Agama Cinta: Jalaluddin Rumi, Renungan Hidup di Era Kultur Internet

Mereka memang tak bisa hidup hanya dengan roti belaka. Mereka butuh renungan, sentuhan hati, inspirasi dan meaning of life.

Kamis, 5 Desember 2019 | 10:49 WIB
0
494
Agama Cinta: Jalaluddin Rumi, Renungan Hidup di Era Kultur Internet
Jalaluddin Rumi (Foto: ngopibareng.id)

Sebuah peristiwa tak biasa terjadi. Lokasinya di Galeri Seni Holdron’s Arcade di London. Itu tahun 2016. Kurator seni Meisi Post, bersama dua alumni dari Culture, Criticism and Curation, Elliot Burns dan Jake Rees, menyeleksi dan memamerkan karya. Kali ini yang dipamerkan seleksi dari meme di internet.

Tapi seriuskah mereka ingin membuat pameran meme di galeri seni? Benarkah Meme bisa dikategorikan karya seni dan layak dipamerkan di sebuah galeri?

Dengarlah opini sang kurator. Ujarnya: Meme adalah medium kesenian yang paling demokratis yang pernah ditemukan peradaban. Ini medium seni yang paling merakyat. Lebih dari medium lain, meme itu dari rakyat untuk rakyat. Ia mudah dibuat. Ia mudah disebar. Ia mudah dinikmati.

Karena kemajuan teknologi, kita mudah mengekspresikan diri melalui meme. Tak perlu keahlian khusus melukis dan sastra untuk membuat meme.

Mudah pula kita menyebarkannya kepada publik luas. Internet sudah menghubungkan seorang individu langsung kehadapan dunia global.

Dan cepat juga kita menangkap pesan utama meme. Ada gambar yang sudah bercerita. Ditambah pula dengan teks yang umumnya kurang dari sepuluh kata saja.

Jika meme dianggap seni, tidakkah sebaiknya meme itu dikategorikan sebagai seni yang rendah? Ia berbeda dengan seni tinggi seperti lukisan para dewa seniman? Tapi apa itu seni rendah dan seni tinggi? Bukankah rasa seni tujuh miliar manusia di bumi itu beragam? Mereka tak bisa dipuaskan oleh satu bentuk seni saja? Selera yang berbeda lebih layak disebut berbeda saja, tanpa perlu dinilai tinggi dan rendah?

Pelukis Andy Warhol juga pernah dilecehkan para dewa seni di zamannya. Warhol memadukan lukisan, selebrity dan dunia iklan. Ia dianggap menjatuhkan seni lukis ke tahap sangat rendah. Tapi ternyata banyak yang menyukai lukisan Andy Warhol. Ia bahkan kini dianggap sebagai salah satu bapak pop- art.

Seni yang dituangkan dalam meme dianggap lebih radikal dari gerakan Andy Warhol itu. Yang bukan pelukispun bisa ambil bagian dalam gerakan meme. Kultur internet menjadi ibu kandung bagi lahir dan meluasnya seni dalam meme.

Terlepas dari pro kontra, ini sudah terjadi. Pameran meme kini juga digelar di galeri seni.

Saya tidak berpretensi membuat seni dalam bentuk meme. Tidak pula terlintas misalnya membuat sebuah gerakan seni dalam bentuk meme, sebagai disrupsi atas seni status quo.

Empat puluh meme yang saya buat itu lebih sebagai hobi dan kebutuhan praktis saja. Semua meme soal kutipan renungan penyair, sufi dan mistikus Jalaluddin Rumi. Semua kutipan itu dikuatkan dengan lukisan imajinatif. Tak kurang dan tak lebih, saya hanya ingin ikut menyebarkan renungan mendalam sang mistikus itu secara mudah di era internet.

Baiklah, saya mulai dengan awal perkara.

Di tahun 2009, saya berkunjung ke Hodjapasha Culture Center di Turki. Setahun sebelumnya, UNESCO baru saja mengkonfirmasi Mehlevi Sema Ceromony sebagai satu karya agung warisan peradaban dunia (Masterpieces of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Di sana, lama saya duduk terdiam menikmati tarian Darwish. Para penari berputar- putar perlahan lalu gerakannya semakin lama semakin cepat. Mereka terlihat seperti larut meditatif, trance, dan tenggelam dalam kegaiban. Sejak lama saya memang ingin melihat langsung satu peninggalan dari penyair dan mistikus Jalaluddin Rumi.

Di tempat itu, juga dijajakan banyak kutipan Rumi. Beberapa yang saya ingat, yang saya terjemahkan bebas dari bahasa Inggris: “Mengapa sepanjang hidup dirimu berjalan merangkak. Padahal dirimu terlahir dengan sayap. Terbanglah.”

Atau kutipan lain: “Kucari Tuhan di Mesjid, di Gereja, dan di Candi. Namun kutemukan Tuhan di hatiku.” Juga kutipan ini: “Apa yang dirimu cari, juga mencarimu.”

Kutipan itu intisari dalam bentuk beberapa kata saja dari renungan mendalam sebuah isu besar hidup. Isinya inspiratif. Bahasanya puitis.

Di Hodjapasha Culture Center itu datang satu rencana. Ujar saya dalam hati, pada satu waktu, saya ingin ikut menyebarkan renungan Jalaluddin Rumi kehadapan publik luas. Tapi bagaimana caranya?

**

Tujuh tahun kemudian, di tahun 2016, saya menerbitkan kutipan Rumi itu dalam lukisan digital. Sebanyak empat puluh kutipan Rumi diberikan ilustrasi lukisan digital. Terbitlah buku berjudul: “Agama Cinta: Jalaluddin Rumi dalam Lukisan Digital.”

Namun di tahun ketika buku itu terbit, saya merasa belum puas. Kurang cepat menyebarkan renungan mendalam itu dalam bentuk lukisan digital. Apalagi lukisan digital itu ada dalam sebuah buku.

Di tahun 2019, di musim pilpres, banyak sekali saya membuat meme dengan isu pilpres. Sekitar 500 meme politik itu sudah diterbitkan dalam satu buku. Judul buku itu: Katakanlah dengan Meme: Isu Pilpres 2019 dalam Genre Baru Komunikasi Politik.

Ini mungkin buku pertama kumpulan ratusan meme politik karya satu orang yang diterbitkan dalam bentuk buku. Tak hanya yang pertama di Indonesia. Tapi juga mungkin di dunia.

Selesai era Pilpres 2019, ketika selesai hiruk pikuk itu, sayapun tergugah. Aha! Mengapa renungan Rumi tak disajikan dalam bentuk meme? Ini akan menjadi meme yang inspiratif. Cukup dibaca tiga menit, namun dapat mengubah perspektif hidup.

Di tahun 2019, sepuluh tahun sejak kunjungan saya ke Hodjapasha Culture Center, terwujud sudah kehendak itu: menyebarkan renungan Jalaluddin Rumi. Mediumnya ketemu: meme. Panggungnya: internet.

Siapakah Jalaluddin Rumi? Mengapa renungannya sangat mendalam? Untuk menjawab ini, saya menyajikan dan mengedit seperlunya tulisan saya sebagai pengantar buku “Agama Cinta: Jalaluddin Rumi dalam Lukisan Digital.”

Jalaluddin Rumi menjadi penyair paling populer di Amerika Serikat (AS) saat ini. Padahal Ia sudah wafat lebih dari 800 tahun lalu. Ia juga berasal dari komunitas Muslim. Sementara Islam kini menjadi agama paling tidak populer di AS, dibandingkan agama besar lain.

BBC Culture Oktober 2014 mencoba mengulasnya, walau hanya sepintas. Buku puisi Rumi terjual jutaan kopi di AS, melampaui penyair kontemporer paling hebat dunia barat sekalipun. Puisinya dibacakan bukan saja di mesjid, tapi juga di gereja, sinagog dan universitas.

Yang membaca puisi Rumi bukan hanya komunitas sastra serius. Para selebriti dunia ikut membacanya, seperti Madona, Demi Moore, Depak Chopra.

Ada apa dengan Rumi? Namun yang lebih penting lagi, ada apa dengan kita yang tetap menyukai penyair dari abad pertengahan itu?

**

Andrew Harvey seorang akademisi agama yang banyak menulis soal Jalaluddin Rumi. Ujarnya, Rumi mengkombinasikan tiga hal sekaligus. Ia mempunyai visi spiritual yang mendalam sekelas Budha atau Jesus. Ia juga memiliki renungan intelektual yang luas seperti Plato. Dan Ia juga mahir dalam menemukan kata-kata indah seperti Shakespeare.

Gabungan ketiganya membuat Rumi bukan saja relevan bagi dunia modern. Namun kedalaman visi spiritualnya, keluasan daya jangkau intelektualnya, dan keindahan puisinya tetap sulit terlampaui oleh penyair lain.

Rumi lahir di tahun 1207, di kota Balkh, yang sekarang ini menjadi wilayah Afganistan. Di usia 37 tahun, ia berjumpa dengan Shams Tabrizi, seorang mistikus. Selama tiga tahun mereka intens sekali berhubungan. Setelah itu, Shams menghilang tanpa jejak dan berita.

Aneka analisa dibuat untuk menjelaskan hubungan Rumi dan Shams Tabrizi. Sebagian menyatakan Shams adalah guru spiritual yang sangat dikasihi Rumi. Kepadanya Rumi banyak sekali belajar. Perjumpaan keduanya sering dikisahkan dengan aneka hal gaib.

Satu versi menyatakan Shams datang ketika Rumi sedang membaca buku. Shams bertanya apa yang anda baca. Dengan tak peduli Rumi menjawab, "anda tak akan mengerti."

Lalu oleh Shams buku itu ia buang ke Sungai. Terburu Rumi menyelamatkan buku itu yang terendam di sungai. Ia kaget bukan kepalang. Ternyata buku itu sama sekali tidak basah.

Rumi balik bertanya kepada Shams: mengapa buku ini tidak basah? Padahal buku ini kau ceburkan ke sungai? Shams menjawab seperti jawaban Rumi sebelumnya: Anda tak akan mengerti.

Hubungan Rumi dan Shams begitu intens dan mesra. Sebagian menyatakan Shams adalah kekasih homoseksnya. Hilangnya Shams bahkan digosipkan karena ia dibunuh oleh orang dekatnya Rumi akibat kisah cinta homoseksual itu. Tapi tak pernah ada kepastian kebenaran soal homoseks tersebut.

Perjumpaan dengan Sham dan hilangnya sang guru secara misterius menjadi api dan bara dua buku penting Rumi: Divans- e Shams dan Masnavi. Dua buku puisi ini buah perjalanan batin Rumi hampir 30 tahun, dari saat ia berusia 37 tahun, saat pertama berjumpa dengan Shams, sampai kematiannya di usia 66 tahun.

Divans-e Shams buku cinta Rumi kepada Sang Guru. Kadang Sang Guru di sini berbentuk Shams Tabrizi. Kadang Sang Guru itu kiasan dari Tuhan. Buku ini terdiri dari 3,229 puisi dengan jumlah kalimat sebanyak lebih dari 40 ribu.

Sementara Masnavi puncak dari karya Rumi tentang perjalanan spiritual yang lebih umum. Masnavi dikerjakan Rumi lebih dari 15 tahun. Ia terdiri dari enam buku. Buku keenam tak kunjung selesai ketika Rumi wafat. Total buku Masnavi terdiri lebih dari 50 ribu baris.

Tapi mengapa Rumi penyair yang wafat 800 tahun lalu tetap menjadi penyair paling populer di masa digital kini?

Tentu analisa bisa beragam. Salah satunya manusia modern era digital semakin menjadi desa global. Mereka membutuhkan landasan spiritual dan moral yang universal bersama untuk semua. Ilmu pengetahuan sudah memberikan banyak. Namun kebutuan meaning of life bagi sebagian tak bisa dipenuhi semata oleh ilmu pengetahuan.

Dunia modern tetap menyediakan agama dan aneka kepercayaan. Tapi ketika agama yang ada semakin menjadi formal dan melahirkan sekat-sekat primordial, sebagian membutuhkan spiritualitas yang mengatasi sekat itu.

Rumi menjadi suara spirtualitas universal yang melampaui sekat. Walau datang dari tradisi Islam, Rumi mampu membuatnya universal, tanpa batas dan sekat primordial. Dalam bahasa Rumi, ia menyelam jauh ke akar dari akar dari akar agama sehingga sampai pada hati yang menyatukan semua manusia.

Puisinya tidak memihak satu agama, seperti, "Agamaku adalah cinta. Setiap hati rumah ibadahku." Atau ketika Rumi menulis, "Kucari Tuhan di Candi, Gereja dan Mesjid. Namun kutemukan Tuhan justru di dalam hatiku." Bahasa cinta Rumi gunakan. Itu membuatnya universal melampaui formalitas agama.

Banyak pula penyair dan pemikir lain menyatakan hal yang sama dengan Rumi. Namun Rumi tetap yang paling mampu merumuskannya dengan sederhana, dalam dan indah.

**

Persoalannya dimana mencari buku Divan dan Masnavi itu? Seandainyapun ia mudah ditemukan di era internet, siapakah yang cukup menyediakan waktu membaca total sekitar 100 ribu baris puisi?

Padahal banyak sekali renungan indah dalm dua buku besar itu. Selama ini dua buku besar itu hanya dibaca oleh akademisi yang berminat atau penikmat sastra yang serius saja.

Bagaimana dengan jutaan orang awam yang tak punya minat sebesar itu? Mereka tak punya waktu sebanyak itu? Namun mereka tetap memerlukan pencerahan yang sama?

Tiada yang mengatur atau merekayasanya. Setiap kebutuhan akan melahirkan responnya. Kini bertebaran di internet aneka kutipan dan potongan puisi Rumi. Bahkan sebagian sudah divideokan.

Sayapun ikut ikhtiar ini. Awalnya ia menjadi hobi belaka dan pengisi waktu luang saja. Namun semakin saya intens bersentuhan dengan Rumi, semakin saya ingin mengerjakan sesuatu di sana secara lebih serius.

Dibantu oleh teman teman pelukis, jadilah lukisan untuk kutipan Rumi. Saya mengubahnya menjadi meme.

Siapakah yang disasar oleh meme soal Rumi ini? Saya bahkan tak memikirkan kepada siapa karya ini diperuntukan. Ibarat burung, saya berkicau saja menikmati pagi dan sore. Saya hanya mengekspresikan suasana batin saja setelah membaca puisi Rumi.

Namun setelah karya selesai, tergambar segmen publik bagaimana yang sesuai dengan karya ini. Tentu pastilah yang pasar yang sesuai bukan komunitas seni yang serius. Bukan pula para kritikus yang sudah matang dengan tekak tekuk teori dan sejarah lukisan. Itu semua jatahnya para seniman sejati, yang hidupnya memang total untuk seni.

Yang mungkin paling bisa menikmati karya saya adalah publik awam biasa. Mereka tak tak punya waktu panjang untuk membaca utuh Karya Rumi. Namun renungan Rumi harta tak ternilai untuk santapan rohani.

Mereka memang tak bisa hidup hanya dengan roti belaka. Mereka butuh renungan, sentuhan hati, inspirasi dan meaning of life.

Namun mereka hanya punya waktu 3-10 menit untuk menikmati sebuah karya. Mereka tak bisa dan tak bersedia misalnya menghabiskan 5 jam untuk intens membaca sebuah buku puisi atau novel.

Segmen ini asyik didekati dengan kutipan renungan yg diperkaya oleh photo Art, atau visual art. Ini segmen yang membuka diri pada pesan lewat meme.

Tapi apakah karya yang saya buat ini ada gunanya? Adakah manfaatnya? Ada guna atau tidak itu biarlah menjadi "kesunyian masing-masing." Seperti kata Rumi: "Berkicaulah seperti burung. Tak usah peduli apakah ada yang mendengar. Tak usah peduli apa yang mereka pikirkan."

Karya ini awalnya memang hanya hobi saja. Namun alhamdulilah jika bisa menyentuh hati satu orang sekalipun.*

Desember 2019

Denny JA

***

Keterangan: Pengantar Buku “Agama Cinta: Jalaluddin Rumi dalam Meme