Pilpres 2019 masih jauh. Tetapi hampir dipastikan pemilihan calon presiden dan wakil presiden dua tahun mendatang itu menyisakan dua nama kuat, Joko Widodo dan Prabowo Subinato. Mantan Capres 2014 itu bertarung lagi karena ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold.
Secara sederhana Presidential Threshold dimaknakan alat penyeleksi calon presiden dan wakil presiden. Jadi, kalau engga masuk Presidential Threhold artinya tidak masuk syarat. Atau sama saja dengan menggugurkan para calon sedari awal. Kira-kira begitulah makna Presidential Threshold yang cukup mudah untuk dipahami.
Pada pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (UU Pemilu), Koalisi Partai Pemerintah memaksa Presidential Threshold (PT) sebesar 20 persen kursi di DPR atau 25 persen perolehan suara nasional. Dengan ketentuan tersebut, kita sudah bisa memastikan Capres ke depan masih menampilkan muka lama.
Apakah pemilu 2019 menutup peluang hak konstitusional warga negara menjadi capres? bisa saja iya, dengan alasan penguatan sistem presidensialisme, Capres harus mengharuskan dukungan mayoritas parpol di senayan.
[caption id="attachment_4013" align="alignleft" width="526"] Prabowo dan Zulkifli (Foto: Kabar3.com)[/caption]
Padahal Pemilu serentak tidak mengenal Presidential Threshold loh. Dalam pemilu serentak, semua partai memiliki hak yang sama dalam mengusung bakal calon presiden. Tetapi politik sungguh kejam, demi menjaga kekuasaan, Undang-undang Pemilu menutup pintu peserta pemilu yaitu parpol untuk mengusung kandidat sendiri.
Muncul pertanyaan, apakah tidak ada cara lain menambah kandidat pesaing Jokowi dan Prabowo?
Sulit meyakini munculnya Capres ketiga pada pemilu 2019. Penyebabnya adalah ketidakmungkinan munculnya koalisi baru selain Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih. Presiden Jokowi memimpin KIH dengan mayoritas kursi DPR. KIH yang disebut dengan nama Koalisi Pemerintah terdiri dari PDIP, Nasdem, Hanura, PKB, PPP, PAN, dan Golkar. Koalisi Presiden Jokowi memiliki 386 kursi di DPR atau senilai dengan 69 persen.
[irp posts="3939" name="Apapun Manuver PAN, Peluang Zulkifli Paling Banter Cawapres"]
Di sisi lain, Prabowo memimpin KMP yang terdiri dari Partai Gerindra dan PKS. Prabowo memimpin 114 kursi di DPR atau senilai dengan 20.1 persen. Tinggal Partai Demokrat dengan mengemban amanah politik non-blok.
[caption id="attachment_4014" align="alignright" width="455"]
Prabowo dan AHY (Foto: Merdeka.com)[/caption]Seandainya SBY tidak berkenan untuk damai dengan Prabowo. SBY hanya memiliki mitra koalisi atas hubungan besan dengan Hatta Rajasa, mantan Ketua PAN sebelum Zulkifli Hasan. Itu pun` dengan syarat PAN berkenan keluar dari koalisi pemerintah.
Meskipun PAN dan Demokrat bersatu, Koalisi Cikeas ini tidak bisa memenuhi syarat PT 20 persen. Partai Demokrat pada pemilu 2014 hanya mendapatkan 10.19 persen dari suara nasional atau 10.9 persen kursi di DPR. PAN sendiri meraih 7.59 persen suara nasional atau 8.7 persen kursi di DPR. Jika dikumpulkan, Koalisi Cikeas hanya mendapatkan 19.6 persen kursi DPR atau 17.78 persen suara nasional.
Dengan demikian, tidak ada alasan bagi SBY dan Zulkifli Hasan untuk menjauhi Prabowo. Koalisi Cikeas wajib merapat kepada KMP bila masih ingin menyatakan diri melawan Jokowi. Seandainya KMP-Cikeas bersatu, Prabowo tinggal memilih wakilnya di antara Zulkifli atau Agus Harimurti Yudhoyono.
Kalau sudah begini, apakah hubungan besan bisa mempengaruhi perebutan kursi panas calon wakil Prabowo? Kita lihat saja akhir manggungnya AHY dan Zulkifli Hasan.
Tetapi semua skenario ini akan berantakan jika tiba-tiba SBY dan Cikeas-nya merapat ke koalisi besar milik Jokowi.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews