Selalu Jatuh Cinta, Selalu Harus Siap Kecewa

Minggu, 6 Januari 2019 | 12:57 WIB
0
751
Selalu Jatuh Cinta, Selalu Harus Siap Kecewa
Ilustrasi jatuh cinta (Foto: Rumah Filsafat)

Ah, jatuh cinta memang berjuta rasanya. Tanya saja kepada mereka yang pernah, atau sedang, jatuh cinta. Setiap detik, hanya si dia yang muncul di kepala. Rasa rindu terus menusuk di dada, sampai waktunya tiba untuk berjumpa dengan si dia.

Di Jakarta, cinta datang tanpa diduga. Ia menyelinap masuk, ketika hati ditikam kesepian yang membara. Pasangan berganti begitu cepat, bagaikan cuaca yang tak pernah bisa tertebak. Ketika peluang untuk mendapatkan cinta menjadi begitu besar, ironisnya, kemungkinan untuk terlepas dari cinta pun juga meningkat.

Pemikir asal Slovenia, Slavoj Zizek, juga melihat sisi lain dari jatuh cinta. Baginya, peristiwa jatuh cinta adalah peristiwa kejatuhan itu sendiri. Orang seperti terlempar keluar dari hidup hariannya. Makan, tidur dan bekerja terasa tak nikmat, karena dihantui bayangan kekasih hatinya.

Jika tak diolah, jatuh cinta kerap kali hanya menjadi pengalaman sementara. Peristiwa jatuh cinta selalu berada di bawah bayang-bayang patah hati. Keduanya bagaikan dua sisi dari satu koin yang sama. Seperti diungkap oleh Gautama Buddha lebih dari 2000 tahun yang lalu, segala kenikmatan dunia, termasuk jatuh cinta, tanpa kesadaran yang tepat, akan selalu bermuara pada kekecewaan.

Ini terjadi, karena segala sesuatu berubah. Hari ini, jatuh cinta mewarnai hati. Keesokan hari, kebencian bisa menyelinap, tanpa dinanti. Apa yang ada akan selalu lenyap di kemudian hari.

Di dalam dunia yang terus berubah, bagaimana seharusnya kita mengelola cinta? Ini pertanyaan penting yang perlu dijawab. Banyak orang menderita begitu dalam, karena kegagalan cinta. Tak sedikit pula yang mengakhiri hidupnya, karena sebab yang serupa.

Dekonstruksi Cinta

Cinta lahir dari hubungan yang intensif. Di dalamnya terlibat unsur emosional maupun fisik manusia. Pada jenjang yang lebih tinggi, cinta diikat dengan komitmen untuk saling setia, dan saling mengisi hidup. Namun, lepas dari segala upaya yang dilakukan untuk bertahan, cinta pun seringkali lenyap ditelan peristiwa.

Dipahami seperti ini, apa hubungan yang paling intensif yang bisa dimiliki oleh seorang manusia? Apakah dengan kekasih hati? Apakah dengan keluarga? Satu hal yang pasti, justru dalam banyak keadaan, kekasih hati dan keluarga menjadi perusak hubungan yang telah ada. Keduanya bisa menjadi sumber derita yang tiada tara.

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat diri kita sebagaimana adanya. Setiap saat, tubuh kita selalu terhubung dengan berbagai unsur yang ada, mulai dari udara, air, sampai dengan mikro-organisme di sekitar kita. Inilah hubungan yang paling intensif terjadi terhadap manusia, karena ia tidak dapat hidup tanpa itu semua. Hubungan dengan orang lain hanya terjadi di waktu-waktu tertentu yang sifatnya terbatas.

Jatuh Cinta sebagai Cara Hidup

Jika hubungan intensif terjadi dengan berbagai elemen alami, maka bukankah ini cinta yang sesungguhnya?

Kita melupakan ini, karena kita hidup tanpa kesadaran yang mencukupi. Kita sibuk dengan ide-ide di kepala kita, sampai melupakan keberadaan kita yang sebenarnya. Jika kita sadar akan hubungan yang amat intensif dengan udara, air, dan segala bentuk kehidupa yang ada di sekitar kita, kita akan selalu jatuh cinta dengan mereka semua setiap saat, walaupun kekasih hati yang berwujud manusia datang dan pergi.

Memang, yang terpenting bukanlah obyek cintanya, seperti orang lain yang datang dan pergi. Yang terpenting adalah jatuh cinta sebagai cara hidup. Artinya, kita selalu dalam keadaan jatuh cinta, walaupun tak ada kekasih hati yang dirindukan. Di dalam keadaan jatuh cinta, orang selalu ingin menari dan bernyanyi untuk merayakan kehidupan.

Ini hanya mungkin, jika kita hidup dengan kesadaran. Kita butuh udara untuk hidup. Kita butuh air untuk hidup. Bahkan, kita butuh beberapa bakteri untuk menjalankan fungsi-fungsi organ tubuh kita. Mari kita jatuh cinta kepada mereka semua setiap saatnya, dan hidup kita akan dipenuhi dengan kebahagiaan, serta terhindar dari bencana patah hati.

Melampaui Politik Identitas

Seluruh dunia saat ini sedang dirobek oleh politik identitas. Indonesia pun tak luput. Kehidupan politik ditandai dengan perpecahan kelompok, terutama kelompok agama. Politik identitas adalah politik yang didasari sikap tertutup terhadap kelompok identitas lain, serta hanya mementingkan kepentingan satu kelompok identitas semata.

Politik identitas adalah politik tertutup. Ia menciptakan perpecahan yang amat berbahaya untuk keutuhan masyarakat plural, seperti Indonesia. Dasar dari politik identitas adalah kesempitan berpikir dan rasa takut terhadap perbedaan. Pendek kata, dasar dari politik identitas adalah ketakutan pada kehidupan.

Jika didiamkan, politik identitas akan membawa konflik berkepanjangan. Negara bisa terpecah. Keluarga dan teman saling berpisah, hanya karena perbedaan identitas primordial, seperti ras, suku dan agama. Gejala ini sudah begitu tampak di Indonesia di awal 2019 ini.

Politik identitas adalah simbol dari cinta yang terbatas. Orang hanya jatuh cinta pada satu kelompok, sambil membenci kelompok-kelompok lainnya. Pandangan ini tidak hanya salah secara moral dan juga epistemologis, tetapi juga mencipta derita yang tak perlu. Sudah dari akarnya, politik identitas tidak akan pernah bertahan, karena tidak cocok dengan cara kerja semesta.

Selalu Jatuh Cinta

Di dalam diri manusia, selalu ada dorongan untuk merentang keluar. Inilah akar dari semua keinginan dan ambisi manusia. Inilah juga sebabnya, mengapa manusia tak pernah merasa puas. Jika cintanya terbatas hanya pada keluarga, agama dan bangsanya semata, ia akan terus hidup dalam perasaan tak puas.

Politik identitas pun juga yang sama. Ia menyatukan yang sama, sekaligus memisahkan yang berbeda. Bentuk politik semacam ini mesti dibongkar dengan melihat cara kerja kehidupan sebagaimana adanya. Di alam ini, tidak ada batas yang memisahkan. Semuanya saling memeluk dan jatuh cinta setiap saatnya, asal kita mau melihat dengan jeli.

“Selalu jatuh cinta” adalah jalan hidup yang paling indah. Kita melihat udara bercinta dengan tubuh kita. Kita melihat burung bercinta dengan langit. Kita melihat ikan bercinta dengan air. Hubungan mereka intensif. Mereka saling membutuhkan, dan saling hadir satu sama lain.

“Selalu jatuh cinta” sebenarnya jalan hidup yang amat mudah. Kita hanya perlu berhenti sejenak, dan melihat…

***