Dua Menguak Takdir

Jumat, 2 Maret 2018 | 09:35 WIB
0
637
Dua Menguak Takdir

I.

Ketua Umum MUI sekaligus Rais Aam PBNU K.H. Ma’ruf Amin kerap disebut ayahanda oleh HRS. Saya menyebutnya sebagai "Ayah Bangsa". Kedekatannya dengan pemerintah bisa menjadi jembatan penghubung kebuntuan antara pemerintah di satu sisi dengan pihak yang bersebarangan dengan pemerintah di sisi lain.

Ketika terjadi ketegangan jelang aksi dua satu dua, walaupun Pak Kyai mengimbau agar membatalkan niat aksi itu, tapi Pak Kyai juga memahami niat “anak-anaknya” sulit dibendung. Pemerintah pun tetap pada pendiriannya, melarang aksi itu. Pada saat ketegangan sampai pada titik kritis, beliau tampil sebagai penengah.

Walhasil, panitia aksi dan pemerintah mencapai kata sepakat, aksi tetap berjalan dipusatkan di Monas. Walaupun pada akhirnya meluber juga sampai jauh, itu soal lain. Beliau didaulat menjadi imam sholat jum’at pada aksi itu. Beliau tidak mengiyakan, juga tidak menolak.

Setelah beliau pertimbangkan, beliau tidak datang ke acara aksi itu. Dapat dipahami, aksi dua satu dua memang mendapat penolakan dari kalangan petinggi NU. Pak Kyai ayah bangsa ini ingin berdiri di tengah anak-anaknya yang pro dan kontra. Terpenting, aksi itu berlangsung super damai. Kata Penjabat Gubernur DKI, tidak ada satu pun ranting yang patah. Walhasil, yang kontra pun memuji kesuperdamaian aksi itu.

Pada kasus Ahok, kedekatan Pak Kyai dengan pemerintah tidak menyurutkan setapak pun pendapat Pak Kyai bahwa Ahok memang menista agama Islam sebagaimana yang dinyatakan pada kesaksiannya di persidangan.

Sedikit pengantar soal Pak Kyai ini penting untuk memahami tema tulisan ini yang mengambil judul pelesetan kumpulan puisi "Tiga Menguak Takdir" karya tiga penyair, Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin.

Kali ini Pak Kyai menjembatani antara pemerintah dengan terpidana terorisme Ustadz Abu Bakar Baasyir. Saya kira untuk saat ini tidak ada seorang tokoh pun berani mengajukan usul kepada Presiden agar Ustadz Abu yang sedang sakit dirawat dengan perawatan terbaik, terlebih mengusulkan grasi.

Keberanian usulan Pak Kyai ini disambut baik oleh sejumlah tokoh politik baik parpol pemerintah maupun oposisi. Maklumlah, ini 'kan tahun politik. Padahal, kalau misalnya bukan usulan pak Kyai , mana ada yang berani mewacanakan grasi terhadap Ustadz Abu Bakar Baasyir.

Walhasil, Presiden mengabulkan permintaan pertama, tapi tentu saja soal grasi perlu proses panjang, dan syarat utamanya adalah permohonan Ustdaz Abu.

Mudah ditebak, Ustadz Abu menolak permohonan grasi. Dia memilih mendekam di penjara –baik jeruji besi maupun tahanan rumah -yang terisa 8 tahun lagi dari vonis 15 tahun penjara ketimbang minta maaf pada pemerintah. Dia tidak merasa bersalah.

Menurut pengacaranya, Ba'asyir enggan menerima grasi karena harus mengakui kesalahan yang tidak dilakukan. "Saya hanya menjalankan keyakinan saya, agama saya, dan menerangkan tentang agama Islam," kata Guntur, pengacaranya menirukan ucapan Ba'asyir sebagaimana dikutip oleh beberapa media.

II.

Tertangkapnya kelompok Family MCA yang dituduh menyebarkan berita hoax mendapat reaksi dari KH Ma’rif Amin. Pak Kyai meminta agar penebar berita hoax tidak membawa-bawa nama "Muslim". Tentu saja taushiyah Pak Kyai Ma’ruf berdasarkan Alqur’an dan Hadits yang memang dengan tegas melarang penyebaran berita bohong (hoax).

Cuma persoalannya, apakah Family MCA ini beneran MCA (Muslim Cyber Army) atau nama yang mendompleng MCA. Karena MCA yang asli tidak punya pengurus, tidak punya sekretariat, tidak saling kenal dalam pengertian bertatap muka, dananya dari kocek masing-masing. Kalau pas lagi cekak kuota, ya paling cuma bisa baca beranda Fesbuk tanpa bisa ikut komentar.

[irp posts="11428" name="Fenomena Muslim Cyber Army dan Bentuk Fanatisme Beragama"]

Family MCA ini tidak seperti MCA yang selama ini dikenal. Ada pengurus, ada divisi ini, itu, istilahnya pun cukup serem, ada sniper, dan entah apa lagi. Terpecah menjadi group-group kecil yang tergabung dalam MCA United.

Menurut pengakuan tersangka, dia mendirikan MCA United sejak 5 tahun lalu. Padahal MCA beneran baru muncul ke permukaan sejak aksi dua satu dua. Katakanlah, cikal bakalnya ada saat pilpres 2014. Tetap saja belum sampai 5 tahun.

Lebih serem lagi, masuk menjadi anggota MCA United diteliti dengan ketat dan harus dibaiat.Ditambah lagi dengan perburuan tersangka yang menetap di Korea, kayanya sudah kelas internasional. Pokoknya mirip dengan geng teroris. Saya membayangkan, pasti pimpinan tertingginya memegang teguh prinsip, lebih baik dipenjara daripada menyerah kalah. Walaupun tentu saja menyebar berita bohong ditinjau dari sudut agama tentu saja salah.

Ternyata saya salah duga. Pemimpin tertingginya, walaupun belum sampai dilimpahkan ke kejaksaan sudah menangis tersedu-sedu menyesali perbuatannya. Buyar bayangan sniper, baiat , ratusan ribu hoax, backup organisai tertentu, dana tak terbatas, dan seterusnya. Ternyata bukan ganteng-ganteng srigala, tapi seram-seram kucing betina.

Ini sih kayanya nasibnya kaya Saracen. Rame di awal. Tegang menunggu, siapa ya politisi yang berada di belakang Saracen? Siapa ya yang mendanai Saracen? Pasti pengungkapannya bakal bikin geger. Tapi sampai saat ini jawabannya masih mengambang sampai muncul keramaian baru dengan nama baru, MCA United.

Begitulah.

02032018

***

Editor: Pepih Nugraha