Rilis Bank Dunia, Mengapa Bisa Diberitakan Berbeda oleh Media?

Akurasi satu berita yang disajikan merupakan pertaruhan kredibilitas media. Karenanya, tantangan utama bagi jurnalis adalah memahami fakta, memahami persoalan yang akan ditulis menjadi berita.

Senin, 3 Februari 2020 | 11:59 WIB
0
517
Rilis Bank Dunia, Mengapa Bisa Diberitakan Berbeda oleh Media?
Ilustrasi media massa (Foto: beritasatu.com)

Sabtu, 1 Februari 2020 saya membaca berita di beberapa media online yang mengutip pernyataan Bank Dunia, di mana isinya kurang lebih “115 juta warga Indonesia terancam miskin”. Media-media online itu antara lain, cnbcindonesia.com, money.kompas.com, voaindonesia.com, katadata.co.id, finance.detik.com, tirto.id, ekbis.sindonews.com, dan nasional.kontan.co.id. Media-media online tersebut, menurut saya, cukup kredibel, ada wartawannya, ada gedung kantornya, ada manajemennya, dan ada investornya.

Tak ayal, berita-berita itu pun bersliweran di media sosial dengan tambahan komentar sesuai selera dan kemampuannya ‘menganalisis’. Padahal, berita yang ditulis oleh banyak media online itu adalah berita besar, besar sekali. Karena, penduduk miskin Indonesia yang di tahun 2015 sebanyak 11,22% dari jumlah penduduk, turun jadi 9,41% pada tahun 2019. Jadi, jika apa yang ditulis oleh banyak media itu benar, pasti angka kemiskinan itu sudah kembali dua digit.

Tapi kemudian saya menemukan di satu media, kompas.com isi berita yang topik dan sumbernya sama, justru sebaliknya dari yang ditulis banyak media online. Karena berita ini berbeda, bahkan berbeda dengan yang ditulis media yang sama (kompas.com). Saya gak ngerti, kok bisa dua berita dengan topik dan sumber yang sama di satu media, tapi kontennya berkebalikan. Entahlah. Tentu ini memicu kepenasaranan. Lalu saya membuka rilis di web Bank Dunia.

Tanggal 30 Januari 2020 Bank Dunia merilis sebuah laporan. Rilis itu berjudul, ‘Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class’. Rilis inilah sumbernya. Dalam rilis sebanyak 8 poin tersebut, poin ke-6 yang oleh sebagian besar media dijadikan sumber untuk menetapkan lead dan judul berita. Hal yang agak mengherankan adalah kompaknya media online memilih poin itu sebagai lead berita. Dugaannya bisa macam-macam.

Poin ke-6 dari rilis itu berbunyi: “Over the past 20 years, the majority of the poor and vulnerable have CLIMBED OUT of poverty and into the aspiring middle class, where there are approximately 115 million people who belong in this category.” Terjemahan kalimat itu, “Selama 20 tahun terakhir, mayoritas penduduk miskin dan yang rentan miskin TELAH KELUAR keluar dari kemiskinan dan masuk ke kelas menengah, di mana ada sekitar 115 juta orang yang termasuk dalam kategori ini.”

Heiii ... !! Ternyata dalam rilis Bank Dunia menyebutkan sebaliknya dari apa yang ditulis oleh sebagian besar media online. Ini makin mengherankan. Karena, berita itu sumbernya rilis (di web Bank Dunia) yang pasti (harus) dibaca oleh reporter atau redaktur. Tapi kok sebagian besar media kompak salah menerjemahkan dan menafsirkannya? Meskipun ada beberapa media yang di bagian badan berita, mengeliminasi judul yang ditulisnya. Ini menggambarkan, betapa banyak media bernafsu untuk menulis berita buruk. Oke, singkirkan dulu soal keberpihakan politik dari awak media dan investornya.

Atau jangan-jangan, karena awak media itu malas, maka berita yang sudah lebih dulu ditulis media lain yang dijadikan sumbernya. Lalu mereka melakukan copy paste, dengan sedikit perubahan kalimat di sana-sini, dan foto ilustrasi yang berbeda? Itu bukan hal yang mustahil. Tapi gak usahlah sampai menduga ada bandar yang berkepentingan mengatur skor, eh ... konten berita.

Di era digital saat ini, pekerjaan jurnalistik menjadi ‘sangat mudah’ dilakukan, bahkan oleh siapapun. Perkara terpenuhi atau tidaknya kaidah-kaidah jurnalistik, itu persoalan lain. Soal kontennya akurat atau tidak, itu seolah menjadi tidak penting. Tapi yang harus dipahami adalah, berita yang ditampilkan oleh media massa, akan mempengaruhi opini publik tentang obyek berita itu.

Media digambarkan oleh tokoh pergerakan muslim Amerika Serikat, Malcolm X, adalah entitas paling powerful di dunia. “The media's the most powerful entity on earth. They have the power to make the innocent guilty and to make the guilty innocent, and that's power. Because they control the minds of the masses.” (Media adalah entitas paling kuat di dunia. Mereka memiliki kekuatan untuk membuat orang yang tidak bersalah menjadi bersalah, dan untuk membuat orang yang bersalah menjadi tidak bersalah. Itulah kekuatannya. Karena media mengendalikan pikiran massa.").

Sampai hari ini, sebagian besar masyarakat Indonesia, juga dunia, masih menganggap apa yang ditulis oleh media adalah benar, kebenaran, fakta. Jika demikian, maka tugas awak media adalah menyampaikannya dalam bentuk berita. Wartawan itu sendiri adalah penyampai kebenaran. Dari pola kerjanya, wartawan itu kongruen dengan peran nabi: menyampaikan kebenaran.

Wartawan bukan nabi. Tapi dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya, wartawan harus ‘suci’, suci dari kepentingan, selera, dan opini pribadi atau kelompok. Apa yang ditulis dan disampaikan kepada publik adalah fakta. Ingat, opini itu (mungkin) baik, (bagi jurnalis) fakta itu suci.

Akurasi satu berita yang disajikan merupakan pertaruhan kredibilitas media yang menyajikannya. Karenanya, tantangan utama bagi para jurnalis adalah memahami fakta, memahami persoalan yang akan ditulis menjadi berita. Maka kegagalan terbesar seorang jurnalis adalah ketika gagal memahami fakta persoalan, lalu dalam ketidakpahaman itu tetap menulisnya menjadi berita. Atau menjadi destruktif, ketika awak media dengan sengaja menulis berita yang tidak sesuai dengan fakta, karena fakta yang ada tidak sesuai dengan harapannya, atau harapan pemilik medianya.

***