Pesan Terakhir dari Puncak Bukit

Manusia yang utuh di dalam dirinya mengalirlah roh dan semangat perdamaian. Perdamaian itu pertama-tama terjadi secara vertikal, yakni antara manusia dan Allah.

Senin, 5 April 2021 | 08:18 WIB
0
230
Pesan Terakhir dari Puncak Bukit
Salib di bukit (Foto: depositphoto.com)

I

Seseorang akan dikatakan memahami dan menghayati agama, jika hatinya telah dipenuhi oleh cinta yang datang dari Tuhan maha kasih. Sang Penebar Cinta. Karena cinta Tuhan semesta ini ada. Dan dengan cinta, maka kehidupan ini akan menjadi indah. Bukankah kebencian dan peperangan membuat hidup menjadi pengap dan menyiksa?

Begitu Komaruddin Hidayat mengawali prolog-nya dalam buku Jerusalem 33, Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan Tragedi Tanah Suci (Trias Kuncahyono:2011). Tulis Komaruddin, manusia telah menodai dan mengkhianati kasih dan pesan suci Tuhan yang telah menjadikan ajaran agama,  yang pada mulanya merupakan ajakan kasih dan damai, terdegradasi menjadi sumber konflik berdarah-darah.

Konflik berdarah-darah yang mengakibatkan hilangnya banyak nyawa orang-orang tak berdosa, tak bersalah, tak tahu menahu terjadi di mana-mana. Mengapa? Sebab,  agama dapat mempengaruhi masyarakat dan politik: agama bisa menjadi salah satu dasar identitas, agama termasuk sistem kepercayaan yang mempengaruhi perilaku, doktrin agama atau teologi seringkali dapat mempengaruhi perilaku, agama adalah sumber legitimasi, dan agama umumnya dikaitkan dengan lembaga keagamaan.  (Jonathan Fox dan Shmuel Sandler: 2005)

Kita bisa saja berdalih mencari penjelasan dan pembenaran mengapa umat bereagama terlibat konflik. Namun, kalau saja kita masuk pada suara hati terdalam dan menggunakan nalar sehat dalam memahami agama, setiap pemeluk agama pasti akan mengutuk kekerasan dan penistaan terhadap sesama manusia; terlebih mereka yang beriman pada Tuhan apa pun agamanya.

“Para Rasul Tuhan mengajak berbuat baik dan menjanjikan kehidupan surgawi di akhirat nanti. Tetapi, mengapa ajakan berbuat baik dan janji surga tadi lalu berubah menjadi penghakiman dan penghukuman, bahkan penindasan, yang dilakukan manusia terhadap sesamanya karena berbeda paham dan keyakinan agamanya? Bukankah keputusan surga-neraka itu hak prerogatif Tuhan?” tulis Komaruddin dalam nada menggugat.

II

Lalu di mana diletakkan serangan bom bunuh diri yang terjadi pada hari Minggu Palma di kompleks Katedral Makassar, Sulawesi Selatan dalam konteks pesan suci agama: kasih dan damai? Di mana pula diletakkan serangkaian serangan bom bunuh diri terhadap sejumlah tempat agama yang terjadi sebelumnya?

Dalam Twitter-nya, Azyumardi Azra secara tegas dan jelas menulis, “Aksi bom bunuh diri di depan pagar pekarangan Katedral Makassar pagi adalah perbuatan biadab, kejahatan kemanusiaan, pelanggaran agama dan hukum negara.” Karena itu, harus ditindak.

Itu yang pasti! Serangan bom bunuh diri apa pun sasarannya—terlebih-lebih menyasar orang lain yang berbeda baik itu ras, suku, etnik, agama, dan yang lainnya—adalah kejahatan kemanusiaan, adalah tindakan biadab, adalah pelanggaran nilai-nilai dan pesan suci agama, dan juga melanggar hukum negara.

Meskipun, mungkin, kaum ekstremis agama melihat tindakan radikal diperlukan untuk memenuhi keinginan Tuhan. Tentu keinginan Tuhan seturut versi mereka, pemahaman mereka. Meskipun, hampir selalu, mayoritas dari agama apa pun memiliki pandangan moderat. Namun, kaum ekstremis termotivasi untuk mewujudkan interpretasi mereka tentang kehendak Tuhan.

Kaum fundamentalis dari agama mana pun cenderung mengambil pandangan Manichean—mengikuti  filosofi Manikheisme,  agama lama yang memecah segala sesuatu menjadi baik atau jahat. Ini juga berarti “dualitas”, melihat segala sesuatunya secara hitam dan putih  tentang dunia.

Yang “tidak sama dengan kami”, musuh! Yang “tidak sejalan dengan kami”, harus disingkirkan! Maka jawaban Presiden AS George W Bush (2001) saat menjawab aksi terorisme pun mengikuti logika itu: “You Are Either With Us, Or With the Terrorists.” Dalam bahasa Mussolini, “O con noi o contro di noi”—Anda bersama kami atau melawan kami.

III

Bukankah agama baru menjadi konkret, sejauh dihayati oleh pemeluknya? Kalau agama menganjurkan para pemeluknya menghormati dan menghargai sesama manusia, seharusnya itu yang terjadi. ‘Agama harus menjadi animator kesatuan dan damai,” kata Paus Fransiskus di Irak.

Tetapi, kenyataannya sering bertentangan. Ketika itu, muncul pembelaan bahwa agama bukan sebagai pemicunya. Pembelaan semacam itu sering—atau bahkan selalu—terjadi. Tetapi, menurut Haryatmoko (2003), agama memberikan landasan ideologis dan pembenaran simbolis. Misalnya, secara teoritis keputusan untuk mati (menjadi pengebom bunuh diri) adalah hak individu tersebut.

Tetapi sekarang, keputusan itu setidaknya telah diambil sebagian oleh organisasi yang melatih dan mengerahkan pelaku bom bunuh diri. Dengan menjamin bahwa individu pelaku bom bunuh diri akan dikenang sebagai martir bagi komunitas mereka. Penggunaan terma “martir” atau “syahid” ini mengilhami peran pelaku bom bunuh diri dengan rasa hormat dan kepahlawanan, membuatnya lebih menarik bagi calon anggota. (dalam  Scott Nicholas Romaniuk: 2016).

Padahal, setiap orang beriman semestinya berjuang untuk membaktikan diri demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat demi terwujudnya hidup bersama yang semakin merdeka. Masyarakat adalah masyarakat umum, bukan hanya demi golongan seagamanya sendiri.

Baca Juga: Paskah, Telur dan Tradisi Keagamaan

Wilayah perjuangan orang beriman adalah demi terwujudnya kebaikan bersama yang ditandai oleh terwujudnya kebenaran, kejujuran, keadilan, penyembuhan, cinta kasih, kemerdekaan, perdamaian, dan sebagainya agar orang dan masyarakat semakin memerdekakan diri, manusiawi, adil, beradab, alias merealisasikan kehendak Tuhan.

 Dengan kata lain, kualitas iman tampak dalam kualitas keutamaan kasih yang diperjuangkan secara konsisten dalam perjuangan membela martabat manusia dan mewujudkan nilai-nilai hidup di tengah masyarakat. Itu berarti, menolak dan membenci orang lain, tidak akan pernah menjadi utuh sebagai manusia.

Manusia yang utuh di dalam dirinya mengalirlah roh dan semangat perdamaian. Perdamaian itu pertama-tama terjadi secara vertikal, yakni antara manusia dan Allah. Setelah itu, berulah sungai perdamaian  mengalir secara horizontal, dalam tata kehidupan bersama antar-sesama manusia. Perdamaian itulah yang mengalir dari puncak Bukit Golgotha.

Selamat Paskah.

***

Trias Kuncahyono