Rektor Kualitas Impor

Tradisi keilmuan kita telah dirintis lama. Sejak jaman Sriwijaya, kita pernah memiliki lembaga perguruan berkelas internasional. Pada jaman Sukarno, banyak mengirim mahasiswa ke luar negeri.

Minggu, 18 Agustus 2019 | 00:06 WIB
0
342
Rektor Kualitas Impor
Mohamad Nasir (Foto: Ristekdikti)

Menristekdikti Mohamad Nasir, mewacanakan impor rektor untuk kualitas dan daya saing perguruan tinggi kita. Dengan rektor dari luar negeri, diharap kita akan memiliki perguruan tinggi berstandar internasional.

Apakah cara impor cespleng untuk mengubah Indonesia yang tidak mutu menjadi mutu? Dengan rektor-rektor kualitas impor itu tadi, seberapa tingkat capaian yang bisa diraih? Dalam waktu berapa lama? Serta, untuk apa? Prioritaskah? Proporsionalkah?

Tingkat kualitas, sertifikasi dan standardisasi, tentu saja selama ini (atau itu) akan masih dipegang oleh negara-negara adikuasa seperti AS dan Eropa. Dan itu artinya dengan ketentuan dan syarat berlaku. Meski pun sebenarnya beberapa perguruan tinggi kita masuk dalam capaian peringkat internasional yang tidak buruk, meski masih sangat minim.

Dalam sejarahnya, di kawasan Asia-Africa, Indonesia bukan negara terbelakang dalam kualitas SDM dan pendidikan secara umum. Pada jaman pra-kemerdekaan, kita telah memiliki sarjana (akademisi) yang sohor di Mancanegara. Beberapa akademisi kita, sampai kini juga banyak yang berkiprah di berbagai universitas luar negeri. Dalam berbagai kompetisi science dan technologie internasional, banyak anak-anak Indonesia memenangkannya.

Tradisi keilmuan kita telah dirintis lama. Sejak jaman Sriwijaya, kita pernah memiliki lembaga perguruan berkelas internasional. Pada jaman Sukarno, banyak mengirim mahasiswa ke luar negeri.

Bahkan, Ki Hajar Dewantrara, mampu mengembangkan sistem pendidikan nasional dari apa yang dipelajarinya dari India. Konon pola pendidikan ini diampu negara Finlandia, yang menjadikan kualitas pendidikan negara itu sebagai acuan berbagai negara.

Persoalan kita yang lebih serius, adalah soal konsistensi. Banyak hal, keputusan politik kenegaraan, acap hanya proyek ekonomi.

Maka bukan hanya ganti menteri ganti aturan, tapi juga ganti presiden ganti arah kebijakan. Bagaimana nasib mahasiswa yang dikirim ke luar negeri oleh Sukarno? Oleh rezim berikutnya, sebagian besar tak bisa balik karena dituding antek Sukarno.

Jika dilihat dari itu, perubahan apa yang hendak dicapai dengan rektor impor? Kalau mau hasilnya cespleng, perlu juga impor dosennya, mahasiswanya, tenaga administrasinya, juru parkirnya. Sebagaimana mungkin juga kita membutuhkan menteri impor, Presiden impor, parlemen impor, rakyat impor. Maka akan dengan sendirinya kita menjadi bangsa dan negara kualitas impor bukan?

Lantas di mana Nawacita Jokowi atau Trisakti Bung Karno dalam revolusi mental kita? Apalagi katanya mau berdikari, berkepribadian nasional dalam kebudayaan. Karena mereka yang bijak, seperti Ki Hajar Dewantara, ialah yang tahu batas dan karakter masing-masing.

Persoalan kita bukan lembaga pendidikan, tetapi sistem pendidikannya. Mbok nggak usah muluk-muluk, kalau mau korupsi. Urusan impor sapi saja korupsi. Oleh ketum parpol beragama pula. Lha wong impor kedelai, gula, juga dikorupsi. Yang baru saja ditangkap KPK, karena impor bawang putih!

***