Di Tepi Kali Boyong

Bagi para penggali pasir tradisional di Kali Boyong, semua akan aman, mata pencaharian mereka tak terganggu apabila mampu menyeimbangkan antara yang sekala dan niskala

Sabtu, 12 Desember 2020 | 20:51 WIB
0
342
Di Tepi Kali Boyong
Lahar menghancurkan alat berat (Foto: Harian Nasional)

Pertama

Kali Boyong mengalir tenang di sisi rumah. Airnya jernih, pagi itu. Tidak seperti  ketika hujan turun. Airnya keruh. Sungai yang berhulu di kaki Gunung Merapi itu menjadi sumber penghidupan. Entah sudah berapa truk pasir dan batu-batu kecil yang diambil darinya oleh para petambang. Badan sungai itu bopeng-bopeng, digali di sana-sini. Ada yang dalam, begitu dalam, dan dalam sekali.

Meski terus digali dan diambili, pasir dan batu-batu kecil tidak pernah habis. Sebab, setiap kali selalu dikirim pasir dan batu kecil dari Gunung Merapi. Manakala gunung yang berdiri kokoh dan anggun di ujung utara Daerah Istimewa Yogyakarta dan berbatasan dengan Jawa Tengah itu muntah, ada saja muntahannya yang disalurkan ke Kali Boyong. Kali itu memberi rezeki.

Rezeki itu berasal dari Gunung Merapi.GunungMerapi dipercaya melimpahkan rezeki kesuburan dan hasil buminya untuk masyarakat yang hidup di lerengnya. Namun ada satu syarat, tidak boleh serakah! Kalau masyarakat serakah, maka Merapi akan murka.

Namun, tetap saja, manusia dikuasai oleh nafsu keserakahan. Mereka mengerahkan alat-alat berat untuk mengeduk dan mengeruk pasir. Bahkan, orang-orang berduit banyak memodali penambangan pasir. Ratusan truk tiap hari merayap, dan menjelajahi tubuh Kali Boyong. Wong-wong cilik yang modalnya cupet dan hanya bermodalkan pacul pun tersingkir, kalah dari mereka yang bermodal besar yang mampu mengerahkan alat-alat berat.

Bagaimana wong-wong cilik, para penambang tradisional melawan para pemilik modal yang serakah? Mereka bersandar pada Eyang Woyong Geni, nama spirit yang menjaga kali itu, tutur Mas Hariadi, seorang sahabat di Yogya yang paham akan hal-hal semacam itu.

Mistisme. Ya. Segala cerita ataupun kesaksian mistis jadi alat perlawanan. Mereka hanya berharap Eyang Wong Geni berpihak pada mereka, dan meminta Merapi menggilas mesin-mesin modern. Menggulungnya hancur. Dan, berulang kali truk-truk dan alat-alat berat disapu dan ditenggelamkan muntahan Merapi. Keserakahan selalu berujung petaka.

Keserakahan ada di mana-mana, dan menjelma dalam berbagai bentuk, misalnya korupsi. Jadi keserakahan tidak hanya di Kali Boyong, tetapi di mana-mana, di kantor-kantor mewah berpendingin. Keserakahan dan keangkuhan ingin menguasai dan mengeksploitasi orang lain, menjadi godaan dasar dan musuh manusia beriman. Maka itu, keserakahan dan kekuasaan sewenang-wenang, harus dilawan.

Mereka yang berduit dan serakah, tidak pernah mempertimbangkan dan menjaga harmoni alam, selaras jagad; menyeimbangkan antara yang sekala (yang kelihatan) dengan yang niskala (yang tidak kelihatan). Terciptanya keseimbangan, keselarasan antara sekala dan niskala akan melahirkan kesejahteraan lahir dan batin.

Dengan tidak mengindahkan keseimbangan antara sekala dan niskala, sama saja mengingkari kehidupan. Bila hanya mengutamakan sekala dan menyingkirkan yang niskala, sama saja hidupnya tanpa roh, kering. Sebaliknya, kalau hanya mengutamakan yang niskala yang mengabaikan yang sekala, mengabaikan yang nyata, sama saja mengingkari kehidupan. Begitu kata sahabat saya Bre Redana yang mendalami harmoni alam.

Pendek kata, bukankah manusia hidup tidak hanya dari makanan jasmani saja, tetapi juga makanan rohani.  Itulah mengapa masyarakat Jawa (juga masyarakat lain) akrab dengan berbagai ritual seperti sedekah bumi, sedekah laut, bersih desa, grebeg dan sebagainya.

Kedua

Tetapi mengapa, nama kali itu berubah ketika memasuki Kota Yogyakarta. Di daerah Sleman orang menyebutnya Kali Boyong, tetapi di Kota Yogyakarta orang menyebutnya Kali Code. Kali yang membelah Kota Yogyakarta. Kali Boyong (Kali Code), tutur Mas Hariadi, semacam garis imajiner yang menghubungkan antara Gunung Merapi—Keraton Yogyakarta—dan pantai Laut Selatan Jawa.

Ingat Kali Code, ingat Romo Mangun. Adalah Romo Mangun yang mengubah kawasan kumuh pinggiran Kali Code menjadi hunian yang layak huni, yang manusiawi. Bagi Romo Mangun adalah sangat penting “pemanusiaan manusia” itu, termasuk manusia yang tinggal di kawasan kumuh pinggiran Kali Code, yang mungkin oleh pemerintah pada waktu itu dianggap sebagai “sampah masyarakat” yang harus disingkirkan.

Faham kemanusiaan Romo Mangun boleh dikata tak terlepaskan dari faham religiusitas. Bahwa manusia adalah mahkluk religius (homo religious), demikian setiap manusia serta-merta bersifat religius. Religius tidak harus diartikan sebagai pemeluk agama tertentu, melainkan adanya kecenderungan dan kesadaran akan yang Ilahi, yang mengatasi kekecilan manusia atau rasa kemakhlukan atau rasa ketergantungan pada sesuatu yang lain (A Sudiarja; 2015).

Maka baginya, agama lain bukan menjadi saingan, apalagi musuh, melainkan teman kerja, kolega dalam membangun kemanusiaan, khususnya dalam melayani rakyat yang miskin.

Inilah praktik hidup sebagai manusia religius yang dicerminkan dalam kehidupan yang nyata dalam semua bidang, dan dengan bekerja sama dengan semua orang apapun latar-belakangnya. Dengan cara ini, praktik hidup semacam ini, maka kecenderungan-kecenderungan komunal, yaitu kekerasan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda-beda bisa ditepis.

Ketiga

Menurut pandangan Giasuddin Ahmed (2006), penggerak revolusi hati dari Bangladesh, orang yang telah mencapai taraf ini sungguh-sungguh bebas merdeka, dan dengan daya kekuatan ini kekerasan dapat diakhiri dengan “revolusi hati yang hening tetapi penuh kekuatan.”

Yang disampaikan Giasuddin Ahmed, bukan revolusi yang hingar-bingar, yang memekakkan telinga, yang membuat bising sekaligus menakutkan; yang berbeda antara yang diteriakkan dan yang dilakukan;  dan justru merusak atau bahkan menghancurkan tatanan yang sudah ada, yang menjamin kedamaian dan perdamaian, keadilan.

Giasuddin Ahmed ingin mengatakan bahwa “revolusi hati yang bening” bukanlah revolusi yang menyarungi kemunafikan. Tidak munafik. Revolusi ini lahir dari kejujuran, kebersihan, dan ketulusan hati. Bukan mengada-ada. Bukan basa-basi. Tidak ada akhlak demikian dalam diri orang yang sudah mapan jiwa raga dalam beriman, apa pun keimanannya.

Setiap perbuatan dinilai dari niatnya. Bukankah orang yang mengasihi tidak senang dengan kejahatan? Ia hanya senang dengan kebaikan. Memang, “kekerasan selalu ada seiring dan sejalan dengan yang kudus,” menurut Mohammed Arkoun, seorang humanis Islam yang kritis.

Tetapi, bagi para penggali pasir tradisional di Kali Boyong, semuanya akan aman dan tenteram, mata pencaharian mereka tak terganggu apabila mampu menyeimbangkan antara yang sekala dan niskala, membangun selaras jagad, harmoni alam. Mereka tidak tertarik pada hingar-bingar di jalanan yang merusak tatanan kehidupan.

Mereka juga tidak tertarik pada teriakkan revolusi, meskipun diteriakkan oleh orang yang mengklaim sebagai “yang kudus” karena tampilannya belaka. Karena yang mereka butuhkan adalah “revolusi hati yang hening tetapi penuh kekuatan.”

***