Bubarkan Saja Dewan Pers

Apalagi ketika Dewan Pers senyatanya, juga tak bisa membasmi adanya wartawan amplop, atau media yang jadi ‘buzzer’ bagi lawan politiknya.

Sabtu, 13 Februari 2021 | 14:04 WIB
0
490
Bubarkan Saja Dewan Pers
Gedung Dewan Pers (Foto: askara.co)

Kalau saya menuliskan judul ‘Bubarkan Dewan Pers’, tak lebih menanggapi seruan orang Dewan Pers, yang menyatakan bahwa ‘kehadiran buzzer mengganggu kebebasan pers.’. Lebih lanjut dikatakan anggota Dewan Pers Asep Setiawan, sebaiknya buzzer ditiadakan.

Alasannya, sudah ada pejabat humas menjawab jika kritik pers perlu direspons. Haduh, ini logika cemana? Dewan adalah ke-dewa-an, ia mewakili pemikiran yang substansial, tinggi dan mulia. Tapi lha ini kok picik bener?

Menyandingkan buzzer dengan pejabat humas di pemerintahan, adalah pemikiran yang kadrun banget. Nggak usah baper, kadrun hanyalah penyamaan untuk oknum yang suka memandang segala sesuatu dari sudut politis. Namun ketika mereka sendiri memakai frame itu, ngelesnya selalu ini hak demokrasi untuk menyampaikan pendapat. Kebebasan berekspresi. Terus kemudian merembet ke hak azasi manusia dan seterusnya.

Lebih-lebih pendapat yang mengatakan buzzer ditiadakan itu, menopang pernyataan sebelumnya; bahwa kehadiran buzzer membahayakan pers. Hal itu disampaikan oleh Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers.

Framing yang ingin dimunculkan adalah, bahwa buzzer ‘peliharaan’ pemerintah. Bahkan ada sebutan ‘BuzzerRp’. Dalam salah satu sidang parlemen, ada anggota DPR-RI menanyakan mengenai anggaran negara bagi biaya buzzer itu.

Baca Juga: Buzzer

Biyingkin. Kehadiran buzzer membahayakan pers. Dan senyampang itu, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers di Dewan Pers, kebetulan ‘orang’ Tempo. Kita tahu cover-cover majalah Tempo, selalu menjadi kontroversi dalam perdebatan mengenai persoalan etis dan etika pers. Media sering terlihat kritis, tetapi ketika dikritisi, ternyata sami-mawon. Tipis kuping dan tebal muka.

Karena punya kuasa-nilai, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers ngomong buzzer membahayakan pers. Buzzer bukan mengritik berita yang disiarkan pers, tapi ‘kerap’ melancarkan serangan kepada pers itu sendiri.’ Kalimat yang agak susah dipahami, mangsudnya apah? Ya, jangan berlayar jika takut ombak. Bahwa ada buzzer yang menjengkelkan dan bajingan, hal yang sama juga ada pada anggota pers. Bukan persoalan medianya. Mari adil melihat masalah.

Apa sih buzzer itu? Mendefinisikan buzzer adalah peliharaan pemerintah (bahkan menyamakan fungsinya dengan ‘kan sudah ada pejabat humas pemerintah’), sungguh naif. Kalau buzzer ditiadakan, maukah misal Dewan Pers juga menghilangkan buzzer Dewan Pers, buzzer Tempo, buzzer FPI, buzzer kadrun, buzzer SJW (social joker warrior)?

Apa sih buzzer itu? Buzzer itu lahir karena teknologi komunikasi memungkinkan untuk itu. Sesuatu yang gagal dilakukan oleh pers dalam mendorong keberanian rakyat menyuarakan hak-haknya. Buzzer itu, sesuai sejarah kemunculannya, adalah ‘akibat dari’. Ia pendengung, yang akibat perbuatannya terjadi proses amplifying. Yang tentu saja bising, memekakkan telinga. Tapi jangan dibandingkan dengan ketika alat komunikasi kita masih pakai kenthongan di pos ronda.

Kalau Dewan Pers maunya menjaga dan melindungi pers, pers macam apa yang mau dilindunginya di abad digital? Ketika dengan teknologi komunikasi dan informasi sekarang ini, bahwa semua anggota masyarakat adalah tokoh masyarakat?

Di Indonesia ini, menurut salah satu anggota Dewan Pers pula, terdapat 320 juta telepon genggam di Indonesia yang berpenduduk 270-an juta. Jumlah yang agak fantastis, karena Kemenminfo menuliskan data 160 juta, dan di atas 80% pengguna aktif.

Dengan jumlah seperti itu, hampir menyamai pemilik hak suara ketika Indonesia menentukan nasib demokrasinya dalam Pemilu. Padal, hak bersuara mereka, yang diampu oleh perkembangan teknologi, berada dalam ancaman sistem hukum yang ketat. Tanpa perlindungan dan sistem peradilan yang fair, ketika UU-ITE acap dijalankan dengan tebang pilih. Orang kecil bisa dipenjara, tapi yang punya temen elite atau politikus bisa diselamatkan.

Padal, ancaman penjara tak main-main, bisa 5-6 tahun untuk kasus sumir ‘perlakuan tidak menyenangkan’.

Sementara jika ada anggota pers melakukan ‘kesalahan’, Dewan Pers bisa melindungi dengan pasal karet kebebasan pers. Cukup memberikan ruang ‘hak jawab’. Hak bertanyanya diberikan tidak?

Sekali lagi, kayak seperti MUI, lembaga Dewan Pers juga bakalan sirna. Apalagi kalau kita lihat, lembaga ini juga tak

mampu menjaga marwah media pers di jaman berubah ini. Merespons hadirnya media online saja, Dewan Pers tidak punya rumusan yang memadai. Apalagi dengan pemahaman definisi buzzer yang naif dan reaktif.

Baca Juga: Buzzer dan Dewan Pers

Karena gagal atau gagap menanggapi perubahan, kekuatan ke-4 demokrasi ini (di Indonesia), ternyata hanya mitos. Demokrasi di Indonesia, mungkin saja dipelopori oleh pers. Namun di jaman ini, dengan tingkat literasi yang rendah, revolusi teknologi komunikasi, hadirnya berbagai platform medsos, adalah sebuah keniscayaan, tak terbendung.

Jangan pula lupa, dengan penduduk 270 juta, oplah tertinggi yang pernah dicapai koran di Indonesia, hanya oleh Kompas dengan 600 ribu eksemplar. Itu pun dulu. Sekarang sudah turun drastis dengan adanya android di tangan masyarakat Indonesia.

Apalagi ketika Dewan Pers senyatanya, juga tak bisa membasmi adanya wartawan amplop, atau media yang jadi ‘buzzer’ bagi lawan politiknya. Atau, jangan-jangan, hanya karena menulis opini seperti ini, terus saya disebut ‘BuzzerRp’? Atau hanya akan dipuji kalau saya mengritik Jokowi? Adillah sebelum kentut.

Tabik! |

@sunardianwirodono