Persoalan Piodalan di Situs Mangir

Sekarang mereka atas nama ini itu, lalu mau melarang dan mengusir. Menggangu Upacara Piodalan menurut kepercayaan yang mereka anut, hanya karena di tempat yang kebetulan bersebelahan.

Jumat, 15 November 2019 | 07:11 WIB
0
920
Persoalan Piodalan di Situs Mangir
Desa Mangir (Foto: dok pribadi)

Sebenarnya saya tidak terlalu peduli dengan persekusi yang sering dilakukan oleh kelompok orang yang mendaku kelompok mayoritas terhadap minoritas di Jogja. Bukan karena apa-apa, tapi justru karena saya yakin memang demikian pola problem solving yang secara tradisi berlaku di provinsi nyumlik ini. Ada kasus, jeder, meledak, dimuat media, menasional, lalu kemudian masalah teratasi. Clear, salaman!

Jogja itu kampung besar, penduduknya mungkin secara rataan paling kere tapi justru sekaligus paling melek baca. Mungkin ada yang karena agama berubah jadi dungu, yang ini tidak terbatas satu agama saja, tapi nyaris semua. Radikalisme di semua agama itu nyata ada di Jogja, tapi sangat minoritas. Sebagian besar tetaplah menjaga karakter dasarnya sebagai manusia yang toleran dan memiliki tenggang rasa.

Namun persoalan di Desa Mangir ini, bila dtelusuri secara mendasar bagi saya sangat unik dan sesungguhnya sama sekali tidak menyedihkan. Bila tidak justru malah menggembirakan bagi saya sebagai "orang heritage". Setidaknya masyarakat luas, jadi tahu duduk masalah sebenarnya. Kok bisa?

Banyak yang tidak tahu, bahwa Mangir adalah salah satu desa tertua di Provinsi DIY yang masih tersisa. Sejarah Mangir terentang panjang, sejak masa Majapahit yang di akhir-akhirr masa eksistensinya menjadikannya sebagai wilayah perdikan (tanah merdeka). Penguasa awalnya adalah Ki Ageng Mangir yang memang beragama Hindu. Penerusnya kemudian berturut-turut bernama Ki Ageng Mangir Wanabaya I, II, III.

Bila kemudian Pramudya A. Toer menulis sebuah novel-drama berjudul Babad Mangir, setting sebenarnya adalah Ki Ageng Mangir Wanabaya III, yang memang sudah berganti kala sesudahnya. Saat terjadi pergeseran dari Hindu ke Islam.

Orang karenanya hanya mengenalnya sebagai Ki Ageng Mangir Wanabaya (tanpa nomer), yang kemudian karena dianggap tidak mau takluk kepada Kerajaan Mataram Islam. Kemudian dikerjai oleh Panembahan Senopati, melalui putrinya bernama Retna Pembayun, yang berakhir sebagai salah satu kisah tragik cinta yang berdarah. Paling legendaris di Tanah Jawa, di luar kisah cinta Rara Mendut Pranacitra.

Sampai di sini sebenarnya, melulu persoalan teritorial, yang sesungguhnya hanya melibatkan sesama orang yang "sudah jadi Islam". Tak ada persoalan agama di dalamnya.

Sepeninggal Ki Ageng Mangir Seri IV, situs Mangir sendiri hanya menjadi petilasan. Kemudian tinggal nama dan berakhir sebagai cerita panggung. Berbeda misalnya dengan Situs Ki Ageng Giring yang demikian dihormati, dibangun secara fisik, dan bahkan dimitoskan siapa pun calon Presiden Indonesia harus mendapat restu dari tempat ini.

Ini semacam mitologi yang dimonumenkan untuk melestarikan hegemoni Mataram Islam di Nusantara. Yang sesungguhnya sudah dimulai sejak jaman Sultan Agung menyerang Batavia. Sebagaimana kita tahu Ki Ageng Giring adalah cikal bakal Kerajaan Mataram, yang suka tidak suka eksistensinya masih tegak berdiri sampai hari ini. Walau sudah terpecah menjadi empat!

Hingga suatu saat, di tahun 1984 seorang yang dipanggil Mbah Bali yang kebetulan beragama Hindu menerima wangsit untuk mulai merawat dan memelihara tempat tersebut. Ketika terjadi proses rehabilitasi petilasan Mangir yang dilakukan umat Hindu, warga yang beragama Islam yang ada disekitar tersebut tetap tidak peduli. Bahkan bangunan langgar dan petilasan Islam yang ada tetap dibiarkan tidak terawat.

Ketidakpedulian inilah, yang kemudian justru membuka peluang umat Hindu untuk membeli tanah di sekitar situs dan bahkan membangun candi. Atas nama menghormati leluhur mereka, yang memang nyata ada di sana.

Persoalan tidak pernah mencuat, hingga Jokowi mulai mengibarkan bendera perang terhadap paham radikalisme. Artinya aksi reaksi itu sudah nyata di depan mata. Resistensi dan perlawanan itu mulai terlihat riil. Ketika penyebutan salam beda agama dipermasalahkan. Tiba-tiba bum, bom meledak di Medan. Dan terakhir kemarin di situs ini tiba-tiba nama Mangir dipersoalkan agamanya. Padahal itu empat orang turun-temurun yang berbeda periode hidupnya.

Tentu saja, secara pribadi saya memberikan respek setinggi-tingginya untuk umat Hindu yang mau bersusah payah merehabilitasi situs tersebut atas nama heritage dan tinggalan sejarah!

Bila tiba-tiba, warga setempat yang semula baik-baik saja, tiba-tiba mengeras dan bersuara kencang mendaku situs ini milik mereka. Sudah jelas mereka dapat gosokan dari mana asalnya. Harusnya mereka menyadari, makam dan musholla yang sebenarnya nyaris tak terawat itu bisa tetap ada, justru karena keberadaan saudara-saudara kita umat Hindu.

Sekarang mereka atas nama ini itu, lalu mau melarang dan mengusir. Menggangu Upacara Piodalan menurut kepercayaan yang mereka anut, hanya karena di tempat yang kebetulan bersebelahan.

Jangankan rasa terima kasih. Tidakkah kalian punya rasa malu...

Untungnya sebagai dokumentator, saya punya foto asli tentang kondisi makam dan langgar yang dianggap peninggalan Ki Ageng Mangir Wonoboyo III itu.

Silahkan periksa....

***