Kripto

Digiconomist memperkirakan, penambangan dua jenis uang kripto populer, Bitcoin dan Ethereum, menghasilkan 120 juta ton karbon dioksida per tahun, dan 30.700 ton sampah elektronik per tahun.

Selasa, 16 November 2021 | 07:38 WIB
0
148
Kripto
Komputer untuk kepentingan Kripto (Foto: Facebook:/Tomi Lebang)

Di dunia yang kian menua, apa yang terlihat di dunia nyata, adalah remah-remah yang tersisa dari dunia maya. Perlahan tetapi terasa.

Beberapa waktu lalu, saya datang ke Makassar dan bertemu keluarga yang dalam bayangan saya masih sungguh awam dengan peradaban digital yang maju. Saya hendak membual tentang dunia yang kian gandrung pada mata uang kripto, tentang bitcoin yang dulu setara dolar, dan kini menggapai rekor 900 juta-an rupiah setiap kepingnya.

Bualan saya tentu dengan tambahan kisah-kisah unik. Tentang orang-orang yang sudah lupa kata sandinya dan hilang sudah ratusan miliar hingga sekian triliun rupiah dalam genggaman. Atau kisah anak muda yang membongkar satu kawasan tempat pembuangan sampah mencari harddisk bekas komputernya yang menyimpan password bitcoinnya tapi dibuangnya tanpa sengaja. Atau tentang pria yang menikahi calon istri dengan mahar uang kripto.

Tak dinyana, saya yang terpana. Saudara saya -- orang kampung -- ternyata jauh lebih maju. “Dulu saya juga main Dogecoin dan Ethereum. Tapi tidak untung,” katanya. “Saya untung di Shiba Inu, ini modalnya sedikit. Sempat naik lima kali lipat, tapi sayang saya hanya main sedikit”.

Hari ini -- ketika saya hendak menuliskan status ini -- saya menelponnya lagi. Ia rupanya masih menggilai uang kripto. “Ada yang mau listing, sekitar jam tiga sore ini. Buff Dogecoin. Baru mau masuk pasar. Bisa dibeli lewat pasar kecilnya. Harganya baru 0,001 rupiah,” katanya, berbicara cepat-cepat.

Terus terang, saya tidak terlalu mengerti.

Ia sudah menambang uang kripto sejak lama. Berbekal komputer yang tak begitu gegas, ia sudah menekuni dunia itu dan meraup untung meski untuk jenis sekian desimal yang belum membuatnya kaya-raya hehe.

Tapi begitulah. Semenjak Bitcoin dikenalkan oleh lelaki Jepang yang misterius, Satoshi Nakamoto di tahun 2009, dunia semakin tak berjarak. Setelah Bitcoin -- uang kripto yang kini bernilai pasar 1,2 triliun dollar AS -- muncul Namecoin, Litecoin, Peercoin, Ethereum, Solana, Tether, Cardano, XRP, dan lain-lain.

Ada ribuan uang kripto yang kini tersedia di dunia yang tak terlihat. Tak ada lagi batasan kota, desa, negara maju, berkembang, atau pinggiran. Yang membatasi pada akhirnya adalah kecepatan internet, dan tentu saja kemampuan memahami dan beradaptasi dengan peradaban baru.

Uang kripto atau cryptocurrency ini adalah uang digital atau virtual yang dijamin oleh cryptography yang membuatnya hampir tidak mungkin dipalsukan. Pencatatan semua transaksi yang dilakukan tersimpan pada blockchain dan terkoneksi di dalam satu jaringan yang tersebar luas sehingga tidak terpusat pada satu tempat atau desentralisasi.

Transaksi antarpengguna yang tak perlu melewati pihak ketiga membuatnya gampang menyebar. Uang kripto yang tak mengenal batas negara, tak bergantung bank sentral, kini merangsek ke seluruh pelosok bumi. Sampai juga ke kampung saya.

Lalu muncul larangan-larangan. Pemerintah China -- yang jutaan rakyatnya menekuni penambangan uang kripto lewat investasi komputer-komputer supercepat yang konon menjadi penyebab kelangkaan kartu grafis di seluruh dunia – telah mengeluarkan larangan tegas menambang Bitcoin dan uang kripto lain di negara itu. Para penambang Tiongkok kaya lalu pindah ke luar negeri yang lebih ramah. Ada yang pindah ke Kanada, karena harga gas yang rendah. Maklum, superkomputer butuh daya yang besar untuk menjalankan dan mendinginkannya. Ada juga yang ke Islandia yang tarif listriknya murah.

Dan itulah masalahnya. Dampak buruk uang kripto pada lingkungan hidup kini jadi sorotan. Penambangan uang kripto sungguh menguras energi dunia. Direktur Jenderal Badan Perlindungan Lingkungan Swedia Björn Risinger kemarin mendesak Uni Eropa melarang penambangan uang kripto yang rakus energi, menghasilkan gas rumah kaca, dan berpengaruh buruk pada perubahan iklim.

Sebuah riset menyebutkan, untuk menambang satu Bitcoin, dibutuhkan energi setara dengan kebutuhan kendaraan listrik menempuh 1,8 juta kilometer. Padahal, saat ini, setiap hari rata-rata ada penambangan 900 Bitcoin. Setiap tahun dibutuhkan setidaknya 91 TeraWatt-jam listrik untuk menambang bitcoin, dan tentu lebih banyak lagi jika digabung dengan uang kripto lain.

Digiconomist memperkirakan, penambangan dua jenis uang kripto populer, Bitcoin dan Ethereum, menghasilkan 120 juta ton karbon dioksida per tahun, dan 30.700 ton sampah elektronik per tahun. Mengapa sampah elektronik? Karena setiap transaksi uang kripto harus diperiksa jaringan komputer yang saling bersaing di banyak tempat di seluruh dunia. Semua berlomba menjadi yang tercepat. Karena itu pula, para penambang rutin mengganti komputer-komputer mereka.

Begitulah. Sampai hari ini, saya belum tergerak untuk ikut dalam urusan tambang-menambang uang kripto ini meski sangat tertarik dengan kisah-kisahnya. Apalagi, majelis ulama sudah pula mengeluarkan fatwa haram penggunaan kripto sebagai mata uang. Alasannya uang kripto mengandung unsur gharar, dharar, qimar. Apa itu? Carilah sendiri.

Kali ini, meski beda alasan, banyak yang senada dengan MUI. Iklan uang kripto juga sudah dilarang di media sosial dari Amerika seperti Facebook dan Twitter, sampai Google. Larangan yang sama berlaku juga di Baidu dan Weibo, dua aplikasi internet populer dari China, Line dari Jepang, dan Yandex dari Rusia.

Tapi kalimat saudara saya terngiang sampai siang ini. “Main kecil-kecil saja dulu. Ada Sand, Mana, Shiba Inu,” katanya.

***