Tentang "Rock Balancing" Yang oleh Segelintir Umat Dianggap Syirik Itu

Sabtu, 10 Maret 2018 | 13:42 WIB
0
730
Tentang "Rock Balancing" Yang oleh Segelintir Umat Dianggap Syirik Itu

Gara-gara postingan berbalas saya (padakne pantun wae) tentang meja persembahyangan, saya dikunjungi seorang master of rock balancing Indonesia. Dia adalah seorang yang selama ini mengelola kegiatan yang disebut Festival Gravitasi Bumi yang sudah beberapa kali dalam beberapa tahun terakhir diselenggarakan di Ngawi. Sebuah perayaan yang mengundang ribuan orang, bersama-sama menyusun batuan alami yang bentuknya berbeda di sebuah sungai.

Tanpa perekat juga tanpa adanya bantuan kawat untuk membantu keseimbangan dari batu itu sendiri. Kenapa di sungai? Di luar faktor air yang membuat batu-batu itu lebih mudah bersenyawa, juga sungai-sungai itu umumnya sudah memiliki batu-batu yang banyak sehingga mudah berkreasi dalam bentuk dan tingkat kesulitannya.

Mungkin juga mereka ingin mengikuti jejak para master kelas dunia seperti yang dilakukan oleh Michael Grabs yang berasal dari Kanada dengan Gravity Glue-nya, atau oleh seniman asal Jepang, Kokei Mikuni. Sebagian besar karya-karya luar biasanya dibuat di sungai, atau daerah-daerah yang berair. Sehingga kesannya jadi lebih dramatis, mistis, dan tentu saja eye cathcing. Melihat batu yang basah tersusun itu seindah dan seasyik mengintip perempuan mandi di sungai. Halah!

[caption id="attachment_11934" align="alignright" width="457"] Rock Balancing (Foto: Abhiyoga Bhismahatmaveda Setiono)[/caption]

Trend dan fenomena rock balancing, memang tak bisa dilepaskan dari wabah fotografi for everybody dan tentu saja trend sosial media yang menyertainya. Semua orang bisa jadi fotografer, hanya dengan telepon genggam. Bila sebelumnya, orang harus punya kamera canggih untuk membuat gambar dramatis, maka saat ini proses dokumentasinya sangat instant. Apalagi kreasi rock balancing yang tak bisa diprediksi berapa lama umurnya, bisa lima menit, sejam, sehari tapi bisa berbulan-bulan.

Konon salah satu kunci daya tahan karya ini pada bagaimana seorang kreator berhasil mengontrol emosinya. Ia sejenis proses mediatatif, mengendalikan pikirannya sendiri untuk menghasilkan sebuah karya sehingga tampak indah, tentu dengan tingkat kesulitan yang sebelumnya tak terduga. Butuh kontrol emosi yang cukup tinggi, karena dengan ketenangan serta kesabaran menjadi kuncinya.

Secara teknis, hal yang terpenting yang harus ditemukan oleh si kreator adalah menemukan tiga titik pijak dari batu yang di atasnya, untuk bisa duduk di atas batu di bawahnya.

Logika-nya sederhana sekali, analoginya adalah bagaimana membuat sebuah tripod (kaki tiga) bisa tegak dan kokoh berdiri. Tidak peduli apakah kedua batu sama runcingnya, karena mereka akan disatukan oleh kekuatan gravitasi secara alamiah.

Dua hal, yang agak saya kaget dari penjelasan Sang Master adalah: Pertama, seni rock balancing ini sebenarnya adalah suatu seni yang dasarnya memiliki watak vandalisme.

Vandal? Iya karena ia memaksakan perubahan harmoni alam, ketika batu-batu itu telah tersebar dan bertumpuk dalam aliran air sungai atau teronggok di suatu tanah kering, ia dipaksa berubah, disusun secara bertumpuk untuk melawan harmoni alam dan sedikit menggunakan kekuatan gravitasi alamiah. Ia dipaksa menuruti kemauan manusia, yang ironisnya semakin memiliki tingkat kesulitan tinggi semakin indah dilihat dan bernilai tinggi secara fotografis.

Di sinilah memunculkan nilai-nilai baru bahwa vandalisme tak selamanya buruk, ia juga bisa indah dan nikmat!

Kedua, kebahagiaan seorang kreator rock balancing, justru terletak ketika akhirnya susunan batu itu runtuh, dan batu-batu itu kembali ke irama alamnya. Di sini ia mencotohkan, kasus yang terjadi di Cidahu, Sukabumi beberapa waktu yang lalu. Ketika aparat desa merusak dan menghancurkan karya-karya di tengah sungai itu, mereka dengan "tolol dan penuh tuduhan" menganggap karya itu bersifat syirik.

[irp posts="10085" name="Apakah Politikus Doyan Batu?"]

Saya baru sadar, justru saat karya-karya itu ditendang, dibabat dan diruntuhkan, si kreator merasa itulah puncak ekstase, kepuasan dan kebahagiaan yang luar biasa!

Toh besok ia bisa mengulangi lagi, ia merasa orang-orang itu justru telah menghapuskan dosa-dosa aksi "vandalisme"-nya. Dan para komentator yang juga sama tidak mengertinya, ikut-ikutan mengecamnya tanpa pemahaman yang baik! Hahaha, dan saya tertawa ngakak ketika mendapat penjelasan dan pencerahan ini!

Kemarin mas Yosef Danni Kurniawan menantang dirinya sendiri: membawa batu-batu kecil yang indah (sebagian berkarakter bahan mentah akik), dan mencoba menyusunnya di depan meja persembayangan saya. Mungkin dia mau "uji nyali", bisakah batu-batu itu bersenyawa melawan meja yang konon penunggunya sangat ramah dan intelek itu.

Ternyata konon tidak semudah mempraktikannya di sungai, karena sebagian runtuh hanya beberapa menit setelah berhasil disusun. Tentu ada satu yang memang sengaja dibuat bertahan lama, sebagai tinggalan buat saya. Bagi saya ini sebuah masterclass pro-bono yang menyenangkan.

Sesuk dibaleni ya, mas!

Fotografi by Abhiyoga Bhismahatmaveda Setiono

***

Editor: Pepih Nugraha