Sketsa Harian [52] Kecerdasan Bertahan

Kecerdasan bertahan hidup itu mandiri tak bergantung pada orang lain. Ia selalu menggunakan otak (akal) dan ototnya (usaha) atas nama ibadah.

Kamis, 26 Desember 2019 | 06:31 WIB
0
579
Sketsa Harian [52] Kecerdasan Bertahan
Saya dan Asep Dedi (Foto: Tranti Sulastri)

Seorang lelaki membawa karung dan mencegat angkot di sebuah jalanan lengang. Kendaraan umum itu berhenti dan si lelaki memasuki tubuh mobil dengan terlebih dahulu memasukkan karungnya. Angkot kemudian melaju menuju sebuah SMA dan di depan bangunan itulah angkot berhenti. Si lelaki turun dengan kembali memanggul karungnya.

Ke halaman SMA itulah ia masuk bersama karungnya, menemui sejumlah guru di SMA tersebut yang langsung mengeremuni karung yang perlahan-lahan dibuka si lelaki. "Seragam safari ini baru datang dari Manado, bagus-bagus dan murah," kata si lelaki. Guru-guru yang saat itu sedang istirahat berebutan mencari baju safari terbaik. Beberapa potong seragam safari laku terjual.

Tiba-tiba seorang guru pria datang menghampiri kerumunan, safari baju masih teronggok di atas ubin. Dia kaget campur tak percaya melihat si pedagang baju safari yang tidak lain tetangganya sendiri. "Ah kamu rupanya, Sep! Ini 'kan jam-jam sekolah, kamu guru SMA, mengapa kamu jauh-jauh jualan di sini!?"

Si lelaki yang dipanggil "Sep" itu cuma cengar-cengir, tidak menampakkan kekagetan, perasaan bersalah, apalagi kekikukan. Cuwek saja. "Buat makan, Kang, gaji saya habis dipake nyicil rumah," kilahnya.

Demikian Asep Dedi yang saya temui kemarin di Sukabumi, Jawa Barat, menceritakan pengalamannya. Asded, demikian biasa saya memanggil, adalah teman semasa di sekolah dasar di SDN Ciawi I Tasikmalaya.

Empat dasawarsa waktu memisahkan kami, mengubah nasib kami masing-masing. Di sela-sela menikmati masa pensiunan ini, saya memang berencana menemui teman-teman SD satu-persatu, menggali kembali cerita lama mereka, ketika kami sama-sama belajar selama enam tahun di sekolah dasar.

Asded menceritakan pengalamannya dengan ringan saat saya berada di rumahnya di Cisaat, Sukabumi.

"Itu terjadi tahun 1997-1998 saat krisis ekonomi. Saya harus bertahan karena cicilan rumah yang seratus enampuluh ribuan perbulannya saja menjadi sangat berat. Gaji sebulan habis dipakai cicilan, sementara untuk makan ya berjualan baju safari," papar Asded menceritakan pengalamannya.

Ia memperoleh barang dagangannya dari saudaranya yang bertugas di kepolisian di Kota Manado, Sulawesi Utara. Dari keuntungan menjual baju safari untuk seragam PNS itulah ia mendapat untung. "Laku satu baju berarti saya dan keluarga bisa makan sehari penuh," ungkapnya. Serius.

Mau tidak mau saya merekonstruksi kembali ingatan pada masa-masa krisis ekonomi dulu. Saya bersyukur sebab lebih beruntung dibanding Asded karena saya tidak harus memikul karung berjualan baju keliling kota meninggalkan pekerjaan utama.

Perusahaan media tempat di mana saya bekerja hanya meniadakan sementara berbagai fasilitas yang selama masa normal diterima. Saya hanya menerima gaji pokok saja, itupun sudah lebih dari cukup karena saya selalu menggunakan standar "mata uang kampung". Artinya, uang sebesar itu pasti cukup karena seolah-olah saya hidup di kampung.

"Ga bawa karung pake sepeda motor, Sep?" tanya saya yang dijawab langsung, "Boro-boro punya sepeda motor, sepeda kumbang saja saya ga punya. Pakai angkot itulah saya bawa karung kemana-mana. Saya harus bertahan."

Cerita Asded mengingatkan saya pada seorang petarung mix martial art yang mampu bertahan dari gempuran lawannya yang ganas bin beringas di atas ring octagon. Lari menghindar adalah salah satu triknya. Lebih dari sekadar itu, ia mampu mengulur waktu dengan mengajak lawan masuk perangkap seni berkelahi yang dikuasainya, padahal lawan sudah unggul.

Hasilnya boleh jadi kalah angka, syukur kalau bisa dinyatakan seri. Tetapi maksud bertahan di sini adalah, bagaimana ia tidak mati kutu atau kalah KO memalukan di tangan lawannya. Ia sadar, ia tidak boleh mengecewakan pelatih, penonton, keluarga dan terutama dirinya sendiri.

Dalam permainan catur, menerapkan strategi remis (draw) dalam posisi kalah segala-galanya, juga sebentuk kecerdasan. Meski yang tertinggal cuma Rajanya sendiri sementara lawan punya segala-galanya, ia akan selalu menerapkan seni bertahan dengan membuat Rajanya tak bisa melangkah tanpa lawan menskaknya. Dengan kecerdasannya ini, ia terhindar dari kekalahan. Remis adalah pencapaian maksimal di saat sudah kalah segala-galanya.

Saya menamakan ini semua dengan "kecerdasan bertahan". Tetapi yang barusan saya ceritakan itu semacam kelanjutan dari "kecerdasan bertahan" dalam arti lebih luas, yaitu kecerdasan bertahan hidup. Mungkin istilah kerennya "Survival Intelligence".

Apa yang dilakukan Asded masuk kategori ini. Ia punya kecerdasan bertahan hidup. Ujiannya tidak harus dilepas di hutan sendirian untuk sekian lama tanpa peralalatan. Dengan memanfaatkan otak dan ototnya (berpikir dan berusaha), Asded mampu bertahan hidup sampai sekarang, sebagai guru SMA.

Soalnya, ada juga teman saya yang tidak memiliki kecerdasan bertahan hidup seperti Asded, padahal ia sama-sama lulusan perguruan tinggi, sama-sama berkuliah di sana. Ia seperti pasrah tanpa daya menahan gempuran kehidupan yang keras.

Pada satu titik ia bukannya menunjukkan diri sebagai suami sekaligus bapak yang penuh marwah, malah bikin skenario macam-macam sekadar mengetuk pintu hati kawan-kawannya agar berbelas kasihan dengan alasan ga bisa makanlah, karena anaknya mendapat musibahlah, dan cerita melankolis lainnya.

Pada mulanya memang berhasil, banyak teman yang terketuk hatinya, lalu ramai-ramai menghimpun dana. Lama-lama bosan juga karena keseringan bikin sandiwara dan permintaan beralih ke orang perorangan, tidak "rereongan" alias bersama-sama lagi. Drama sudah habis disusun, lebih-lebih sudah tak lagi dipercaya, marwahnya sebagai lelaki petarung kehidupan sudah tak bersisa.

Si teman kuliah ini memang mampu melanjutkan kehidupannya dengan cara sepeti itu. Tetapi, apakah itu bentuk kecerdasan bertahan hidup karena toh ia juga mampu bertahan?

Bukan, bagi agi saya bukan. Itu bukan sebentuk kecerdasan bertahan hidup!

Sebab, kecerdasan bertahan hidup bukan dengan cara-cara meminta-minta dan membangun drama melankolis untuk mengetuk belas-kasih orang.

Kecerdasan bertahan hidup itu mandiri tak bergantung pada orang lain. Ia selalu menggunakan otak (akal) dan ototnya (usaha) atas nama ibadah.

Asded sudah mencontohkannya.

#PepihNugraha

***

Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [51] Tak Sia-sia