mesti dilakukan. Kita paham keadaan sesungguhnya. Kita paham peran kita di dalamnya. Lalu, kita juga paham, apa yang harus dan bisa dilakukan.

Ketika melepas harapan, ke dalam diri, kita akan menemukan kedamaian. Kita akan berjumpa dengan rasa cukup yang mendalam. Perlahan, kita juga bisa paham, siapa kita sebenarnya. Inilah pengetahuan tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia dalam hidupnya.

Ke luar, kita akan bisa bertindak sesuai dengan keadaan. Kita tidak memaksakan paham kita kepada orang lain, atau kepada keadaan. Kita tidak menjadi diktator terhadap kenyataan. Kita mengalir mengikuti perubahan, sambil tetap peka pada apa yang bisa dan harus dilakukan.

Batu yang dilempar pasti kembali ke tanah. Harapan yang terlalu tinggi akan jatuh berkeping-keping ke tanah. Jangan lupa itu. Silahkan berharap, tapi jangan lupa berpijak pada kenyataan.

Jangan lupa berpijak ke tanah.

***