Virus Corona dalam Podium Opini

Ernest Hemingway menulis dengan gaya sastra atau literary journalism.Regina Brett, yang menulis dengan gaya pointers.' Dia menulis poin-poin dalam kolomnya yang berjudul “45 Life Lessons.”

Rabu, 25 Maret 2020 | 06:33 WIB
0
296
Virus Corona dalam Podium Opini
Ilustrasi corona (Foto: goodnewsfromindonesia.id)

Saya belakangan ini menulis tema korona di kolom “Podium” Media Indonesia. Saya menulis tema korona itu antara lain dengan judul “Virus Kebencian,” “Hoaks Atas Nama Tuhan”, “Di-lock, lalu Down,” “Berdoa,” "Tuhan tidak Gaptek.”

Kita tentu berharap tulisan kita bukan cuma dibaca, melainkan juga direspons. Katanya, ukuran keberhasilan komunikasi di era digital yang interaktif ini ialah respons. Di antara kolom saya tentang korona, yang paling banyak direspons barangkali yang berjudul “Berdoa”.

Kolom ini bercerita tentang efektivitas berdoa dalam menghadapi korona. Ada pembaca yang langsung menelepon saya. Ada yang merespons dengan memotret kolom saya di koran dan mengirimkannya melalui aplikasi pertukaran pesan langsung ke saya atau ke grup yang saya ada di dalamnya. Ada pula yang membagi tulisan saya di media sosial.

Bila mendapat respons memadai, saya biasanya baru berani membagi tulisan saya di grup aplikasi pertukaran pesan yang saya ikuti. Respons terhadap tulisan tulisan berjudul “Berdoa” itu beragam. Ada yang berkomentar gaya menulis saya membuat orang ingin membaca sampai tuntas. Ada yang mengutip penggalan tulisan saya ketika dia berdiskusi di grup aplikasi pertukaran pesan. Seorang teman di Medan berkomentar begini: "Ya ...dah ku baca. Kalau tak tuntas bacanya, bisa marah memag. Lembut ngayunnya, tapi kenak 2 liang juga."

Tulisan saya yang mendapat lumayan banyak respons ialah tentang Reynhard. Reynhard warga Negara Indonesia terpidana kasus pemerkosaan di Inggris. Dalam kolom berjudul “Reynhard” itu saya “mengajak’ kita semua untuk tidak menghakimi Reynhard karena identitas-identitas yang melekat pada dirinya. Sejumlah teman membagi tulisan itu di media sosial dan mendapat berbagai respons.

Tulisan lain yang juga mendapat respons ialah yang berjudul “Tara Basro.” Tara Basro model dan artis yang memasang foto “telanjang” di
media sosial. Saya menulis dalam perspektif gender dengan menggunakan teori Panopticon-nya Foucault. Beberapa teman membagi tulisan itu di media sosial.

Tulisan saya yang paling banyak direspons mungkin yang berjudul “Paruh Waktu Mengurus Negara.” Tulisan itu berisi kritik jenaka terhadap pengangkatan staf khusus milenial. Di satu grup pertukaran pesan, tulisan itu mendapat banyak sekali komentar. Belakangan saya diberitahu seorang teman bahwa satu menteri dan staf khususnya mengomentari tulisan saya itu. Sabtu, 21 Maret 2020, saya bertemu anggota DPR yang bercerita dia membaca tulisan saya itu.

Satu lagi tulisan yang mendapat respons, yakni yang berjudul “BUMNM.” BUMNM singkatan dari badan usaha milik nenek moyang. Kolom itu hendak menanggapi kasus BUMN Garuda.

Seorang pengamat memotret kolom saya di koran MI dan mengirimkannya ke whatsapp saya seraya menuliskan “grandiose.” Grandiose ialah perasaan superior. Grandiose mengacu pada karakter Dirut Garuda waktu itu Ari Ashkara. Entah kebetulan atau tidak, seorang menteri sempat mengatakan jangan jadikan BUMN ‘badan usaha milik nenek moyang lu."

Kolom berbeda dengan opini. Menulis kolom lebih bebas jika dibandingkan menulis opini. Begitu yang saya baca di buku “Deadline Artist: America’s Greatest Newspaper Columns” yang dieditori John Alvon, Jesse Angelo, dan Errol Louis.

Saya membeli buku yang terbit pada 2011 ini pada April 2018 di satu toko buku di Washington DC, AS, seharga U$7,98. Saya ke Washington bersama Menteri ESDM waktu itu Ignasius Jonan untuk mengikuti World Gas
Conference. Jonan menjadi salah satu pembicara di konferensi tersebut.

Saya memfoto kopi buku itu sebayak 3 eksemplar untuk saya hadiahkan ke tiga penulis kolom “Podium” di Media Indonesia. Saya menggantikan seorang di antaranya yang menjadi anggota DPRD. Kolom pertama saya di rubrik “Podium” terbit 28 Agustus 2019. Sejak itu dua kali sepekan saya mengisi kolom Podium.

Buku “Deadline Artist” berisi kumpulan kolom hebat di media cetak AS. Di antara penulis terdapat nama Ernest Hemingway dan Mark Twain. Dari judulnya tergambar bahwa penulis kolom serupa artis. Artis di sini maksudnya seniman. Menulis kolom memang seni.

Para penulis menulis dengan berbagai gaya. Ernest Hemingway menulis dengan gaya sastra atau literary journalism. Kalau di Indonesia mungkin serupa Goenawan Mohammad dengan “Catatan Pinggir”-nya di Tempo. Bahkan ada penulis, yakni Regina Brett, yang menulis dengan gaya pointers.' Dia menulis poin-poin dalam kolomnya yang berjudul “45 Life Lessons.”

Saya sendiri berupaya menyelipkan hal-hal jenaka dalam setiap tulisan saya, meski seringkali gagal. Ada seorang pembaca, seorang anak muda, yang hampir setiap pagi mengomentari tulisan saya lewat Whatsapp dengan kalimat kira-kira, “Saya geli membaca kolom Bapak.”

***