Kita tak perlu lagi ingin menang-menangan, apalagi dengan sesama saudara sendiri. Lalu menekan dan menyuruh orang lain yang lebih kecil untuk berlaku sopan-santun.
Masyarakat feodal selalu menghasilkan manusia dengan dua tipe mental. Pertama, manusia bermental atasan, kedua, manusia bermental bawahan.
Manusia tipe pertama selalu ingin ada di posisi atas. Juga ingin dihormati dan didengar oleh manusia tipe bawahan. Manusia tipe pertama ini juga tidak suka jika ada sesamanya yang lebih maju atau lebih baik. Ia akan merasa tersaingi.
Berbeda dengan manusia tipe kedua, ia selalu tidak punya rasa percaya diri dan merasa rendah diri. Mereka menerima dan betah ada berada dibawah. Mereka juga selalu dituntut untuk bersikap sopan oleh manusia tipe pertama, meski sedang diperlakukan secara tidak adil. Contohnya, protes masyarakat adat Pubabu dikabupaten Timor Tengah Selatan-NTT, saat menolak perampasan tanah oleh pemerintah yang dianggap tidak sopan. Padahal, orang melakukan protes itu karna berhubungan dengan alat produksi yang selama ini mereka gunakan untuk bertahan hidup.
Sistem feodalisme yang tersisa
Kita patut bersyukur karena Bangsa Indonesia telah merdeka selama 74 tahun. Berbagai agama dan ajaran pun telah kita terima. Sistem demokrasi pun demikian. Sayangnya, praktik budaya peninggalan sistem feodalisme masih ada yang tersisa.
Jika dulu, ada rakyat jelata yang ingin bertemu dengan seorang raja, ia harus menunduk atau berlutut. Saat ini, budaya seperti ini pun masih ada. Hanya saja, berubah model dan bentuk. Budaya feodal seperti ini biasanya dipelihara dengan baik oleh sekian elite penguasa di daerah kita.
Pada zaman penjajahan dulu. Saat para penjajah (kolonial) datang, sebagian raja mengambil keuntungan dari struktur feodal di masyarakat. Para penjajah tidak akan mencopot raja, selama ia masih mau mengabdi pada kepentingan mereka.
Akhirnya, rakyat jelata diperas oleh para bangsawan yang bekerja sama dengan penjajah. Jadi, penjajah memeras para bangsawan, dan para bangsawan ini memeras rakyat jelata.
Kira-kira seperti itulah strukturnya, sehingga rakyat semakin tertindas.
Nah, biasanya orang yang tertindas akan musnah sisi kemanusiaannya. Sifat manusianya hilang, yg tersisa adalah sisi kebinatangnnya. Jika dalam keadaan miskin, mereka mudah bermusuhan dengan sesamanya. Saling curiga, saling intai, bahkan sampai "saling tikam dari belakang".
Politisi dan pemimpin feodal
Sejujurnya, sistem feodal masih sangat kuat Indonesia. Sistem ini biasanya dipelihara dengan baik oleh sekian politisi dan elite penguasa di berbagai daerah kita.
Keberadaan sistem feodalisme yang masih sangat kuat ini, kita bisa mendeteksinya lewat setiap steatmen dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Mereka, seringkali membuat aturan yang tak kelihatan secara kasat mata. Aturan-aturan ini biasanya dibuat seolah-olah berpihak kepada masyarakat lokal. Padahal, kebijakan itu hanya untuk melenggengkan posisi mereka dalam sistem feodal yang ada.
Karena berbagai daerah di Indonesia masih di kuasai oleh politisi feodal seperti ini, maka tak heran, jika pembangunan di berbagai daerah selalu berjalan lambat selama mereka berkuasa.
Melambatnya pembanguan diberbagai daerah, salah satu faktornya karna mereka tak punya komitmen untuk mengurusnya secara serius. Para politisi dan pemimpin feodal lebih suka mempertahankan posisi mereka, ketimbang sibuk mengurus masalah-masalah yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Salah satu contohnya adalah mengelola pariwisata diberbagai daerah di Indonesia timur.
Seringkali, para pemangku kepentingan ini tidak punya komitmen untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) lewat sektor pariwisata. Masih kurangnya promosi, tak ada analisis pengunjung, fasilitas yang rusak dan terbengkalai diberbagai objek wisata adalah contoh-contohnya.Tampilan website pemerintah daerah pun sangatlah jelek dan jarang terupdate secara berkala. Padahal, website pemerintah daerah adalah rujukan untuk mencari informasi tentang suatu daerah.
Selanjutnya, dengan melihat pemerintah daerah yang terkesan lambat dalam menghadapi berbagai masalah, bolehkah kita mengkritisi?
Boleh saja. Demokrasi menginsyaratkan hal tersebut untuk melakukan kontrol kepada pemerintah. Hanya saja, kita harus berani menerima konsekuensi saat mengajukan kritik kepada pemerintah daerah. Hal ini perlu diingat karena pemerintah daerah kita, kebanyakan dikuasai oleh tokoh-tokoh bermental feodal. Mereka siap menggunakan semua komponennya untuk menyingkirkan siapapun saat mereka kalah dalam berargumen.
Biasanya, disaat sudah kalah, ada sebagian orang-orang yang datang menjilat pemimpin dan tokoh-tokoh feodal ini dengan mencari pembenaran bahwa, “Orang ini layak disingkirkan dengan segala cara karena tidak sopan pada pimpinan”.
Jadi, saat-saat seperti itulah pertemuan antara pemimpin-pemimpin bermental feodal menyatu dengan bawahan-bawahan yang bermental feodal pula.
Orang-orang bawahan yang bermental feodal ini, seringkali berpikir bahwa para pemangku kebijakan tidak pernah salah. Akhirnya, kebiasaan “asal bapak senang” itu dilakukan oleh mereka secara berulang-ulang tanpa merasa berdosa.
Kebiasaan “jilat atas dan injak bawah” itu pun kita lihat hampir setiap hari. Orang-orang sibuk dengan sopan-santun kepada para elite, tapi sangat ganas ketika berhadapan dengan masyrakat bawah (baca: masyarakat miskin dan masyarakat desa).
Mereka ini, sangat keras saat menuntut kepala desa untuk melakukan transparansi anggaran, tapi diam membisu saat mengetahui bahwa para kepala pun tidak pernah melakukan hal tersebut.
Disisi yang lain, para pemangku kebijakan kita juga pintar bersandiwara. Dihadapan publik, mereka bertutur begitu indah dengan menggunakan diksi-diksi agama dalam setiap pertemuan, tapi dalam hatinya tersembunyi keangkuhan yang luar biasa. Kasus pemukulan dari salah satu anggota DPRD Kabuapaten TTS kepada masyarakat yang terjadi dalam beberapa bulan belangkangan ini adalah salah satu contohnya.
Yang tersisa dari kolonial dan sistem feodal
Hari ini, sistem penjajahan itu sudah tidak ada. Tapi selama menjajah, ia meninggalkan sistem yang mengurat dan mengakar. Yang nantinya dipakai oleh elite kaum pribumi.
Kalau dulu, kekuasaan dipegang oleh raja dan keluarganya. kini, kekuasaan ada ditangan kaum terdidik dengan mental kolonial. Sama seperti raja tempo dahulu, banyak dari mereka juga arogan. Selalu ingin dihormati dan di dengar.
Mereka juga pandai berselingkuh dengan siapapun, asal menguntungkan. Tak peduli dengan kesusahan yang dialami oleh masyarakat, terutama masyrakat miskin dan masyrakat desa. Mereka juga akan berusaha untuk melanggengkan sistem feodal yang buruk itu. Intinya, pola yang mereka gunakan sama seperti jaman kolonial, mereka kehilangan aspek kemanusiannya.
Struktur feodal semacam ini masih sangat kuat di berbagai daerah di Indonesia. Hanya rupa dan bentuknya saja yang berbeda.
Bagi saya, kita harus menjadi manusia merdeka. Merdeka itu adalah saat kita berhasil bebas dari paham purba dan kolot semacam ini.
Kita menghargai setiap orang dengan tulus karna kita setara sebagai manusia dihadapan Tuhan. Bukan menghargai orang karna status bangsawannya atau kekuatan ekonominya.
Jadi, sudah saatnya kita mendeteksi, menyadari dan menolak sistem feodalisme ini. Sistem ini seringkali bersembunyi dengan sangat rapi dalam kebudayaan kita sehingga tidak kita sadari.
Menurut saya, sudah saatnya kita meninggalkan sistem ini. kebiasaan saling curiga, ingin mengalahkan sesama, dan kebiasaan “jilat atas injak bawah” itu perlu kita tinggalkan.
Kita tak perlu lagi ingin menang-menangan, apalagi dengan sesama saudara sendiri. Lalu menekan dan menyuruh orang lain yang lebih kecil untuk berlaku sopan-santun.
Cukup kita saling menghargai, saling mendukung, dan tak perlu saling menaklukan.
Salam.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews