Dikiranya, kalau dikutip media artinya mereka berwibawa atau pinter. Padal lebih sering karena reporter dan redaktur medianya sedang berjihad mencari nafkah untuk keluarga.
Kata para bijak-bestari, manusia itu letaknya kesalahan. Para pejabat publik, karena segala tingkah dan tindakannya mempengaruhi hajad-hidup publik, maka dibuat sistem dan birokrasi berlapis, agar bisa menekan kesalahan. Tapi kalau tetap saja salah kutip dan salah ketik? Pejabat publik juga manusia, katanya.
Menurut Candiel Seurius, rocker juga manusia. Bahkan, pelacur (atas himbauan kemanusiaan disebut PSK, bukan PKS lho, meski dengan tiga huruf yang sama). Yang meragukan sebagai manusia mungkin politikus. Setidaknya menurut Aristoteles, bahwa manusia adalah binatang politik. Maka terjadilah Andre Rosiade menjebak pelacur.
Manusia tidak luput dari unsur kesalahan, demikian kata agama-agama yang toleran pada kesalahan, asal seiman (kalau nggak seiman ya, ngamuk). Dari salah ketik, salah kutip, salah tafsir, salah mikir, salah milih, salah pacar, dan salah pondok. Banyaklah kelemahan manusia, sekaligus kekuatan utama sebenarnya, untuk ngeles.
Kalau komisioner KPAI, kebetulan perempuan dan berjilbab ngomong; perempuan bisa hamil jika berenang di kolam renang yang berbarengan para lelaki; Itu mungkin memang sungguh ilmiah. Mungkin yang menyatakan itu dulu pernah mengalami. Bahkan jika perempuan itu mandul sekali pun, juga dengan para lelaki yang ternyata juga mandul semua. Kalau tuhan punya kuasa, mau apa manusia? Mau jadi kafir, nggak percaya tuhan?
Tak ada yang salah disitu. Mungkin kesalahan yang ngutip pernyataan, dan kemudian diposting ke media tempatnya bekerja. Pasti dalam otak pengutip informasi itu; ini informasi penting, agar populasi penduduk Indonesia tidak meledak. Kalau meledak nanti balonnya tinggal empat. Kalau dipegang erat-erat, padahal bukan muhrim, terus hamil gimana?
Nanti kalau cuma melahirkan banyak kere gimana pula? Ngikutin saran Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan, agar yang kaya ngawini yang kere? Bayangin ini kelas Menteri Koordinator tentang pemberdayaan manusia dan kebudayaan. Apakah para budayawan tidak berdaya, sehingga perlu ada menteri koordinator kebudayaan yang keren, alias gelian, ini? Lha wong Graha Bhakti Budaya digempur gubernur saja pada mingkem.
Persis Saefullah yang jadi Sekda DKI Jakarta, mau-maunya jadi bumper gubernurnya. Tentu saja mau. Kalau nggak tentu sudah mengundurkan diri, karena nggak tega nyampe'in alasan-alasan yang kagak logis. Namanya juga bawahan, dengan mental bawahan pula.
Kalau dia mundur, terus keluarganya jadi kere bagaimana? Memang Tommy mau ngawin anaknya? Gimana kalau anaknya ternyata lelaki semua? Nanti disuruh lapor sebagaimana LGBT mau diatur dalam RUU Ketahanan Keluarga?
Baca Juga: "Stupidity Around Us"
Dalam RUU yang diinisiasi para perempuan anggota dewan itu, mungkin perlu dimasukkan pasal; Pelacur yang habis melayani konsumen harus melapor ke isteri atau pasangan konsumen barusan. Biar afdol, daya tahan keluarga bertambah karena transparansi di era keterbukaan informasi ini.
Belum lagi kalau kita mendengar pernyataan Yasona Laoly, Hasto Kristianto, orang-orang 212 dan FPI yang kemarin demo di depan Istana, Rizal Ramli, Rocky Gerung, Ridwan Saidi, juga Sujiwo Tejo, dan sejenis-jenis itu. Kita jadi pusing karenanya. Bisa nggak kalian-kalian puasa bicara 3 hari saja. Biar Indonesia juga mengalami kedamaian. Meski cuma 3 hari, itu sudah sumbangan besar bagi bangsa dan negara.
Dikiranya, kalau dikutip media artinya mereka berwibawa atau pinter. Padal lebih sering karena reporter dan redaktur medianya sedang berjihad mencari nafkah untuk keluarga. Cuma memang ada yang dengan cara beradab, dan ada yang biadab. Bayangkan kalau kekonyolan publik salah ketik jadi kekontolan publik. Lha, rak saru toh? Apalagi di keyboard, t dan y itu jejeran!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews