Nama pemberian orangtuanya Muhammad Farhan Balatif, tetapi di Facebook ia menggunakan nama Ringgo Abdillah dengan foto profil orang lain yang dicomot begitu saja. Usianya baru menginjak 18 dan status media sosialnya berisi kebencian serta penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Kepada polisi, bahkan ia menantang untuk ditangkap dan polisi pun tidak ragu menangkapnya.
Farhan diciduk polisi di kediaman orangtuanya di Jalan Bono, Glugur Darat I, Medan Timur, Medan pada Jumat 18 Agustus 2017 setelah dilaporkan oleh Brigadir Ricky Swanda ke Polrestabes Medan. Empat hari sebelumnya pelapor membuka Facebook dan melihat status Farhan atas nama Ringgo Abdillah dengan kata-kata penghinaan terhadap Jokowi dan Tito.
Di saat orang lain masih merayakan acara hari ulang tahun Kemerdekaan ke -72, pemuda tamatan SMK ini akhirnya ditangkap dengan barang sejumlah barang bukti yang digunakan untuk mengedit gambar. Hasil editan foto Jokowi dan Tito kemudian ia sebarkan melalui Facebook , tentu disertai ucapan penghinaan dan hate speech.
Selain 2 laptop, barang bukti yang diamankan petugas kepolisian antara lain flash disk 16 GB berisi gambar Preside RI yang telah diedit, 3 unit handphone, 2 unit router, dan 2 handphone. Barang bukti itu bisa mengantarkannya ke rumah tahanan jika Farhan terbukti bersalah sesuai Undang-undang yang menjeratnya, yaitu pasal 45 ayat 2 Jo pasal 28 Ayat 2 sub pasal 27 ayat 2 Undag-undang Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sering dikatakan orang-orang terpelajar, media sosial kerap menampilkan realitas semu. Dalam bahasa Jean Baudrillard disebut sebagai "hyperreality". Apa yang tersaji pada media massa dan kini media sosial, adalah simulasi belaka alias bukan kenyataan yang sebenarnya.
Hal ini terjadi pada Farhan alias Ringgo. Di media sosial, khususnya Facebook, ia demikian "gagah dan berani" memuat postingan yang provokatif, bahkan menantang Kapolri dan menghina orang nomor satu neegeri ini, Presiden RI. Saat ditangkap dan digelendang ke kantor polisi setempat, Farhan terlihat lemas dan lebih banyak tertunduk. Ketika media memotretnya, ia tampak sedang memegang laptop dan menunjukkan laman Facebook miliknya.
[caption id="attachment_2833" align="alignleft" width="300"] Ringgo Abdilla (Foto: Merdeka.com)[/caption]
Ayah Farhan, Abdul Rahman, mengaku tidak terpikir sama sekali anak sulungnya itu akan terjerat hukum akibat ulahnya di media sosial menghina Jokowi dan Tito. Kepada media yang menemuinya, Rahman mengungkapkan selama ini Farhan jarang bergaul dengan lingkungan sekitar. "Anak saya itu lugu, sangat jarang bergaul. Saya sendiri juga heran kenapa bisa seperti ini, berurusan dengan polisi," katanya.
Terkait masalah hukum yang menjerat anaknya itu, Rahman yang kini berusia 62 tahun mengungkapkan permohonan maaf kepada semua pihak yang dirugikan, terutama Presiden Jokowi dan Kapolri Jenderal Tito. "Atas nama keluarga, kami mohon maaf kepada Bapak Presiden dan Bapak Kapolri atas kelakuan anak saya ini. Mohon maaf yang sebesar-besarnya," pintanya.
Polisi tentu saja bertanya-tanya mengenai motif Farhan mengumbar kata-kata hinaan di usianya yang masih tergolong muda, apalagi menyatakan ketidakpuasan terhadap Presiden Jokowi dan Kapolri. Motif inilah yang dipertanyakan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto sebagai sebuah "kejanggalan" atau "keanehan" yang menuntun kepolisian menelisik lebih lanjut; jangan-jangan Farhan tidak sendirian. Atau dengan kata lain, jangan-jangan ada "orang kuat" berada di balik keberanian Farhan itu.
Kepada media yang mewawancarainya saat di gelandang di kantor Mapolda Sumatera Utara, Senin 21 Agustus 2017, Farhan tanpa tedeng aling-aling mengungkapkan alasan mengapa dia memposting gambar atau status yang menghina kepala negara. "Karena saya benci dengan kebijakan Jokowi, utang menumpuk, lapangan pekerjaan enggak ada, makanya timbul niat saya seperti itu," katanya.
Saat ditanya lagi kenapa juga menghina Kapolri dan institusi kepolisian, Farhan mengaku melakukan hal itu karena tidak puas dengan kinerja Polri. "Ini kemauan saya sendiri. Kalau lihat kinerja polisi yang lambat, masih banyak pungli," ucapnya. Namun demikian, Farhan menyesal melakukan penghinaan itu. "Saya sangat menyesal," akunya.
Dari hasil pemeriksaan, sebagaimana diungkapkan Kapolrestabes Medan Kombes Pol Sandi Nugroho yang mendampingi Kapolda Sumut Irjen Pol Paulus Waterpauw saat memaparkan kasus itu, motif Farhan karena merasa tidak puas dengan Pemerintah Jokowi dan pimpinan Polri sehingga melampiaskan ketidakpuasan tersebut melalui kata-kata maupun gambar yang berisi penghinaan di Facebook .
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto mengaku heran mendengar pengakuan Farhan yang menyatakan tidak puas atas kepemimpinan Jokowi. Sebab, Farhan masih remaja seumuran anak SMA, masih berusia 18 tahun. "Ya kalau nggak puas dia kan masih SMK. Apa sih yang nggak dipuaskan?" katanya dengan nada tanya.
Selaku Kapolri, Jendral Tito Karnavian mengaku prihatin karena dirinya telah dibuatkan meme yang negatif. "Sekarang ini sudah didalami apakah ini karena iseng ataukah ada yang menyuruh atau ada faktor yang lain," kata Tito di Mabes Polri, Jakarta, Selasa 22 Agustus 2017.
Terkait Saracen?
Yang menarik dari kasus Farhan, ternyata dia bukanlah satu-satunya orang yang ditangkap akibat ulahnya di medsos. Ada sejumlah tersangka lain yang telah lebih dahulu ditangkap petugas Direktorat Siber Bareskrim Polri. Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Fadil Imran menduga, mereka yang mengunggah dan menyebarkan konten provokatif, termasuk menghasut sentimen SARA, merupakan pesanan pihak-pihak tertentu
Menurut Fadil, indikasi ke arah ini terlihat pada penangkapan Faizal Muhamad Tonong, 21 Juli 2017 lalu, di mana dari hasil interogasi terungkap, yang bersangkutan mengunggah konten SARA, hate speech, dan hoax, berdasarkan pesanan. Indikasi yan sama terjadi pada Sri Rahayu Ningsih atau Sasmita yang dari hasil pemeriksaan terbukti menyebar konten berbau SARA berdasarkan pesanan.
Soal pesan-memesan konten media sosial berbau SARA, Rabu 23 Agustus 2017 lalu Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri telah menangkap tiga orang yang menamakan diri kelompok 'Saracen'. Mereka ditangkap dengan tudingan kerap menyebarkan postingan ujaran kebencian bernuansa SARA di akun Facebook. 'Saracen' adalah istilah yang digunakan kelompok Kristen Eropa pada abad pertengahan untuk merujuk kepada orang yang memeluk Islam tanpa memperdulikan ras atau sukunya.
Fadil mengatakan, tiga orang itu ditangkap setelah Satgas Patroli Siber memonitor para pelaku yang aktif di media sosial. Dia menilai, ujaran kebencian dan hoax berbau SARA yang mereka sampaikan telah meresahkan publik dan berpotensi memicu disintegrasi bangsa.
Sindikat Saracen kerap mengirimkan proposal kepada beberapa pihak terkait jasanya untuk menyebarkan ujaran kebencian bernuasa SARA di media sosial. Sebagaimana diberitakan Detik.com, setiap proposal mempunyai nilai hingga puluhan juta rupiah. 'Saracen' kerap menayangkan berita hoax hingga ujaran kebencian bernuansa SARA dan memiliki pengikut hingga ratusan ribu akun.
Adapun tiga tersangka yang ditangkap adalah MFT (43) ditangkap di Koja, Jakarta Utara pada 21 Juli 2017, seorang perempuan berinisial SRN (32) ditangkap di Cianjur, Jawa Barat pada 5 Agustus 2017 dan JAS (32) yang ditangkap di Pekanbaru, Riau pada 7 Agustus 2017. Menurut Fadil, kelompok 'Saracen' memiliki struktur sebagaimana layaknya organisasi dan telah melakukan aksinya sejak November 2015.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews