Manipulasi Fotografi di Era "Post-Truth" untuk Kepentingan Pencitraan Pejabat

Maka ada birokrat-birokrat yang butuh dianggap berhasil dengan menyodorkan instrumen-instrumen ‘nggak nyambung’.

Jumat, 19 Februari 2021 | 08:13 WIB
0
290
Manipulasi Fotografi di Era "Post-Truth" untuk Kepentingan Pencitraan Pejabat
Foto yang diduga hasil editan (Foo: bisnis.com)

Apa kesalahan terbesar Dinas Lingkungan Hidup (LH) Pemprov DKI tentang foto kualitas udara Jakarta? Karena mereka memakai ukuran yang tak terukur, tidak valid dan mudah dimanipulasi.

Kualitas udara, bukan diukur oleh Gunung Pangrango yang terlihat mata telanjang ataupun terlihat oleh aplikasi edit gambar. Pasti ada instrumen lain yang lebih pas, tingkat emisi karbon misalnya. Dengan menggunakan instrumen terukur tersebut, teruji empirik, berita yang disampaikan Dinas LH itu menjadi sulit disanggah, alih-alih menjadi olok-olokan.

Ini yang sering terjadi belakangan ini. Entah dalam rangka branding, pencitraan, atau murni untuk melakukan evaluasi, kita sering menggunakan ukuran yang tak pas. Orang menilai demam hanya dengan menempelkan tangan di kening, tanpa menggunakan termometer.

Tangan memang bisa merasakan suhu tubuh yang tak biasa, namun tentu saja tidak seakurat termometer. Lebih punya banyak kemungkinan celah untuk salah dibanding termometer.

Serupa dengan kurang tepatnya menilai efektivitas kerja pegawai dari lamanya waktu ia berada di kantor, dan bukan dari berapa banyak pekerjaan yang diselesaikan, atau target yang terlampaui. Riset bahkan menunjukkan, ada banyak kasus ‘work for home’ justru meningkatkan produktivitas kerja.

Namun demikian, inilah era ‘post-truth’, zaman di mana kebenaran dan fakta bisa dimanipulasi sesuai keinginan. Di era ini dosen mungkin tak lagi dinilai dari banyaknya penelitian dan artikel ilmiah yang ditulis, tetapi dari banyaknya unggahan foto atau video saat dosen tersebut sedang mengajar. Masyarakat pun menilai foto sang dosen dari seberapa banyak barang branded yang dipakainya, serta seberapa ‘kinclong glowing shining shimmering splendid’ wajah sang dosen.

Dan sedihnya lagi, bila sang dosen cukup cantik tapi bukan kecantikan artifisial, ia tak akan dianggap cantik. Kecantikan harus yang berbayar, semakin mahal semakin baik. Karena apa….. itu tanda kemakmuran. Di negeri uang susah dicari, kecantikan terbaik adalah yang menyiratkan kekayaan.

Mau tahu yang lebih ironis lagi dari era post-truth? Kemampuan sang dosen tak dilihat dari materi kuliahnya, tetapi dari banyaknya kutipan kalimat relijius yang terlontar selama memberi materi. Padahal ia dosen dan bukan pendeta, dan tidak sedang mengajar teologi.

Tentu semua itu tak dapat kita salahkan, karena kita memang berhadapan dengan masyarakat yang tak siap mengambil keputusan dengan aneka lalu lalang informasi yang begitu deras dan cepat. Tsunami informasi.

Gejala kekagetan pada tsunami informasi ini telah diramalkan di tahun 80an oleh Alvin Toffler dalam The Third Wave. Disrupsi atas tatanan sosial-politik-ekonomi yang dipicu kemajuan teknologi informasi ini adalah gelombang ketiga setelah revolusi pertanian, revolusi industri (di Eropa).

Gelombang ketiga tak melahirkan masyarakat yang sempurna bertransformasi dalam kemajuan idustri digital, namun masih menyisakan jejak-jejak dari era sebelumnya, era revolusi pertanian dan industri. Tak benar-benar maju, melainkan hanya pengguna dan meninggalkan jejak-jejak kegagapan.

Masyarakat informasi abad 21 ini dicirikan tiga hal. Pertama adanya ekspos dan akses informasi yang berlalu cepat. Jauh lebih cepat dibanding sebelumnya. Info tentang artis yang tak dapat mengupas salak diterima masyarakat di lembah Baliem dengan cepat, jauh sebelum ibu si artis sadar bila di masa lalu ia terlalu pelit membelikan salak. Sehingga anaknya yang cantik itu tak tahu cara makan salak.

Ciri kedua adalah adanya kebingungan terkait hakikat dan asal usul fakta dari suatu informasi, sedang ciri ketiga tentu saja adanya ekploitasi informasi menjadi kapital ekonomi.

Ciri kedua terjadi pada mereka yang tak punya filter memadai terhadap informasi. Tak mampu memilih dan memilah isi informasi yang diterimanya. Filter inilah yang sering disebut literasi. Era tsunami informasi ini berdampak berat bagi mereka yang dianggap tak cukup baik literasi digitalnya.

Kelompok inilah yang menjadikan tsunami informasi yang meningkatkan interaksi antar manusia abad ini bukan lagi sekadar interaksi yang bersinergi dan kerja sama, namun juga meningkatkan konflik. Konflik karena kebutuhan pengakuan atas identitas atau prestasinya dengan berlebihan.

Maka ada birokrat-birokrat yang butuh dianggap berhasil dengan menyodorkan instrumen-instrumen ‘nggak nyambung’. Citra-citra Jaka Sembung, seperti kisah dosen di atas. Mengingatkan kita pada anekdot-anekdot di masa lalu lalu yang kini terasa sederhana. Kisah paling saya suka tentu saja kisah yang dikisahkan ayah saya saat saya kecil.

Baca Juga: Arbain Rambey, Fotografer Senior Harian Kompas Yang Saya Kenal

Tentang seorang sombong yang sedang pamer dengan tersamar di pos ronda. “Kemarin ada burung terbang masuk rumahku,” kata si sombong. “Aku kejar…. Terbang ke atas TV berwarna 21 inchi, kukejar lagi terbang ke atas kulkas, terus ke mesin cuci. Terus nelek di atas tape recorder…..”

Intinya, si sombong itu hanya akan pamer bila rumahnya penuh barang-barang penanda kekayaan pada masa itu. Kisah lain dari ayah saya tentang seorang yang sedang tak punya uang. Si bokek ini pergi ke warung sayur dan berkata,”Mau belanja apa ya….. kulkas penuh. Ada ayam, daging, sayur-mayur… tahu tempe bosen… ikan asin, ntar badannya bau ikan asin deh. Ya udah saya beli minyak goreng seperempat kilo, dikit aja.. Cuma buat kerokan kok…”

Si bokek hanya akan menutupi betapa ia sedang bokek. Tetapi yang patut kita pertanyakan adalah, mengapa manusia perlu terlihat hebat, dan takut terlihat negatif. Baik terlihat miskin, bodoh atau lemah. Baik di jaman now maupun di jaman purba.

Mengapa harus menghabiskan energi untuk menutupi kelemahan-kelemahan itu. Ini termasuk juga seorang hamil (jika itu benar) yang mengatakan bunting bukan karena kegiatan ‘saling banting’ tapi karena tiupan angin. Apa ada sanksi yang terlalu berat bagi mereka yang memiliki kelemahan?

Entah.. tetapi ini mungkin ini bukan cuma warisan era revolusi industri…. Atau era sebelumnya lagi, era revolusi pertanian….tetapi mungkin memang sudah ada mengikut naluri survival semua penghuni ‘kingdom animalia’. Survival of the fittest, dengan cara dan tafsir apapun. Keinginan untuk terlihat kuat agar tak diinjak-injak.

Ataupun kecenderungan yang kuat untuk menginjak yang lemah. Meski manusia sejatinya, karena merasa lebih berakal budi, telah banyak membuat tata nilai untuk mengatur kecenderungan alamiah untuk buas dan rakus itu.

Kelihatannya mungkin usaha itu belum terlalu berhasil…

#vkd