Partai Politik Kurang Percaya Diri Usung Kadernya Sendiri

Minggu, 14 Januari 2018 | 18:51 WIB
0
567
Partai Politik Kurang Percaya Diri Usung Kadernya Sendiri

Satu tahapan Pilkada 2018 sudah dilalui, yaitu masa pendaftaran pasangan calon kepala daerah. Pendaftaran itu dimulai dari tanggal 8 Januari sampai 10 Januari 2018.

Cukup tiga hari. Sepertinya sih, sudah cukup bagi koalisi partai mendaftarkan calonnya. Waktu tiga hari, sebenarnya terlalu lama. Apabila kita mengetahui upaya koalisi. Maka pendaftaran paling lama membutuhkan waktu, sekitar dua hari. Satu hari mendaftar dan sehari untuk perbaikan berkas.

Kenapa harus lama?

Bila partai dengan kajian mendalam. Seperti menggunakan jasa konsultan survei, analisis hasil, dan proses komunikasi politik. Maka, sejak lama, partai-partai telah menemukan pasangan yang pas. Sebaliknya, partai yang tidak siap dengan mekanisme dengan tingkat kedetilan tinggi. Maka, proses menuju pendaftaran akan menggalaukan elit.

Akibatnya, partai hanya melihat keuntungan sementar, yakni potensi menang. Jadi, partai hanya mempertimbangkan popularitas, elektabilitas dan pendanaan.

Dari hasil kajian Litbang Kompas, 8 Januari 2018, kenyataannya publik melihat partai begitu pragmatis. Sebanyak 39,5 persen responden menilai partai merekrut calon non kader karena popularitas tokoh. Responden juga mengatakan alasan lain adalah pendanaan. Jumlah persentasi menjawab pertanyaan ini sebesar 28,8 persen.

Sedangkan 27,6 persen responden menilai bahwa faktor elektabilitas menjadi salah satu alasan partai mengusung tokoh eksternal.

Angka ini cukup besar. Artinya, publik sudah bisa membaca gaya permainan politik dari partai. Jajak pendapat tentu  menjadi alat ukur bagi pembaca, bahwa partai tidak memiliki stok kader yang kuat. Atau, bisa saja kader terlalu lemah dari tiga faktor tersebut.

Bila dibandingkan dengan kandidat dari luar, seperti para Jenderal TNI dan Polri. Turunannya, publik menyatakan bahwa kader partai belum berkompeten untuk bersaing dalam pilkada. Sebesar 67,9 persen responden menilai kader partai belum kompeten. Sedangkan 30,5 persen menyatakan kader memiliki kompetensi untuk bersaing dalam pesta demokrasi lokal.

Persaingan antara calon internal dan eksternal partai politik sudah menjadi barang biasa. Umumnya, hasil survei dan lobby politik memberikan ruang lebih bagi tokoh eksternal. Alasannya, seperti disebutkan sebelumnya, mereka populer, terkenal dan memiliki kontong besar (uang). Seandainya partai merenungi proses pemberian rekomendasi. Maka, akan muncul tamparan keras, bahwa, selama ini, partai masih lemah dalam kaderisasi anggota.

Padahal, partailah yang seharusnya menciptakan tokoh/calon kepala daerah. Kenyataannya, partai malah memilih tokoh luar, seperti artis, TNI/Polri aktif dan sebagainya. Sehingga, wajar saja, publik menilai partai tidak mampu mendidik kader sendiri. Sebanyak 67,8 persen responden menyatakan kelemahan partai dalam kaderisasi.

Persentasi di atas setengah (50 persen) sebagai bukti konkrit. Kaderisasi yang tidak jalan menjadi bumerang tersendiri. Suara 70,1 persen menyatakan partai gagal dalam hal rekrutmen kader. Di lain sisi, regulasi mengiyakan langkah salah partai, sebagaimana termuat dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

Proses rekrutmen calon kepala daerah menjadi kewenangan mutlak partai. Alasannya sesuai dengan lingkup AD/ART.

Padahal, semua orang juga tahu, bahwa mekanisme organisasi dalam wujud fisik adalah keputusan DPP Partai politik. Atau dalam hal sederhana, tergantung Ketua Umum dan Sekretari Jenderal DPP Partai.

Seandainya, rekrutmen kader berjalan. Lalu, kaderisasi mengakar. Bila, Ketum dan Sekjen Partai mengatakan calon lain. Ya, tetap saja kader akan terbuang dalam kegalauan berproses. Litbang Kompas juga menampilkan infografis atas jawaban responden tentang peminatan partai kepada latar belakang calon.

Posisi pertama diraih oleh polisi/militer di mana 27,8 responden percaya partai saat ini lebih memilih kalangan elit TNI/Polri. Lalu disusul kalangan tokoh agama, sebesar 20 persen. Barulah potensi tokoh lokal muncul dengan angka 1,.2 persen responden.

Tiga peringkat terakhir sudah bisa terbaca, yaitu 11,5 persen menilai partai tertarik dengan pengusaha, 9,4 persen membaca partai meminati akademisi, dan 7,9 persen responden menilai partai memilih selebritis untuk kandidasi pada pesta demokrasi.

Antisipasi sebelum hancur

Rentetan hasil jajak pendapat secara tidak langsung mengatakan bahwa partai sedang mengubur paksa kadernya. Apapun alasannya, pengusungan “orang luar” menghambat eksistensi kader partai. Bagiaman kader bisa menjadi tokoh apabila rumah tempat dia berjuang menolak penokohan kader.

Melihat proses tahapan Pilkada 2018, kita bisa berasumsi bawah partai politik juga belum tentu mengakomodir kader partai di tingkat daerah untuk kanidasi pada pemilu 2019. Bisa saja, keputusan DPP Partai memaksa pendaftaran calon legislatif dengan sistim pusat ke daerah.

Atau, nomor urut teratas milik elit atau penyumbang atau tokoh luar. Sedangkan kader di daerah harus ikhlas dengan nomor ekor (urutan terendah). Untuk mengantisipasi pembunuhan pada kader partai. Maka, partai harus kembali mengaca diri.

Apakah sudah benar cara mengelola organisasi? Jangan sampai, nafsu berkuasa menghancurkan kaca. Sehingga, wajah pun hanya terlihat di serpihan kaca. Atau istilah kerennya, mengusung kader tapi mengobral status “petugas partai” disetiap kesempatan bicara.

Memang benar, kritik terhadap rekrutmen calon kepala daerah tahun 2018, bagaikan bicara pada diri sendiri. Jadi kelihatan gila oleh orang lain.

Namun, Pilkada kedepan, partai harus menekan sisi pragmatis politik. Akan lebih baik mengusung kader sendiri dari pada mendukung orang “tidak jelas”.

Belum tentu dia akan membela mati-matian penguatan organisasi partai. Untuk itu, partai harus melakukan rencana penokohan kader. Bermula mencari kader potensial, lalu membuat panggung dan ruang ekspresi. Agar popularitas dan elektabilitas menguat.

Soal pendanaan, memanipulasi gerakan advokasi masyarakat akan mengurangi biaya kampanye sang kader. Sehingga, kader pun mendapatkan jatah menduduki kursi eksekutif daerah. Bila tidak berkenan, silahkan saja menunggu partai hancur secara perlahan.

Andrian Habibi, Deputi Kajian KIPP Indonesia

***

Editor: Pepih Nugraha