Najwa, Etika Pers dan Wawancara Itu

Wawancara Najwaharus dilihat dari kacamata kekecewaan masyarakat yang mengharapkan tanggung jawab terbuka Menteri Kesehatan, sampai-sampai harus digantikan bangku kosong.

Sabtu, 3 Oktober 2020 | 11:09 WIB
0
579
Najwa, Etika Pers dan Wawancara Itu
Kartun G.M. Sudarta (P. Swantoro, Membuka Cakrawala, 1990)

Arem-arem dan pastel sayur yang pagi ini menjadi sarapan saya mendadak menjadi semakin gurih tatkala seusap jari di permukaan ponsel pintar mendaratkan saya pada tulisan Abi Hasantoso ini. Ulasan pendek itu dengan kritis dan cekak aos mengomentari seputar wawancara Najwa Shihab dengan bangku kosong yang seharusnya diduduki Menteri Kesehatan kita, Terawan Agus Putranto.

Dari pembacaan saya atas kritik Abi adalah bahwa Najwa dinilai tak patut bersikap demikian sebagai jurnalis. Najwa dinilai menyalahgunakan hak kebebasan pers yang (untungnya) telah dijamin dalam Undang-Undang nomor 40/1999 tentang Pers. Secara tamsil pula, Abi menguraikan bahwa praktik Najwa itu tak ubahnya praktik "jurnalisme bodrex" yang kejar tayang dan tidak menghargai narasumber. 

Sentilan Abi keras. Cukup keras untuk menilai dengan tajam soal wawancara Najwa yang viral di mana-mana itu. Sebagai tabiat asli warganet Indonesia pula, perbedaan pandangan soal benar-tidaknya Najwa dan wawancaranya sampai-sampai menyebabkan perang media sosial yang membelah sudut pandang warganet menjadi berseberangan di dua tubir jurang tak terseberangi.

Sesuaikah wawancara Najwa itu dengan etika pers? Tepatkah implementasi kebebasan pers Najwa untuk menyudutkan Menteri Kesehatan yang malam itu in absentia? Benarkah wawancara Najwa dan bangku kosong itu mempermalukan Menteri Kesehatan secara tidak gentle

Etika Pers dan Kebebasan Pers

Perlu kita akui bahwa wawancara Najwa Shihab dan bangku kosong yang seharusnya diduduki Menteri Kesehatan itu dapat dimaknai secara multitafsir dan sangat multidimensional, tergantung pandangan dan tanggap spontan setiap orang. Bagi orang Jawa seperti saya, misalnya, wawancara Najwa dalam konteks negatif tak ubahnya ngrasani, membicarakan keburukan orang lain tanpa diketahui si subjek.

Dalam pandangan Abi Hasantoso, wawancara Najwa adalah olok-olok serius terhadap Menteri Kesehatan yang tengah kerepotan mengurus kesehatan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 ini. Bagi segelintir warganet yang pro-pemerintah, absensi Menteri Kesehatan dari wawancara itu dinilai sebagai tekad Menteri Kesehatan untuk mengabaikan wawancara dan pertanyaan-pertanyaan Najwa yang, harus kita akui, sangat tajam dan cenderung nylekit itu. Salah langkah bisa-bisa amblas. 

Dalam hal ini, etika dan sikap kita hendaknya dipandang dari dua sisi juga. Wawancara Najwa dan bangku kosong itu lain dengan jenis konten-konten nirmutu yang ditujukan untuk mendongkrak penonton seperti dilakukan sejumlah oknum Youtuber zaman kiwari. Berapa kali Najwa telah mengundang Menteri Kesehatan untuk hadir dalam wawancaranya? Sekali? Dua kali?

Tentu lebih dari itu, sampai-sampai Najwa dan tim merasa kelelahan mengontak Menteri Kesehatan dan memutuskan untuk menghadirkannya dalam bentuk bangku kosong. Simbolis yang diharapkan adalah bahwa Menteri Kesehatan yang in absentia itu memang takut untuk diberondong dengan mitraliur pertanyaan Najwa yang meminta keterangan Menteri Kesehatan atas kinerjanya selama tujuh bulan terakhir dalam menangani kesehatan masyarakat selama pandemi. 

Tepatkah pilihan itu? Kita dapat menilai bahwa itu kebablasan, namun jangan lupakan asumsi yang keburu beredar di masyarakat. Wawancara Najwa tidak ubahnya adalah mimbar pertanggungjawaban bagi masyarakat banyak, dan bila Menteri Kesehatan memilih untuk tidak hadir dengan berbagai alasan—atau mungkin "dalih"—dapat saja masyarakat berasumsi bahwa Menteri Kesehatan enggan bertanggung jawab atas situasi mutakhir pandemi yang semakin mengganas dengan jumlah korban yang terus menanjak, jumlah pemakaman semakin sedikit, serta ekses-eksesnya yang mendesak kehidupan ekonomi nasional.

Asumsi sikap Menteri Kesehatan yang "enggan bertanggung jawab" ini tentulah patut disesalkan, lebih-lebih sudah beberapa waktu ini kita mendapat pemberitaan bahwa Gedung Kementerian Kesehatan menjadi gedung paling tidak sehat di Jakarta, mengingat keadaannya telah menjadi klaster perkantoran dengan jumlah paparan terbanyak. 

Wawancara itu bebas dilakukan, dan tidak bermasalah menurut sudut pandang kebebasan pers. Meski secara normatif narasumber berhak menolak datang diwawancarai termasuk dalam Kode Etik Jurnalistik, akan tetapi dalam konteks Menteri Kesehatan, urgensi penolakan itu menjadi lebih dari sekedar penolakan seorang narasumber menghadiri suatu wawancara, mengingat bahwa narasumber yang ini memiliki kedudukan integral dan kehadirannya dalam wawancara telah diharapkan begitu banyak pihak, terutama masyarakat yang sudah beberapa waktu terakhir ini semakin jarang melihat kehadiran Menteri Kesehatan yang (semestinya) menjadi orang pertama yang berbicara kepada publik terkait pertanyaan yang berlayangan kepadanya. Janganlah kiranya, asumsi yang saya singgung di atas benar-benar menjadi apriori dalam masyarakat. 

Lagipula, apakah kebebasan pers kita hendak dikembalikan ke zaman "kebebasan yang bertanggung jawab dan membangun" seperti rumusan kebebasan pers di zaman Departemen Penerangan dahulu? Di zaman itu, kebebasan pers merupakan salah satu barang mahal, sehingga tepatlah kalau (Alm.) Jakob Oetama dalam "Tajuk Rencana" KOMPAS tanggal 1 Februari 1979 menulis, "Yang terjadi dalam masalah kebebasan pers, sering kali perbedaan pandangan dengan masyarakat, khususnya pemerintah ataupun karena pers menyentuh berbagai kepentingan tertentu yang menurut faham mapan dapat menggoyahkan stabilitas dan statusquo." 

Sekarang? Kebebasan pers dapat digunakan sepuas-puasnya, direguk dan dinikmati oleh insan pers maupun masyarakat banyak. Kritik terhadap berbagai pihak dapat muncul setiap waktu setiap saat oleh pers. Dengan semangat reformasi itu, hendaknya rumusan "kebebasan yang tidak bebas" seperti zaman Departemen Penerangan itu kita tinggalkan jauh-jauh. 

Lantas, apakah dengan demikian, pers dapat menggunakan kebebasannya tanpa batas? Menjadi lembaga penyiaran yang hantam kromo melemparkan hujatan dan memompa kelenjar agresi sepuas-puasnya terhadap pihak-pihak yang tidak disukainya? 

Bukan pers yang 'kebablasan' yang menjadi masalah kita, namun kedewasaan masyarakat dalam menyikapi perbedaan pendapat, semakin hari menjadi semakin buruk—semakin kekanak-kanakan dan cenderung mudah terbelah-belah menjadi dua kubu

Dengan kebebasan pers yang ada sekarang, sesudah ia meninggalkan rumusan "kebebasan yang bertanggung jawab" seperti Departemen Penerangan dulu, fungsi pers bertambah dan bukannya berkurang. Berbekal kebebasan yang ia miliki, pers tidak hanya menjalankan fungsi kontrol dan kritik terhadap kekuasaan saja, namun juga mendapat peran aktif mendewasakan masyarakat, khususnya dalam menyikapi perbedaan pendapat sehingga masyarakat yang kini begitu mudah tertarik ke salah satu kubu, mudah menyerang dan menyudutkan wartawan-wartawan yang "bebas tapi tidak bertanggung jawab", atau mudah mempersekusi media melalui salah satu pemberitaannya.

Perbedaan pendapat yang mendikotomi segelintir masyarakat kritis terhadap pemerintah sebagai "kadrun" dan segelintir masyarakat lain yang taklid kepada pemerintah sebagai "cebong", maupun sekelompok tokoh dunia maya yang membela pemerintah sebagai "buzzer". 

Demokratisasi media mendorong pers ke arah sini. Kebebasan pers hendaknya jangan melulu diembel-embeli "bertanggung jawab" sebagai garis bawah, namun juga menjadi sarana mengoreksi dan melancarkan otokritik kepada diri sendiri agar bersikap semakin dewasa dalam menyikapi perbedaan pendapat.

Wawancara Najwa, misalnya, secara luas dan komprehensif patut dilihat dari kacamata lain, yaitu kekecewaan masyarakat banyak yang mengharapkan tanggung jawab terbuka Menteri Kesehatan, sampai-sampai harus digantikan bangku kosong.

Jika insan pers seperti Najwa ditekankan untuk "bertanggung jawab" dalam meluncurkan konten, maka dapatkah Menteri Kesehatan terbebas dari "tanggung jawabnya" memberi keterangan kepada khalayak banyak yang gemas karena perkembangan pandemi mutakhir yang menampakkan dekadensi kinerja pemerintah dan aparat?   

***