Dari Psikopat ke Sosiopat

Karena setiap tindakan destruktif, entah lewat perang konvensional seperti Rusia dan Ukraina maupun perang biologi virus corona, akan bermuara pada sikap tindakan manusia.

Selasa, 19 April 2022 | 05:34 WIB
0
158
Dari Psikopat ke Sosiopat
Sosiopat (Foto: klikdokter.com)

Filsafat hidup manusia tak hanya bertengger dari pikiran (logos) yang diam. Ia senantiasa seperti burung terbang menembus cakrawala di tengah awan, angin dan badai yang juga setiap saat bisa menerjang. Karena itu filsafat manusia yang telah melawan dewa dari kungkungan mitologi, kini terus menerjang sendiri misteri pada jiwa manusia sekaligus alam semesta.

Sejak tragedi Socrates harus menenggak racun hingga tragedi Odiepus Sophocles dengan membunuh tanpa sengaja ayahnya (Laius) dan hendak menikahi ibunya (Jacosta), filsafat logosentrisme telah didaratkan secara telanjang dari kabut dan busana mitologi dan dipagut erat, sejak itu, ke dalam antroposentrisme.

Lebih dari dua milenium, antroposentrisme pun secara gelap mata dan sengaja harus menubuhkan teosentrisme dengan mendistorsi sejarah melalui revolusi kognitif yang membetot cangkang filsafat ke dalam sains empirik, mekanistik dan memuja dualisme itu — alam dan Tuhan; tubuh dan jiwa — melalui Kopernikusian dan Cartesian menjadi apa yang dikritik para filosof sainstis — dari Huxley, Popper, Kuhn, Capra hingga Nasr dan Barbour — sebagai krisis paradigmatik.

Namun untuk membumikan istilah paradigmatik itu, boleh meminjam dari ilmu psikologi dan biologi, bahwa krisis ini belum sepenuhnya bisa dilerai dari daftar metafisika dan fisika tentang ihwal penyakit yang menimpa cara berpikir manusia hanya dengan mengandalkan sepenuhnya pada akal (nous).

Karena akal sebagai pelecut revolusi kognitif masih terus dibelopoti hasil-hasil sains yang parsial dan partikular.

Belum ada rumusan semesta (science of universe) betapapun kosmologi melalui astronomi dan aureunotik baru bisa mendarat di planet bumi pada akhir 1960-an. Lebih separuh abad prestasi sains ini belum menjawab rentang bima sakti dan galaksi-galaksi yang bertabur di alam semesta. Selain itu, sains fisika dan biologi pun masih di ambang immortalitas yang guyub dan masih dianggap mengerikan ketika dihadapkan pada bunuh diri planeter.

Karena setiap tindakan destruktif, entah lewat perang konvensional seperti Rusia dan Ukraina maupun perang biologi virus corona, akan bermuara pada sikap tindakan manusia. Mari sejenak menengok pada sejarah Hitler, Musolini, Stalin, Lenin, Mao Tsetung dan Polpot sebagai suatu reaksi psikopat dan kelak bermuara pada sosiopat. 

Penyakit-penyakit insaniyah ini tak luput dari apa yang diulas oleh Frijhof Capra (83) dalam "The Turning Point“ (1982) dan S.H. Nasr (88) dalam  "The Encounter of Man and Nature“ (1968) bahwa krisis itu akhirnya berawal dari kezaliman individual manusia (hubris) dan bermuara pada patologi sosial (sociopath) yang dalam filsafat Marxisme diakibatkan runtuhnya tatanan semesta atau "cosmological return“ dari Eliade ke dalam filsafat materialisme berbentuk alienasi (Verfremdung) dan reifikasi (Verdichlung). Dan peralihan ini bisa disederhanakan dari psikopat (psychopath) atau szisoprenik ke sosiopat (sociopath) yang dekat dengan dalil Fromm sebagai "human destructiveness“ dan "insane society“ yang bangkit dari laboratorium Wuhan hingga istana Kremlin.

ReO Filsawan

***