Arbain Rambey adalah fotografer Harian Kompas. Sekarang ia boleh dibilang fotografer paling senior di tempat kerjanya setelah satu-persatu seniornya seperti Kartono Riyadi, Julian Sihombing, dan Hasanudin berpulang sebelum mencapai masa pensiun mereka. Lahir di Semarang tahun 1961, Arbain kini berusia 55 tahun dan masih aktif melahirkan karya fotografi untuk harian terbesar di Indonesia itu.
"Gue pensiun dari Kompas empat tahun lagi, jadi gue nunggu aja deh," kata Arbain saat bertemu saya di Tanjungkarang, Lampung, akhir November 2016 lalu saat kami sama-sama memberi pelatihan jurnalistik kepada wartawan muda Lampung. Sambil makan nasi padang dari panitia, Arbain sempat menyinggung koleganya sesama fotografer. "Lu tahu, kan? Tiga fotografer Kompas senior Kompas meninggal akibat kanker," ungkapnya.
Tiba-tiba Arbain mengenang tiga koleganya yang telah berpulang, yang tentu saja saya tahu dan mengenal mereka satu persatu. Kartono Riyadi adalah fotografer paling senior saat saya bekerja di Harian Kompas, ia meninggal akibat kanker otak. Hasanudin Assegaf fotografer Kompas yang meninggal akibat menderika kanker paru-paru. Terakhir, Julian Sihombing, meninggal akibat kanker getah bening. Setidak-tidaknya itulah yang dikatakan Arbain.
Kemudian ia mengungkapkan sepotong cerita mengenai Hasanudin, fotografer perokok berat, yang disebutnya tidak pernah mengeluh bahkan saat divonis kanker paru-paru oleh dokter. Istri Hasanudin yang tahu vonis suaminya itu pernah meminta Arbain sebagai kawan dekat agar mencegah Hasanudin merokok di kantor.
Arbain menyanggupi permintaan itu dan suatu waktu ketika ketahuan Hasanudin merokok, Arbain meminta dengan keras dan tegas agar Hasanudin mematikan rokok yang sedang dihisapnya. "Gue ketitipan amanat dari istri lu agar lu berhenti merokok," Arbain menirukan ucapannya yang pernah dilontarkan kepada Hasanudin.
"Apa yang gue dengar langsung jawaban Hasanudin sontak bikin gue nangis dan langsung mau memeluknya minta maaf," kata Arbain melanjutkan ceritanya sambil matanya berkaca-kaca. Saya menunggu sampai kemudian dia melanjutkannya kembali, "Dia (Hasanudin) bilang, 'Sudahlah, Bain, biarkan gue menikmati saat-saat akhir hidup gue, umur gue nggak lama lagi, dokter memvonis gue mengidap kanker paru stadium empat!'"
Tidak diragukan lagi, Arbain adalah salah satu "icon" fotografer Kompas selain Kartono Riyadi, Julian Sihombing, dan Hasanudin. Ia lebih junior dari para pendahulunya itu. Namun saat masih lima tahun berkarya, ia didapuk menjadi Wakil Redatur Foto, tandem bersama Kartono Riyadi. Sebuah prestasi supercepat ke jenjang struktural di harian yang mengutamakan prestasi kerja itu. Arbain juga termasuk "manusia langka", setidak-tidaknya untuk ukuran Kompas sendiri, karena kemampuan menulis artikel/berita dengan fotografi hampir sama. Seimbang.
Bagi lulusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, mengabadikan peristiwa sudah menjadi jalan hidupnya, juga menunjukkan keuletannya. Saya pernah mengalami bagaimana Arbain yang sudah punya jabatan di Desk Foto itu turun ke lapangan saat Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid bertemu dengan mantan Presiden Soeharto di kediaman Jalan Cendana, akhir tahun 1998. Gus Dur, panggilan akran Abdurrahman Wahid, adalah tamu pertama Soeharto setelah terguling pada 21 Mei 1998, padahal tamunya itu adalah orang yang pernah ia coba gulingkan sebagai Ketua PBNU.
Tentu saja momen ini sangat diincar wartawan dan fotografer, sebab hanya beberapa orang saja yang tahu akan adanya peristiwa bertamunya Gus Dur ke Jalan Cendana, kediaman Soeharto dan keluarganya. Namun demikian, akses untuk masuk ke kediaman orang yang pernah berkuasa selama 32 tahun di Indonesia itu bukan perkara gampang.
Saya mendapat akses melalui jalur Yorrys Raweyai dan Bambang Trihatmodjo (salah seorang anak Soeharto) dari Golkar dan berhasil masuk ke kediaman Soeharto. Satu jurnalis lagi dari Suara Pembaruan yang saya lupa namanya. Jadi, hanya ada dua jurnalis di kediaman Soeharto itu. Sedangkan Gus Dur ditemani putrinya, Yenny dan asistennya Al-Zastrouw.
Ketika Gus Dur sudah masuk dan berbicara di suatu ruangan dengan Soeharto dan saya mengupingnya alat pendengar jarak jauh seperti earphone, puluhan wartawan tulis dan fotografer sudah "mengepung" kediaman Soeharto. Tidak lain untuk mendapatkan gambar ekslusif.
Saya melihat dari dalam keluar melalui kaca gelap dan saya melihat sosok Arbain Rambey juga sedang menunggu di luar, lengkap dengan "alat tempur"-nya berupa kamera berlensa panjang. Saya meraih handphone Siemens S4 yang keren pada masanya, kemudian mencari nomornya di Phonebook. Ketemu dan langsung mengabarinya. "Bain, gue sudah ada di dalam!"
Arbain langsung mengenali nama saya di ponselnya, "Okay, Pep, awas lu ya.... Elu harus dapet, gue nggak mau tau! Tapi gue masih stand-by di sini, jaga-jaga!" Demikian Arbain merespons saya. Sudah saya kasih tahu, pake mengancam balik pula hahaha... Tetapi, itulah ciri khas Arbain.
Begitulah cara Arbain yang pernah menyambet sejumlah penghargaan bergengsi itu bekerja, total. Meski di luar fotografer hanya mendapatkan foto Gus Dur yang melangkah keluar dari kediaman Soeharto, tetapi Soeharto tidak berkenan untuk mengantarkannya sampai luar. Soeharto tetap berada di dalam. Alhasil, foto karya sayalah yang kemudian dimuat di Kompas Minggu kesesokan harinya. Sebagai editor, jelas Arbain "mengalah" karena foto peristiwa pertemuan antara Gus Dur dengan Soeharto sangat "berbicara".
Arbain yang mengasuh "Klik Arbain" di televisi berbicara cepat, sangat cepat, seolah-olah apa yang dipikirkannya lebih cepat dari yang dikatakannya, bahkan saat ia memberi pelatihan fotografi kepada sejumlah mahasiswa atau penggiat fotografi. Ibarat metraliur, berondongan kalimat-kalimatnya demikian cepat menghambur dari mulutnya.
Sebagai fotografer andal dan ikon Kompas saat ini untuk fotografi, Arbain tidak lepas dari kecenderungan objek yang disukainya dalam membidikkan mata kameranya. Objek yang digemarinya cukup aneh, yaitu kuburan sepi! "Bagi gue kuburan itu menyimpan banyak cerita, meski kelihatannya sepi menyeramkan," ceritanya kepada saya dalam sebuah kesempatan meliput di lapangan.
Karena bersinggungan dengan kuburan, mau tidak mau ada cerita berbau mistis yang sangat ditabukan di Kompas, tetapi sebagai realitas sosial, cerita mistis itu muncul juga darinya. Arbain cerita begini... suatu siang dia memotret sebuah pekuburan umum yang rimbun dan senyap di daerah Jawa Tengah. Ditemani seorang rekannya, Arbain minta izin untuk turun kendaraan memotret kuburan. "Gue sebentar aja motret," kata Arbain kepada temannya yang kemudian menunggu di dalam mobil.
Arbain pun pergi memotret kuburan sendirian. Waktunya cukup 10 menit dan setelah tenggat waktu itu terpenuhi, Arbain berbalik ke mobil yang terparkir agak jauh. Namun yang bikin dahinya berkernyit, ia disambut pertanyaan sekaligus pernyataan temannya yang menunggu di mobil; "Dari mana aja lu, Bain? Lama banget, katanya cuma sebentar, gue sampai ketiduran dua jam di mobil!" demikian ceita Arbain kepada saya.
Arbain pun menyatakan keheranannya dan merasa sudah memasuki dimensi waktu yang berbeda atau secara tidak sengaja masuk dimensi lain. "Gue nggak bohong, perasaan cuma lima menit aja gue ngambil gambar, kok jadinya gue bisa berjam-jam di kuburan?" katanya menceritakan sepotong peristiwa mistis bin misterius yang masih diingatnya sampai sekarang.
***
Catatan:
Diolah dan diambil dari Selasar; platform berbagi pengetahuan, pengalaman dan wawasan yang saya dirikan dan kembangkan berbasis "Question" and "Answer". Jawaban berupa tulisan ini lahir atas pertanyaan "Siapakah Arbain Rambey?" Untuk melihat kekayaan ilmu pengetahuan di platform ini lebih dalam, silakan mendaftar (registrasi) dan jadilah bagian dari Selasares!
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews