Bahasa Ibu Tidak Identik dengan Bahasa Daerah

Sabtu, 24 Februari 2018 | 05:41 WIB
0
785
Bahasa Ibu Tidak Identik dengan Bahasa Daerah

“Bapak saya orang Betawi, ibu saya orang Jawa, sedangkan saya sendiri lahir dan besar di Bandung. Orang tua saya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia lah yang saya gunakan sejak kecil di rumah. Saya bisa berkomunikasi dengan Bahasa Sunda tapi tidak juga bisa dikatakan mahir karena bahasa pengantar di sekolah saya adalah Bahasa Indonesia,” cerita seorang peserta Gelar Wicara yang diadakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di Jakarta tanggal 21 Februari 2018 dalam rangka Hari Bahasa Ibu Internasional.

“Menurut Bapak, apa yang bisa saya lakukan untuk melestarikan bahasa daerah sedang saya sendiri seperti orang yang tidak punya identitas daerah?” tanya peserta itu pada akhirnya. Pertanyaan tersebut ditujukan pada Pak Dadan Sunendar, Kepala Badan Bahasa, setelah beliau memberikan paparan tentang Kebinekaan Bahasa Daerah sebagai Potensi Pemajuan Bangsa.

“Saya kan calon ibu nih, bahasa apa yang harus saya wariskan pada anak saya nanti dengan latar belakang saya itu, Pak?” peserta tadi menambah pertanyaannya.

“Nikah saja dulu, Mbak...” potong si MC sambil tergelak yang kemudian disambut dengan tawa peserta yang lainnya.

Jawaban Pak Dadan pun ternyata kurang lebih sama dengan guyonan si MC. Menurut Pak Dadan, si penanya ini harus tahu juga pasangannya berasal dari daerah mana, dengan bahasa apa mereka nanti akan berkomunikasi, dan mereka tinggal dimana.

Masuk akal, sih. Ya kali nanti si Mbaknya itu tinggal di Inggris terus nikah sama orang Inggris yang bahasa Indonesianya aja gagap, masak anaknya mau diajak Nyunda? Bisa aja sih, tapi kan repot.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat, seperti keluarga dan tetangganya. Bahasa pertama yang dikuasai manusia, tidak harus bahasa daerah. Seperti kata Pak Dadan tadi, tergantung orang tua dan daerah tinggalnya. Walaupun begitu, yang selalu dibahas di setiap peringatan Hari Ibu Internasional adalah bahasa daerah yang punah atau terancam punah.

Agak lucu sih, menurutku. Aku sempat berdiskusi dengan Pak Nanang Supriatna, redaktur pelaksana tabloid mingguan Galura. Menurut beliau, bahasa ibu tidak identik dengan bahasa daerah atau bahasa etnik. Misalnya ada sepasang suami istri orang Tasikmalaya, orang Sunda, puluhan tahun berdomisili di Jepara, Jawa Tengah. Kemudian anak-anaknya lahir, besar, dan bersuami orang Jepara. Anak-anaknya lagi masih bisa disebut orang Sunda namun bahasa ibu mereka kemungkinan besar bahasa Jawa.

Di kalangan masyarakat Sunda yang tinggal di tanah Pasundan, bisa jadi bahasa ibunya bukan bahasa Sunda. Pak Nanang juga pernah menulis di jabaraca.com tahun lalu. Orang Sunda yang tinggal di perkotaan seperti di Bandung, Bekasi, atau Depok banyak yang bahasa ibunya bukan bahasa Sunda tapi bahasa Indonesia.

Beberapa negara sudah mengusulkan ke UNESCO meminta istilah Hari Bahasa Ibu diganti dengan Hari Bahasa Daerah atau Hari Bahasa Etnik. Karena memang itulah yang menjadi bahasan dalam Hari Bahasa Ibu Internasional. Dan kalau melihat sejarah penetapan Hari Bahasa Ibu Internasional, yang diperjuangkan oleh orang Bangla adalah diakuinya bahasa etnik Bangla, bukan bahasa ibu.

***

Editor: Pepih Nugraha