Sekembali di Jakarta, Budiarto Shambazy masih bisa tersenyum, karena Raymond Toruan tidak mempersoalkan pembelian laptop. Sejak itu pembelian laptop masuk anggaran Redaksi.
Walaupun alih teknologi di Kompas membekas pedih di hati saya namun ada juga kenangan yang membuat saya bangga karena telah ikut berbuat dalam proses tersebut. Dengan demikin, kini setelah pensiun jika melewati gedung Kompas di Jalan Palmerah Selatan, bisa berbisik pada diri sendiri bawa saya pernah ikut dalam proses menjadi Kompas sekarang. Ya, sebatas itu saja!
Masih ingat dalam benak saya, pada 1986, komputer sebagai pengganti mesik ketik masih merupakan barang aneh di Kompas. Satu-satunya komputer yang ada di Redaksi Kompas saat itu dipakai Raymond Toruan. Itu pun karena ia menjabat sebagai manajer redaksi yang mencatat segala hal rahasia, terutama gaji karyawan. Semula ia mengerjakan tugas-tugas rahasia tersebut dengan desktop komputer di rumahnya, giliran data dibutuhkan di kantor, ia harus balik ke rumah. Setelah beberapa kali terjadi, akhirnya dibelilah laptop.
Sebenarnya niat alih teknologi sudah ada. Azkarmin Zaini selaku Sekretaris Redaksi beberapa kali mengadakan pelatihan namun hingga akhir 1987, belum juga dipraktikkan. Wartawan tetap saja memilih menulis berita dengan mesin ketik. Tragisnya, jika ada wartawan menggunakan komputer, justru ditolak oleh para penyunting karena mereka masih gaptek, gagap teknologi. Jadinya tidak maju-maju.
Pengenalan awal terhadap komputer dilakukan di Redaksi ketika percetakan meminjamkan empat komputer System-6 pada tahun 1987. Avent Kuang yang bertanggung jawab di Meja Sunting mulai mencoba-coba. Setelah itu pada Februari 1988 di Redaksi ditempatkan dua komputer XT untuk siapa saja yang mau mencoba. Akhirnya, pelan tapi pasti semakin banyak wartawan yang menggunakan komputer dalam menulis berita.
Problem yang muncul sekarang, bagaimana mengubah pengiriman berita dari luar Jakarta. Koresponden Kompas ataupun wartawan Kompas yang dinas ke luar kota selama ini mengirimkan berita, tulisan, atau fotonya melalui kantor pos dengan pos kilat.
Selanjutnya beralih ke kilat khusus, menggunakan jasa angkutan udara, teleks, dan faksimil. Itu berarti masih harus diketik ulang sebelum masuk percetakan. Ketika era komputer makin berkembang, tuntutan mengirim berita melalui komputer pun menjadi wacana. Saat itu bagian TI belum menjamah produksi redaksi.
Saya bersama Totok Purwanto (TPK), wartawan olahraga ketika itu, suatu hari berbicara dengan Raymon Toruan tentang kemungkinan mengirim berita melalui komputer. “Ini saya pinjamkan laptop yang memang sudah ada modemnya”, kata Raymond Toruan.
“Nyambungnya ke mana?” tanya saya.
“Beli saja modem lagi dan pasang di desktop,” tambah Raymond.
Modem dibeli seharga Rp300.000 dan percobaan pengiriman berita dilakukan dengan pesawat telepon yang ada di meja kerja. Duduk bersebelahan kami memakai dua pesawat telepon. Program yang digunakan Crosstalk, diawali dengan bicara per telepon. Saya dalam posisi mengirim, Totok menerima.
Setelah kontak telepon biasa, saya menghitung 1, 2, 3 dan kami sama-sama menekan tombol enter. Pembicaraan sudah tidak bisa dilakukan dan terdengar suara macam sirene. Gagang telepon diletakkan di tempatnya dan mata kami terus melotot ke monitor. Wah gagal, karena tulisan connect-nya tidak segera muncul.
Percobaan terus diulang berkali-kali hingga dinihari, kadang-kadang nyambung tapi putus lagi. Akhirnya kami sadar sambungan antarkomputer memerlukan kejernihan dan agak sulit apabila jaringan telepon sudah melewati PABX. Kami pun sepakat hendak mencoba dari rumah ke rumah.
Namun laptop hanya satu dan Raymond tidak menyetujui membeli laptop lagi. Kami tidak putus asa dan “mengakali” penjual komputer, dengan mengatakan Kompas ingin membeli laptop. Masuklah dua penawaran yang setuju barangnya diuji coba selama satu pekan.
Bermodalkan laptop “pinjaman”, percobaan diadakan dari rumah saya di Kebon Jeruk Jakarta dan rumah TPK di Tangerang, kemudian sekali-kali dicoba dari luar kota. Sukses! tetapi Raymond tetap kukuh tidak ingin membeli laptop. Akhirnya dengan berbagai alasan, laptop pun dikembalikan ke supliernya. Yang penting, percobaan sudah mendapat hasil.
Pengiriman berita dari luar negeri dengan menggunakan modem, pertama kali dilakukan Desk Olahraga, TPK lah promotornya. Pada Olimpiade Seoul yang digelar medio September 1988, tim olahraga yang terdiri atas Budiarto Shambazy, Hendry Bangun, Irving Rivai Noor (alm), dan Kartono Ryadi (alm) harus berebut laptop. Hendry Bangun yang berangkat paling awal ke Seoul, selain menjinjing laptop juga masih membawa mesin ketik. Ia belum yakin dengan laptop yang dibawanya.
Budiarto Shambazy sebelum berangkat masih berjuang mendapatkan laptop. “Saya bawa uang UDLN lebih dan mau mampir Singapura untuk beli laptop,” kata Bas. “Kalau kantor tetap nggak boleh beli laptop bagaimana?” kata saya. “Biar nanti laptop itu buat saya dan uang kantor saya kembalikan,” jawab Bas enteng.
Sampai di Seoul, Budiarto Shambazy dan Hendry Bangun dengan lancar mengirim berita ke Jakarta. Tinggal Irving yang harus menunggu laptop nganggur, sementara Kartono Ryadi harus gigit jari, karena foto-fotonya masih harus dimasukkan amplop kuning dan setiap hari terus “lari” ke bandara untuk urusan pengiriman kargo udara ke Jakarta.
Itulah awal Kompas melakukan pengiriman berita melalui komputer dan perlahan-lahan jumlah laptopnya pun bertambah.
Sekembali di Jakarta, Budiarto Shambazy masih bisa tersenyum, karena Raymond Toruan tidak mempersoalkan pembelian laptop. Sejak itu pembelian laptop masuk anggaran Redaksi.
***
Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [34] Tahun Baruan di Kompas
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews