Tentang Badan Riset Nasional dan Salah Kaprah Publik Terhadapnya

Minggu, 13 Januari 2019 | 08:11 WIB
0
470
Tentang Badan Riset Nasional dan Salah Kaprah Publik Terhadapnya
Megawati di HUT ke-46 PDIP (Foto: Detik.com)

Salah satu hal menarik dalam Pidato Megawati memperingati HUT ke-46 PDIP adalah tentang pentingnya pembentukan badan riset dan inovasi nasional. Megawati berseru kepada Presiden Joko Widodo, "Saya mohon ke presiden, dibutuhkan badan riset dan inovasi nasional, yang hasil kerjanyanya jadi landasan pembangunan nasional."

Bagi Megawati, kehadiran badan riset dan inovasi ini penting bagi adanya politik pembangunan terukur. Megawati dan PDIP menyebut politik pembangunan terukur sebagai pembangunan nasional berdikari. Ini adalah konsep pembangunan yang membumikan Pancasila di segala bidang, sebuah cetak biru menuju terwujudnya Indonesia sebagai negara industri maju dengan menempatkan rakyat sebagai subjek.

Pidato Megawati bukan sekadar bunga-bunga kata. Jika kita rajin memperhatikan, pidato-pidato resmi Megawati mencerminkan arah perjuangan politik PDIP. Isi pidato Megawati akan diterjemahkan kader-kader PDIP dalam perjuangan legislasi dan budgeting di parlemen, pun dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah yang dibentuk PDIP. Sayangnya tak jarang kader-kader PDIP, pun para teknokrat gagal menafsirkannya.

Demikian pula soal ini. Bukan baru sekali Megawati menyampaikannya.

September 2017, ketika berpidato di Universtas Negeri Padang, Megawati katakan pembangunan negara sebagai wujud dari demokrasi politik dan ekonomi wajib berbasis pada riset dan kajian ilmiah. Tiada negara bisa maju tanpa fokus pada riset ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kebijakan pembangunan. Wujud konkrit dari keseriusan negara terhadap riset adalah adanya lembaga resat nasional dan alokasi anggaran khusus yang memadai.

Saat itu Megawati menceritakan percakapannya dengan Menristekdikti Muhammad Nasir soal anggaran riset 2-5 persen dari APBN.

Megawati memahami bahwa riset butuh biaya besar. Namun ia juga paham, hasil riset yang bisa digunakan di banyak bidang akan berbuah keutungan berlipat ganda bagi kemajuan Indonesia dibandingkan besar investasinya.

Gagasan serupa Megawati sampaikan kepada 11 profesor riset anggota Forum Nasional Profesor Riset (FPNR) pada Mei 2018.

Gayung bersambut. FPNR menafsirkan dan setuju bentuk kelembagan dewan riset usulan Megawati itu sebagai holding lembaga riset, sebuah  otoritas riset dan teknologi negara yang dipimpin langsung Presiden. Sementara Kepala BPPT Unggul Priyatno mengusulkan namanya Badan Riset dan Inovasi Nasional. Nama ini yang kemudian dipakai Megawati dalam pidato HUT PDIP ke-46, 10 Januari 2019.

Pada 9 Mei 2018, dalam sebuah acara di BPPT, Megawati berpidato, menyampaikan beberapa prinsip penting riset dan kelembagaan lembaga riset.

Pertama, riset sebagai dasar pembuatan kebijakan.

Bagi Megawati, Indonesia hanya akan bertumbuh menjadi negara Industri jika menggunakan pendekatan "Science Based Policy.” Artinya perencanaan pembangunan harus ilmiah, mengacu kepada hasil riset. Megawati tidak ingin, riset hanya jadi masukan tak mengikat ketika pemerintah dan DPR menyusun kebijakan.

Kedua, benang merah sejarah pentingnya riset.

Megawati mencontohkan pada masa awal Kemerdekaan, Bung Karno melibatkan tidak kurang dari 600 pakar dalam Dewan Perancang Nasional (Depernas). Dewan ini menyusun Rencana Pembangunan nasional jangka panjang berbasis riset agar seusai dengan kenyataan dan kebutuhan rakyat Indonesia.

Ketiga, kelembagaan riset.

Megawati melemparkan urusan kelembagaan Badan Riset Nasional ini kepada publik, terutama kalangan ilmuwan. Baginya yang terpenting adalah lembaga itu mengonsolidasikan seluruh riset "di perguruan tinggi, kementerian dan lembaga negara, serta di lembaga swasta agar ada satu irama, satu visi dan misi yang benar-benar sama dan dapat pula dipertanggungjawabkan secara ilmiah."

Ia mengajak lembaga-lembaga riset dan ilmu pengetahuan yang kini ada--terutama LIPI, AIPI, dan BPTP--untuk tidak terjebak dalam persoalan eksitensialis, tidak takut kehilangan peran.

Keempat, landasan undang-undang kelembagaan riset nasional

Dalam pidato itu Megawati mengajak para akademi bersama-sama mengawal revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi agar menempatkan dengan benar posisi riset dan lembaga riset dalam perencanaan pembangunan dan pembuatan kebijakan.

Yang terpenting baginya, riset wajib jadi acuan pembuatan kebijakan publik dan perencanaan pembangunan jangka panjang.


Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi juga rupanya setuju dengan wacana yang dilontarkan Megawati. Pada Juli 2018, di sela-sela Kongres Teknologi Nasional, Menristekdikti Mohamad Nasir menyampaikanbahwa dirinya telah mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo agar pemerintah memusatkan urusan riset dalam satu institusi.

Itu artinya lembaga-lembaga riset yang selama ini tersebar di berbagai kementerian dan lembaga akan disentralisasikan di bawah koordinasi satu lembaga payung. Tidak berarti harus lembaga baru, bisa saja berupa upgrade lembaga seperti BPTP atau LIPI.

Problem dalam Interpretasi dan Detailing.

Meski gagasan Megawati diterima banyak kalangan, tidak terhindarkan masalah muncul ketika hendak didetailkan.

Kemenristek misalnya, dalam draf RUU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang mula-mula beredar—saya duga berasal dari Kemenristek—tidak ditemukan nomenklatur Badan Riset Nasional. Bahkan Dewan Riset Nasional, lembaga di bawah Kemenristekdikti yang diatur dalam UU 18 Tahun 2002 hilang.

Dalam draf RUU yang sangat belum matang itu, Bab V tetang kelembagaan, pasal 38 menyebutkan, Kelembagaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terdiri atas: a. lembaga penelitian dan pengembangan; b. lembaga pengkajian dan penerapan; c. perguruan tinggi; d. Badan Usaha; dan e. lembaga penunjang.

Dalam bagian lain disebutkan bahwa Rencana Induk Pemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi disusun oleh Menteri dengan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga dan mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait.

Betapa tidak progresifnya draf RUU ini. Tak sedikitpun mencerminkan adopsi dan adapsi gagasan besar yang Megawati sampaikan.

Kini, dengar-dengar draft tersebut sedang digodok ulang dengan memasukkan Badan Riset Nasional. Namun problem muncul berupa di mana posisi lembaga ini dalam hierarki kekuasaan?

Apakah lembaga ini dibentuk baru atau pengembangan dari lembaga riset dan ilmu pengetahuan yang sudah ada? Lembaga manakah yang akan di-upgrade menjadi Badan Riset Nasional? Apakah LIPI, AIPI, BPPT, atau Dewan Riset Nasional?

Untuk melihat problem ini lebih clear, kita periksa dulu sejarah, tugas, dan wewenang lembaga-lembaga riset dan Iptek di atas.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Lembaga riset dan iptek tertua yang masih berdiri tampaknya adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).  Ia dibentuk pada 1967 dengan sumber daya berasal dari 2 lembaga yang telah dibubarkan pada tahun yang sama, yaitu Lembaga Riset Nasional (Lemrenas) dan Masyarakat Ilmu Pengetahuan Indonesia (MPI).

MIPI dibentuk melalui Undang-Undang (UU) No.6 Tahun 1956. Pada tahun 1962, pemerintah membentuk Departemen Urusan Riset Nasional (Durenas) dan menggabungkan MIPI ke dalamnya. Saat itu Durenas dipimpin Menteri Urusan Riset Nasional (Soedjono Djoened Poesponegoro) yang berada di bawah Menteri Koordinator Kompartemen Produksi, kemudian pindah ke bawah Menteri Koordinator Kompartemen Pembangunan.

Pada 1966, Durenas naik status menjadi Lemrenas, dipimpin Menteri Lembaga Research Nasional (Suhadi Reksowardojo), berada di bawah Wakil Perdana Menteri untuk Hubungan dengan Institusi Politik. Setahun kemudian lembaga ini dibubarkan, berganti LIPI.

Saat ini, dari sekian banyak wewenang LIPI, taka da yang sungguh berkaitan dengan wewenang Badan Riset Nasional seperti yang diinginkan Megawati. LIPI benar-benar sekadar lembaga riset. Bedanya ia memiliki otoritas melakukan sejumlah standarisasi dan mengukuhkan professor riset. Wewenang memberikan rekomendasi pada kebijakan pemerintah terbatas pada hal konservasi keanekaragaman hayati.

Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)

AIPI seharusnya merupakan lembaga riset dan ilptek tertua bentukan pemerintah. Ia direncanakan sebagai upgrade dari MIPI. Sayangnya naskah akademis RUU perubahan MIPI yang telah siap sejak 1962 tidak pernah diproses lanjut.

Ketika LIPI didirikan, salah satu tugasnya adalah membentuk AIPI. Namun tugas ini tak kunjung berhasil dijalankan hingga akhirnya pembentukan AIPI diambilaih Kemenristek pada 1983.

Pada 1990, AIPI akhirnya berhasil dibentuk melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1990 tentang Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.

AIPI hanya semacam klub para pakar yang sewaktu-waktu dapat dimintai pendapat oleh pemerintah atau sebaliknya atas inisiatif sendiri memberikan pertimbangan kepada pemerintah mengenai mengenai pengembangan dan pemanfaatan Iptek.

AIPI memiliki lembaga pendana riset yang disebut Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (DIPI) yang dibentuk pada 2016. DIPI menggalang dana dari luar negeri (yang paling banyak membantu ya pemerintah Australia, AS, dan Inggris), swasta nasional dan Pemerintah Indonesia  (Kementerian Keuangan melalui LPDP) untuk disalurkan sebagai hibah kepada peneliti.

Sebagai cuma sebuah klub ilmuwan, AIPI tentu jauh dari kapasitas sebuah Badan Riset Nasional yang diinginkan Megawati.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Berbeda dengan LIPI dan AIPI sebagi lembaga non-struktural bentukan pemerintah yang bersifat independen, BPPT adalah  lembaga pemerintah non-kementerian yang berada dibawah koordinasi Kemenristek. Tugasnya berkatian dengan pengkajian dan penerapan teknologi, yang berarti hanya bermain di ranah hilir riset.

Karena beperan di riset hilir dan terbatas pada aspek penerapan teknologi, BPPT tidak bisa menjadi BRN yang seharusnya berperan sejak hulu, bahkan fondasi, yaitu bertanggungjawab atas riset-riset yang jadi landasan perencanaan pembangunan nasional jangka panjang, bukan sekadar urusan teknologi terapan.

Dewan Riset Nasional (DRN).

Menurut Perpres 16/2005, DRN adalah lembaga non-struktural bentukan pemerintah dan bersifat independen. UU 18/2002 menugaskan DRN merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang penelitian, pengembangan dan penerapan (litbangrap) iptek. Para anggota DRN oleh Menristek untuk masa 3 tahun.

DRN mungkin paling dekat format dan hakikatnya dengan gagasan BRN Megawati. Dokumen Rencana Induk Riset Nasional yang dihasilkan DRN (seperti “Rencana Induk Riset Nasional Tahun 2017-2045” yang sudah dihasilkan) adalah salah satu output BRN nantinya.

Bedanya BRN jauh lebih strategis, tidak hanya merekomendasikan arah riset nasional, melainkan memimpin seluruh kerja riset nasional lintas lembaga sebagai sebuah orkestra yang mengabdi kepada penyusunan rencana pembangunan nasional jangka panjang. Karena itu pula, BRN tidak bisa hanya lembaga yang berada di bawah kementerian.

Dengan demikian merupakan salah kaprah ketika para pihak yang kini menggodok RUU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi mencoba menjadikan salah satu dari 4 lembaga di atas—meng-upgrade statusnya—sebagai BRN. Bahkan salah kaprah juga jika hendak menempatkaan BRN sebagai lembaga yang berada di bawah presiden. Demi pula keliru menyangka Megawati maksudkan BRN akan menjadi lembaga pelaksana riset.


Untuk memahami maksud Megawati, orang harus kembali mengingat rangkaian pidatonya, terutama sejak Pidato 10 Januari 2016. Itu saat Megawati menyerukan kembali kepada Pembangunan Semesta Berencana.

Saat itu Megawati mengkritik pembangunan di Indonesia yang seperti orang berdansa pojo-poco, maju mundur, maju mundur. Penyebabnya adalah rencana pembangunan yang berganti setiap pergantian kepemimpinan nasional.

Indonesia Raya yang hanya bisa lahir dengan “Overall planning”, atau perencanaan menyeluruh, yakni suatu perencanaan yang tidak berdiri sendiri. Suatu perencanaan semesta yang tidak hanya diletakkan untuk lima tahunan masa jabatan eksekutif, daerah, maupun pusat,” katanya.

Megawati kembali menyadari makna strategis Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) saat berkunjung ke Shen-zhen, China. Ketika Megawati terpukau oleh kemajuan pembangunan Tiongkok, seorang pejabat senior Partai Komunis mengatakan tak seharusnya ia terpukau sebab kemajuan China berinspirasi pada pola perencanaan pembangunan ala Soekarno.

Pembangunan nasional semesta berencana membutuhkan perencanaan yang kuat, komprehensif, memetakan dengan jelas kondisi nyata dan kebutuhan rakyat. Perencanaan yang seperti ini hanya mungkin dilakukan dengan basis riset yang kuat pula.

Posisi DRN seharusnya tidak berada di bawah presiden sebab riset dan perencanaan pembangunan yang dilandasinya melampaui satu periode masa jabatan presiden.

Sebelum MPR menyusun Rencana Pembangunan Nasional Semesta , ia mengacu kepada rekomendasi DRN berdasarkan riset-riset yang telah dibuat. Setelah Rencana Pembangunan Nasional Semesta disusun untuk periode 25 tahun, ia menjadi acuan bagi Presiden untuk membuat RPJMN untuk periode 5 tahun.

Dalam pidato di BPPT Mei 2018, Megawati mengutip pernyataan Soekarno bahwa “Rencana Pembangunan Nasional tersebut bukan milik Presiden, bukan milik Depernas, bukan milik DPR atau MPR. Tetapi milik seluruh elemen bangsa, national property. Tidak boleh satu orang pun mengubahnya. Semua elemen bangsa wajib berpedoman dan terlibat dalam menjalankannya.

Karena derajat kepentingannya untuk keberlangsungan hidup bangsa dan negara, maka prinsip-prinsip ideologi Pancasila yang juga menjadi pijakan riset  untuk penyusunan Rencana Pembangunan Nasional ditetapkan menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).”

Riset DRN juga tidak bisa dibatasi semata-mata kepada riset teknologi aplikasi sebab Rencana Pembangunan Semesta adalah pembangunan di segala bidang.

Kata Megawati, Rencana Pembangunan Nasional Semesta itu adalah rencana jangka panjang “berupa pola pembangunan nasional di segala bidang kehidupan bukan hanya soal ekonomi tetapi di segala bidang kehidupan negara dan masyarakat; membangun serentak dalam bidang ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan kebudayaan, juga yang tidak boleh ditinggalkan dan tak kalah penting: bidang spiritual. Kesemuanya harus ada dalam satu integrasi dan sinergitas antar pulau, antar daerah, antar suku untuk bisa menjadi modal kita ke depan menjadi Indonesia Raya.”

Atau seperti kata Soekarno, “overall planning, planning semesta, planning jang meliputi semua bidang, planning jang mengenai ja politik, ja ekonomi, ja kulturil, ja mental, planning diatas segala bidang.”

Maka Badan Riset Nasional yang digagas Megawati juga seharusnya bukan sebuah lembaga riset, melainkan panglima riset semesta nasional yang memimpin seluruh lembaga riset, baik yang ada di kementerian dan lembaga, di kampus-kampus, bahkan lembaga riset swasta, dalam ratu orchestra yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Seluruh hasil riset lembaga-lembaga itu dikumpulkan, diekstrak, disimpulkan oleh BRN agar menjadi landasan penyusunan Rencana Pembangunan Nasional Semesta.

Kalau pakai perumpaan popular, BRN itu seperti The Order of Maesters alias  the Maesters of the Citadel alias the Knights of the Mind dalam novel atau film Game of Throne. Ia melampaui kekuasaan-kekuasaan singkat 5 tahunan presiden.

Begitulah. Megawati bukan lagi seorang politisi. Ia adalah ideolog, adalah pemikir besar bangsa. Sudah lazim gagasan-gagasan pemikir bangsa keliru ditafsirkan pada politisi dan teknokrat. Semoga kekeliruan-kekeliruan yang ada bisa cepat disadari sebelum UU Sisnas Iptek terlanjur disahkan.


Sumber:

  1. Beritasatu.com (10/01/2019) "Megawati Minta Presiden Jokowi Segera Realisasikan Badan Riset dan Inovasi Nasional"
  2. Kompas.com (27/09/2018) "Megawati Ingin Ada Lembaga Riset Nasional" 
  3. Mediaindonesia.com (08/05/2018) "Menjadikan Badan Riset Nasional Holding Litbang"
  4. Sindonews.com (18/07/2018) "Riset Bakal Disentralisasikan" 
  5. Pdiperjuangan.id, "Menemukan Kembali Pondasi Indonesia Sebagai Negara Industri" 
  6. Pdiperjuangan.id (11/01/2016) "Pidato Politik Ketua Umum DPP PDI Perjuangan dalam Rangka HUT ke-43 dan Rakernas I PDI Perjuangan"