Dilema Difabel, dari "Pembawa Sial", Perundungan hingga Belas Kasihan

Kehadiran negara dalam memastikan pemenuhan hak penyandang disabilitas menjadi niscaya jika ingin melihat para difabel menikmati kehidupan normal layaknya non disabilitas.

Rabu, 20 Mei 2020 | 19:08 WIB
0
395
Dilema Difabel, dari "Pembawa Sial", Perundungan hingga Belas Kasihan
Rizal dan sepeda hadiah dari simpatisan (Foto: inews.id)

Tiap kali menyaksikan perundungan terutama terhadap mereka yang lemah dan tak berdaya serta merta perasaan kemanusiaan kita bergolak dan ingin pelakunya segera dihukum agar korban memperoleh keadilan.

Adalah manusiawi jika kita berharap pelaku memperoleh hukuman setimpal, kalau perlu dihukum lebih berat agar tidak mengulangi perbuatannya. Sebaliknya pada korban kita berharap solidaritas sosial. Dengan hanya menggerakkan jemari semua keinginan itu kini bisa diwujudkan.

Belakangan ada dua peristiwa perundungan yang menyita perhatian publik, yang pertama terhadap transpuan di Jawa Barat, kedua terhadap seorang anak penjual Jalangkote di Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Kebetulan pula kedua korban adalah kelompok rentan, transgender dan difabel anak (down syndrome).

Sayangnya penyelesaian masalah perundungan yang menimpa para difabel seringkali mengabaikan akar kekerasan membuat publik dan pemerintah lebih banyak bertindak sebagai pemadam kebakaran.

Berbeda misalnya dengan perundungan yang dialami seorang akibat perseteruan politik atau persaingan bisnis, perundungan yang dialami trangender dan difabel berakar jauh dalam kesadaran masyarakat.

Sebagian masyarakat yang masih melihat transpuan sebagai penyimpangan prilaku serta disabilitas sebagai kecacatan yang harus ditanggung akibat dosa masa lalu, disadari atau tidak pada gilirannya akan berujung perundungan.

Nabila May Sweetha, pelajar dan aktivis difabel di Pangkep yang tergabung dengan PerDIK (Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan) melihat masalah Rizal, difabel anak korban perundungan di Pangkep tidak lepas dari perspektif ini.

Menurut Nabila anak-anak difabel tak kurang dianggap sebagai kutukan, "Patula-tula mereka menyebutnya, bisa berarti ‘pembawa sial’ jika diterjemahkan. Pemikiran kolot itu kemudian yang membuat difabel kebanyakan disembunyikan di rumah, tersisih, atau paling buruknya dibuang".

Empati publik pada Rizal pasca perundungan membuat sesak nafas kita, namun kalau mau jujur yang dibutuhkan para penyandang disabilitas, maaf bukan belas kasihan. Penyandang disabilitas membutuhkan pengakuan serta perlindungan negara atas hak mereka sehingga bisa setara dengan non disabilitas.

Mereka berhak terlibat dalam semua aspek kehidupan, berhak punya mimpi sebagai birokrat, politisi, perupa, lawyer, pilot, dokter, virolog tanpa merasa risi dengan pandangan sinis dan sikap peyoratif masyarakat.

Menyelesaiakan masalah perundungan terhadap difabel dengan mengabaikan akar masalahnya hanya membuat posisi difabel makin tersubordinat dan dianggap sebagai mahluk lemah yang patut dikasihani.

Kehadiran negara dalam memastikan pemenuhan hak penyandang disabilitas menjadi niscaya jika ingin melihat para difabel menikmati kehidupan normal layaknya non disabilitas.

***