Benci Berlebih sampai Berbuih-buih

Selasa, 21 Agustus 2018 | 08:47 WIB
0
768
Benci Berlebih sampai Berbuih-buih

Perdebatan tentang status bencana nasional dan daerah adalah ruang pendidikan politik terbaik untuk mengedukasi publik tentang kebencanaan.

Sayangnya, sebagian kecil menjadikannya arena untuk mencaci dan menghujat. Niatnya semata-mata didasari rasa BENCI. Benci yang berlebih.

Kita ini memang hidup di tanah rawan bencana. Nyaris di sekujur tanah republik ini tersimpan potensi bencana. Nyaris setiap tahun, terjadi bencana relatif besar, mulai dari gempa Sumatera Barat 2009, erupsi Gunung Merapi 2010, tsunami Mentawai 2010, banjir bandang Wasior 2010, banjir Jakarta 2013, banjir bandang Manado 2014, kebakaran hutan dan lahan 2015, erupsi Gunung Sinabung 2012 sampai sekarang, erupsi Gunung Kelud 2014, gempa Pidie Jaya 2016, dan lainnya.

Pada setiap kejadian itu, tidak ditetapkan status BENCANA NASIONAL. Meski demikian, sumber daya berskala nasional disiagakan dan seluruh instrumen negara berada dalam status siaga untuk digerakkan. Dan kita mampu menyelesaikannya. Sebaik-baiknya. Semaksimal yang kita punya.

Saya pernah bolak-balik di lapangan saat gempa Pidie Jaya 2016 terjadi, dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana sumber daya nasional yang kita punya dikerahkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi di lapangan.

Ada dua tahap penting yang dikerjakan dalam penanganan bencana. Tahap pertama adalah tanggap darurat. Pada fase ini, aktivitas utamanya adalah PENCARIAN dan EVAKUASI korban. Termasuk di dalamnya pendataan korban dan kerusakan.

Tahap kedua adalah pemulihan. Pada fase ini, biasanya sumber daya dikerahkan untuk memulihkan fisik dan psikis para korban, memulihkan dan merekonstruksi bangunan dan sarana-sarana seperti jalan, jembatan, bangunan, dan sebagainya.

Penyelesaian dan penanganan pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, pada umumnya memakan waktu lebih lama di lapangan. Bahkan sampai 12 bulan setelahnya, proses itu masih berlangsung.

Biasanya, yang lama adalah koordinasi antarlembaga, di mana setiap kementerian atau lembaga bertindak atas dasar aturan yang menaunginya. Sementara, fakta di lapangan seringkali memerlukan penanganan yang melampaui batas-batas aturan atau kewenangan itu.

Maka, dalam kasus gempa Lombok, payung hukum Instruksi Presiden (INPRES) akan menjadi rujukan untuk mempercepat proses rehabilitasi dan rekonstruksi, karena setiap lembaga menggunakan acuan aturan yang sama, dan tidak lagi khawatir bahwa pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi melampaui aturan-aturan pada setiap kementerian atau lembaga.

Cuma ya itu tadi. Ada sebagian kecil, mungkin segelintir saja, pihak yang punya stok BENCI BERLEBIH, lalu menjadikan urusan ini berbuih-buih. Menuding ini itu, tanpa mau mencari tahu.

***