Kisah Karateka Fauzan Noor, bisa menjadi titik pertemuan dua federasi karate di Indonesia, yakni Federasi Olahraga Karate-do Indonesia (FORKI) dan Federasi Karate-do Tradisional Indonesia (FKTI).
Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) hanya mengakui FORKI sebagai satu-satunya federasi karate di Indonesia.
Gara-gara itu pula, nasib karateka Fauzan Noor luput dari perhatian Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Mereka tidak mendapatkan informasi dari KONI bahwa karateka FKTI, Fauzan menorehkan tinta emas dalam kejuaraan ITKF di Praha, Republik Ceko.
"Kami memohon maaf atas keterlambatan memberikan apresiasi kepada karateka Fauzan yang meraih emas dan membawa harum Merah Putih di tingkat dunia," seperti bunyi rilis resmi Kemenpora, kemarin.
"Saya sudah di Jakarta, Pak. Ini diundang berbagai stasiun televisi," kata Fauzan kepada penulis melalui sambungan telepon dan percakapan via WA.
Ah, selamatlah kau, Fauzan. Kami senang kini pemerintah pusat dan daerah mulai memberikan apresiasi untukmu.
Setelah viral tentang Fauzan yang tidak mendapatkan hadiah apa pun dari pemerintah. Padahal dia memenangi pertandingan kumite (perkelahian) putra karate versi ITKF, awal 2018 lalu.
Di dunia dikenal dua badan karate, ITKF dan WKF. FKTI berafiliasi ke ITKF. Sedangkan FORKI sebagai karate umum modern berafiliasi ke WKF.
WKF sesungguhnya penyatuan dari dua badan sebelumnya, yakni World Union Karate-do Organization (WUKO) dengan ITKF. IOC pun kemudian mengakui WKF dan karate siap dipertandingkan di olimpiade Tokyo 2020. Namun belakangan perwakilan ITKF 'ditendang'. Sehingga muncul WKF-T di dalam badan tersebut atau kembali lagi ITKF. Konflik yang tidak berkesudahan. Perkembangan terbaru untuk unifikasi kembali ada rencana diberi nama WK (World Karate-do).
Maka di Indonesia pun FKTI berafiliasi ke WKF-T atau masih disebut ITKF.
FKTI embrionya adalah Inkai (Institut Karate-do Indonesia), salah satu induk organisasi karate tertua dan terbesar di Indonesia. Bahkan didirikan oleh Yayasan Inkai. Inkai sebagai perguruan karate akhirnya pecah. Ada yang tetap berafiliasi ke FORKI ada pula yang ke FKTI.
Padahal, perguruan Inkai dari aliran terbesar di dunia, Shotokan, menjadi salah satu penyumbang atlet terbanyak untuk Forki. Tentu saja untuk Indonesia, termasuk di ajang SEA Games atau Asian Games.
Gara-gara karate tidak bersatu, Komite Olimpiade Internasional atau IOC menolak karate dimasukkan dalam cabang olimpiade. Ironis, karate yang lebih dahulu dikenal dunia, justru kalah dengan taekwondo.
Tentu ada sebabnya. Sebenarnya bukan cuma karate yang mengalami perpecahan seperti ini. Taekwondo pernah mengalami hal yang sama.
Di Indonesia awalnya ada dua organisasi, yakni Federasi Taekwondo Indonesia (FTI) dan Persatuan Taekwondo Indonesia (PTI). Akhirnya menjadi satu dalam Taekwondo Indonesia (TI).
Di tingkat dunia pun begitu, ada International Taekwondo Federation (ITF) sebagai taekwondo tradisional dan World Taekwondo Federation (WTF) sebagai taekwondo umum modern.
Untuk memenuhi syarat masuk ke olimpiade, akhirnya mereka bersatu dalam wadah WTF yang kemudian diubah lagi menjadi World Taekwondo (WT).
Sementara, karate hingga kini belum bisa menyatu. Masing-masing bersikukuh dengan pendapatnya. Fauzan sudah menjadi korban. Sejak berangkat ke Republik Ceko, tidak mendapatkan bantuan dari FKTI, KONI, dan Kemenpora.
Ia pun tidak akan bisa bertanding di SEA Games, dan Asian Games. Sebab IOC pun hanya mengakui pertandingan versi WKF, bukan ITKF.
Sebenarnya karate itu satu. Tidak ada bedanya dalam kihon (gerakan dasar). Yang membedakan hanya sistem pertandingannya saja. Terutama dalam kumite (perkelahian).
Karate tradisional sama seperti taekwondo tradisional, juga tidak mengenal body protektor di kepala, wajah, tubuh, dan kaki. Bahkan tidak mengenal kelas berdasarkan ukuran berat badan.
Contoh ketika Fauzan berhadapan dengan karateka Ceko di final. Bagai David melawan Goliath. Kita bisa menyaksikan Fauzan tersiksa. Tubuhnya terpental ditendang lawannya yang jauh lebih besar. Ia pun terbanting beberapa kali. Belum lagi pukulan yang menghantam wajah dan dadanya.
Berbeda dengan karate modern maupun taekwondo modern yang lebih melindungi atlet serta inovasi-inovasi sitem pertandingan. Sehingga lebih menarik untuk ditonton dan lebih kekinian daripada tradisional yang (maaf) terkesan kekunoan.
Ego kedua federasi dunia harus dibenamkan jika karate ingin dipertandingkan di olimpiade.
Hal yang sama juga pernah terjadi di bulutangkis (badminton).
Adalah Sudirman tokoh bukutangkis Indonesia yang berhasil meyakinkan para pemimpin IBF-WBF (International Badminton Federation) dan World Badminton Federation (WBF) agar hanya ada satu organisasi bulu tangkis dunia.
Penyatuan IBF-WBF itu justru terjadi di negara asal karate di Tokyo, Jepang, 1981.
Kini satu-satunya induk organisasi bulutangkis dunia adalah Badminton World Federation, disingkat BWF.
Setelah menyatu, bulutangkis masuk dalam cabang olimpiade pada 1992. Sedangkan taekwondo masuk olimpiade pada 1996.
Jumlah karateka di Indonesia terbanyak di dunia. Karate pun lebih dahulu masuk Indonesia daripada taekwondo dan lain-lain.
Peluang Indonesia meraih medali di cabang karate pun terbuka lebar jika cabang beladiri ini masuk olimpiade. Kita tidak ingin ada Fauzan-fauzan baru yang tak terpantau, karena egoisme pengurus dua federasi karate dunia.
Kita juga perlu memberikan apresiasi kepada Kemenpora yang akan mempertemukan FKTI dengan KONI. Sudah sekian lama pula FKTI mengajukan diri menjadi anggota KONI, namun ditolak. Padahal karate tradisional juga bagian dari olahraga. Sementara cabang lain yang nilai olahraganya lebih sedikit dari karate tradisional, malah diakui keberadaannya.
Karate, belajarlah dari taekwondo dan badminton.
KARATE, bersatulah....
Ossu.
***
Tulisan sebelumnya:
http://pepnews.com/2018/08/05/tradisi-karate-2-pecahnya-tangan-kosong/
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews