Kehebatan Tafsir Ambyar

Kesenian, sebagai bahasa kehidupan, adalah ruang bebas tafsir. Ia bukan sebuah jabaran eksak mengenai sesuatu yang pasti.

Minggu, 10 Mei 2020 | 19:56 WIB
0
557
Kehebatan Tafsir Ambyar
Cynthia Marisca (Foto: okezone.com)

Yang hebat adalah tafsirnya, kata Pramoedya Ananta Toer tentang hidup yang sebenarnya sederhana saja. Agak sinis. Tapi bukankah yang kaya atau miskin, pinter atau bodoh, sama-sama bisa sedih, bahagia, menderita, dsb?

Hidup menjadi berbeda-beda karena kualitas atau tingkat tafsir. Itu dipengaruhi daya dan dana literasinya. Syair sederhana Didi Kempot, bisa begitu dahsyat di jemari Rama Sindhunata, atau rama pastor Mutiara Andalas SJ, yang mengatakan Didi Kempot adalah mistikus doa. Maklum keduanya belajar filsafat dan etika.

Saya tidak dalam rangka menampik. Membaca tafsir orang lain, justeru wajib untuk mengasah nalar, agar bisa mengambil hikmah. Jika Harmoko membaca tafsir Rama Sindhu atas Didi Kempot, pastilah akan berpikir ulang, ketika dulu mengejek Nia Daniati dan Betharia Sonata. Setidaknya, ia mesti mengubah strategi; Yakni, mencerdaskan kehidupan rakyat, bukannya melarang bernyanyi. Didi Kempot saja, mampu memberi virus cara menafsir patah hati dengan dijogeti, bukan ditangisi.

Lagu ‘Gelas-gelas Kaca’ yang dipopulerkan Nia Daniati, ternyata diangkat Rinto Harahap karena hatinya trenyuh melihat rumah yatim-piatu yang banyak penghuninya namun sedikit pengasuhnya. Karena itu tafsir yang baik ialah bersifat eksploratif, memperluas. Bukan justeru memutlakkan sebagai kebenaran tunggal, sebagaimana Soeharto.

Saya ingat dulu seorang kyai menyatakan lagu “Andaikan Kau Datang’ ciptaan Tony Koeswoyo, terjadi ketika leader Koes Plus itu mengalami kegelisahan jika diambil nyawanya oleh Sang Khalik.

Kalau hal itu uraian tafsir atas syair, bolah-boleh saja. Namun ketika dinyatakan sebagai sejarah penciptaan lagu, saya kira itu ngibul, dupeh dihadapan para santri. Cerita Yon Koeswoyo, lagu ‘Andaikan Kau Datang’ dikarang kakaknya karena bersimpati pada kisah cinta Yon, yang ditinggal Susy Nander, drummer Dara Puspita tour keliling Eropa. Mbak Titiek Hamzah tahu persis sejarah lagu itu.

Kesenian, sebagai bahasa kehidupan, adalah ruang bebas tafsir. Ia bukan sebuah jabaran eksak mengenai sesuatu yang pasti. Mbah Kyai Albert Einstein pernah berujar; “Semakin hukum matematika menunjukkan realitas, menjadi semakin tidak pasti; semakin pasti, semakin tidak menunjukkan realitas.”

Dunia ini kaya atau miskin, tergantung tafsir. Dahsyat dan miskinnya, tergantung bekal masing-masing. Itu hukum akal-budi. Bayangkan seorang ibu awam melihat lukisan cakar ayam Affandi. Ia bisa membandingkan dengan karya anaknya yang masih TK, yang diyakini lebih bagus dibanding Affandi. Sementara yang ngerti elan-vital dan filosofi hidup Affandi, akan berbeda pandang.

Sobat Ambyar tak perlu baper keterusan. Nanti juga akan ketemu pahlawan baru lagi. Tak bolehkah membaca tafsir orang lain? Justeru harus, karena kita akan mendapat perbandingan. Dari sana hikmat ilmu pengetahuan didapat. Meski pun yang mau lebih percaya Sintya Marisca, boleh saja. Penjoget goyang cendol itu bilang, “Nikmati saja, lagunya enak untuk goyang,…!” |

@sunardianwirodono