Rahasianya sederhana; saya membagi pakem penulisan 5W1H (What, Who, Where, When, Why, dan How) ke dalam tiga bagian; yaitu basic, intermediate, dan advance.
Selalu ada pemicu. "Trigger" kalo bahasa sononya. Pemicunya seorang dosen, Muhammad Syaid Agustiar, yang berkirim pesan lewat WA saat saya sedang memberi pelatihan menulis Opini kepada pegawai Bank Indonesia (BI) di Ubud, Bali, bersama Mbak Leila S. Chudori.
Berdua kami saling memberi pemahanan berdasarkan pengalaman selama hampir tiga dasawarsa dalam kegiatan literasi, khususnya jurnalistik. Saya selalu membuat materi berdasarkan riset. Riset sederhana adalah "mengintip" materi apa yang kira-kira bakal mantan jurnalis Majalah Tempo kenamaan itu sampaikan.
Bukan apa-apa, biar ga tumpang tindih saja, 'kan kasihan pesertanya mendapat materi yang sama. Saya akan menghindari jalan yang sama dan lebih baik menggunakan jalan setapak. Biar sunyi dan jarang dilalui, tetapi tetap sampai di tujuan.
Setelah mengetahui apa yang akan Mbak Leila sampaikan, saya membuat materi sekitar 40 halaman yang semuanya mengikuti jalan pikiran apa yang akan saya sampaikan. Lalu saya sudah punya gambaran dan menuangkannya. Malam sebelum menyampaikan presentasi, saya menuntaskan bacaan terkait.
Tetapi jujur, sebagian besar dari itu adalah hasil pengalaman. Dan.... ini jauh lebih berharga. Mengapa? Sebab sharing pengalaman dalam teknik dan kebiasaan menulis inilah yang tidak ada di buku-buku ajar yang dipegang para dosen. Karena alasan itulah saya menjadi sering mendapat undangan mengajar.
Nah, kembali kepada Pak Dosen, Muhammad Syaid Agustiar. Pesan yang saya baca, ia bertanya apakah saya masih memiliki satu eksemplar buku yang saya tulis sekitar tujuh tahun lalu, yaitu "Citizen Journalism".
Saya berempati dan merasakan betapa membutuhkannya ia akan buku itu. Saya balas, nanti saya cari sekembalinya saya ke Jakarta. Kebetulan, di perpustakaan pribadi, saya mendapatan buku yang ia butuhkan. Kepada mantan pacar di rumah, saya meminta mengirimkannya.
Saya sempat juga berpikir, kok ya masih ada orang yang membutuhkan buku itu di saat sudah tidak ada cetakan lainnya, bahkan di penerbitnya sendiri, Penerbit Buku Kompas.
Dari peristiwa yang serba kebetulan ini (jadi keingetan buku "Blink"-nya Malcolm Gladwell), yaitu saat saya memberi pelatihan menulis opini kepada pegawai BI dan permintaan Pak Dosen terhadap buku "Citizen Journalism", saya terpicu kembali untuk melanjutkan naskah buku yang terus tertunda-tunda, yaitu buku kelanjutan dari "Citizen Journalism" dengan embel-embel "Best Practise".
Di buku ini, katakanlah "Citizen Journalism 2" saya memang banyak memberi contoh bagaimana warga biasa bisa menyampaikan gagasan dan pengalamannya dalam bentuk tulisan.
Rahasianya sederhana; saya membagi pakem penulisan 5W1H (What, Who, Where, When, Why, dan How) ke dalam tiga bagian; yaitu basic, intermediate, dan advance.
Kalau di buku "Citizen Journalism" pertama saya hanya memberikan "basic" saja dari pakem Rudyard Kippling 5W1H itu, di buku yang sedang saya tulis, "Citizen Journalism 2", saya beranjak ke "Intermediate" dan "Advance".
Sessssttt.... jangan bilang siapa-siapa, ya, saya laris manis jadi pembicara atau pemateri literasi gara-gara pengundang selalu penasaran apa kelanjutan dari rumus klasik 5W1H itu untuk kepentingan menulis berbagai jenis tulisan, termasuk BI ini.
Eh sebentar ada pesan masuk, "Assalamualaikum Kang Pepih, saya Melati dari Kementrian Pertamanan Hati, apakah Akang punya waktu untuk memberi pelatihan menulis Artikel/Opini?"
Ah, kalau buat kamyu, apa sih yang ga saya kasih?
#PepihNugraha
***
Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [33] "The Death of Dad Joke"
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews