Memahami Logika Para Koruptor yang Mirip Codot

Jumat, 28 Desember 2018 | 05:56 WIB
0
388
Memahami Logika Para Koruptor yang Mirip Codot
Eni Maulani Saragih (Nawacita.co)

Memahami logika berfikir para koruptor kadang bisa geleng-geleng kepala atau sekedar mengerutkan dahi. Bagi para koruptor tindakan menerima sesuatu dari pengusaha atau pihak lain terkait suatu proyek atau anggaran dianggap bukan suatu pelanggaran, karena itu haknya atau itu hanya bantuan saja. Ada juga yang beralasan atau membuat alibi bahwa itu adalah utang, bukan suatu pemberian atau gratifikasi.

Seperti terungkap dalam pengadilan tipikor dengan terdakwa anggota DPR Komisi VII Eni Maulani Saragih dalam kasus korupsi atau gratifikasi tender proyek PLN di Riau.

Dalam pengakuannya saksi Indra Purmandani yang merupakan mantan staf terdakwa Eni Maulani, mengakui pernah menerima uang dari beberapa pengusaha. Indra Purmandani menerima uang dari beberapa pengusaha tentu atas perintah terdakwa.

Bagi KPK itu sebagai gratifikasi. Tetapi bagi terdakwa, itu bukan gratifikasi. Dan Eni Maulani atau terdakwa membantah atau menolak dakwaan dari jaksa KPK kalau pemberian itu sebagai gratifikasi. Tapi sebagai CSR (Corporate Social Responbility).

"Keterangan saudara Indra, memang saya benarkan semua apa yang disampaikan Indra. Tapi, pada hari ini, saya sampaikan bahwa memang penerimaan-penerimaan itu sifatnya CSR," ujar Eni yang duduk di kursi terdakwa saat menanggapi kesaksian Indra dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (26/12/2018).

Eni Maulani Saragih atau terdakwa menganggap apa yang diterima dari para pengusaha itu sebagai Corporate Social Responbility atau tanggung jawab sosial bagi perusahaan. Malah terdakwa membuat alasan yang bikin geleng-geleng kepala, yaitu,bahwa CSR dari perusahaan itu merupakan zakat yang akan diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan di dapilnya.

Padahal sifat dari CSR adalah diberikan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dan provinsi. Dan biar CSR itu transparan atau tidak dikorupsi, biasanya perusahaan itu yang melaksanakan sendiri pekerjaannya. Baru setelah jadi, diserahkan kepada pihak pemerintah kota/kabupaten atau provinsi. Seperti waktu mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menerima CSR dari pengusaha.

Tapi kalau CSR yang diterima Eni Maulani Saragih atau terdakwa memang termasuk gratifikasi terkait suatu proyek. Dan tentu akan berhadapan dengan hukum, dalam hal ini KPK.

Bahkan pada waktu ditangkap tangan oleh KPK, yang bersangkutan berdalih dikiranya itu suatu rezeki untuk dirinya, dan bukan pelanggaran. Inilah logika para koruptor kalau sudah tertangkap oleh KPK.

Logika para koruptor mirip seperti codot.

***