“Bapak saya orang Betawi, ibu saya orang Jawa, sedangkan saya sendiri lahir dan besar di Bandung. Orang tua saya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia lah yang saya gunakan sejak kecil di rumah. Saya bisa berkomunikasi dengan Bahasa Sunda tapi tidak juga bisa dikatakan mahir karena bahasa pengantar di sekolah saya adalah Bahasa Indonesia,” cerita seorang peserta Gelar Wicara yang diadakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di Jakarta tanggal 21 Februari 2018 dalam rangka Hari Bahasa Ibu Internasional.
“Menurut Bapak, apa yang bisa saya lakukan untuk melestarikan bahasa daerah sedang saya sendiri seperti orang yang tidak punya identitas daerah?” tanya peserta itu pada akhirnya. Pertanyaan tersebut ditujukan pada Pak Dadan Sunendar, Kepala Badan Bahasa, setelah beliau memberikan paparan tentang Kebinekaan Bahasa Daerah sebagai Potensi Pemajuan Bangsa.
“Saya kan calon ibu nih, bahasa apa yang harus saya wariskan pada anak saya nanti dengan latar belakang saya itu, Pak?” peserta tadi menambah pertanyaannya.
“Nikah saja dulu, Mbak...” potong si MC sambil tergelak yang kemudian disambut dengan tawa peserta yang lainnya.
Jawaban Pak Dadan pun ternyata kurang lebih sama dengan guyonan si MC. Menurut Pak Dadan, si penanya ini harus tahu juga pasangannya berasal dari daerah mana, dengan bahasa apa mereka nanti akan berkomunikasi, dan mereka tinggal dimana.
Masuk akal, sih. Ya kali nanti si Mbaknya itu tinggal di Inggris terus nikah sama orang Inggris yang bahasa Indonesianya aja gagap, masak anaknya mau diajak Nyunda? Bisa aja sih, tapi kan repot.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat, seperti keluarga dan tetangganya. Bahasa pertama yang dikuasai manusia, tidak harus bahasa daerah. Seperti kata Pak Dadan tadi, tergantung orang tua dan daerah tinggalnya. Walaupun begitu, yang selalu dibahas di setiap peringatan Hari Ibu Internasional adalah bahasa daerah yang punah atau terancam punah.
Agak lucu sih, menurutku. Aku sempat berdiskusi dengan Pak Nanang Supriatna, redaktur pelaksana tabloid mingguan Galura. Menurut beliau, bahasa ibu tidak identik dengan bahasa daerah atau bahasa etnik. Misalnya ada sepasang suami istri orang Tasikmalaya, orang Sunda, puluhan tahun berdomisili di Jepara, Jawa Tengah. Kemudian anak-anaknya lahir, besar, dan bersuami orang Jepara. Anak-anaknya lagi masih bisa disebut orang Sunda namun bahasa ibu mereka kemungkinan besar bahasa Jawa.
Di kalangan masyarakat Sunda yang tinggal di tanah Pasundan, bisa jadi bahasa ibunya bukan bahasa Sunda. Pak Nanang juga pernah menulis di jabaraca.com tahun lalu. Orang Sunda yang tinggal di perkotaan seperti di Bandung, Bekasi, atau Depok banyak yang bahasa ibunya bukan bahasa Sunda tapi bahasa Indonesia.
Beberapa negara sudah mengusulkan ke UNESCO meminta istilah Hari Bahasa Ibu diganti dengan Hari Bahasa Daerah atau Hari Bahasa Etnik. Karena memang itulah yang menjadi bahasan dalam Hari Bahasa Ibu Internasional. Dan kalau melihat sejarah penetapan Hari Bahasa Ibu Internasional, yang diperjuangkan oleh orang Bangla adalah diakuinya bahasa etnik Bangla, bukan bahasa ibu.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews