Gerakan Islam puritan yang merongrong ideologi negara tidak berhenti sebagai doktrin dan pengetahuan. Tapi sudah menjelma menjadi kekuatan politik.
Di Makasar ada gerombolan orang merazia buku. Berbagai buku teori politik dan pemikiran, yang membahas aliran kiri di-sweeping dari toko. Mereka meminta Gramedia Makasar tidak menjual buku jenis itu lagi.
Kemungkinan besar mereka yang merazia gak pernah membaca isi buku tersebut. Buku karangan Franz Magnis Suseno tentang pemikiran Karl Marx misalnya. Saya melihat salah seorang gerombolan memegang buku tersebut di toko buku. Sambil dengan bangganya menunjukan hasil kerja sweeping-nya.
Iya, Romo Magnis mengulas pikiran besar Marx. Tetapi kalau mau dibaca tuntas, justru isinya sangat kritis terhadap ide-ide Marxian.
Marx muda sebagai filosof sangat berbeda dengan Marx tua yang hadir sebagai ideolog politik. Tapi, mana mungkin gerombolan itu memahami perkembangan pemikiran Marx. Pokoknya sweeping. Beres. Lalu mereka merasa sedang berjihad.
Buku karangan Tan Malaka, Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika) misalnya, seperti membuka tabir jumud di kalangan masyarakat yang percaya pada takhyul. Madilog adalah panduan sederhana sebagai perumusan kembali cara berfikir yang sehat dan logis. Dengan terus menerus mempertentangkan kesimpulan.
Dari tesa, dihadapkan dengan anti-tesa, lalu didapat sintesa. Sintesa akan melahirkan tesa baru. Lalu dihadapkan lagi dengan antitesa. Lahir sintesa lain lagi. Begitu seterusnya. Itulah cara berfikir dialektis. Bahwa sebuah kesimpulan bisa terus dipertanyakan untuk sebuah kesimpulan lain.
Tapi, namanya juga Front Pemberangus Ilmu (FPI), men-sweeping adalah pekerjaan yang paling disukai. Terlihat gagah untuk melindungi agama. Padahal hanya memamerkan kebodohannya.
Aksi sweeping ini hanya reaksi bulus untuk mengangkat kembali isu komunisme. Apalagi ketika publik mulai jengah dengan gerakan keislaman yang kebablasan. Ketika wacana pembubaran FPI (Front Pembela Islam) mengemuka, mereka melakukan aksi norak itu.
Maksudnya jelas. Mereka ingin menakut-nakuti publik dengan isu komunisme. Persis seperti gaya Kivlan Zein atau omongan besar Tengku Zulkarnaen. Mereka membangkit lagi hantu komunisme tujuannya untuk membenarkan tindakan politisasi agama. Sebab hanya dengan cara itulah ketololan mereka bisa dimaklumi publik.
Bagi kaum penolak buku itu, komunisme dianggap sama dengan atheisme. Inilah yang bikin orang sakit perut mendadak. Doktrin seperti itu dijejalkan. Diterima oleh mereka yang seumur hidupnya hanya sempat membaca buku 'Doa-doa mujarabat'. Tapi belagak sok mengadili pikiran para filosof.
Saya gak tahu, apakah mereka juga menolak buku Hasan Hanafi, misalnya. Yang berjudul 'Kiri Islam'. Atau apakah mereka membenci karya-karya Ali Syariati, yang mengulas gerakan keagamaan dalam Islam berdasarkan analisa kelas dengan meminjam pisau analisa Marx.
Ah, gak mungkinlah mereka bisa berfikir sejauh itu. Hantu perlu dibangkitkan untuk menakut-nakuti rakyat. Padahal mereka sedang memperkenalkan hantu yang jauh lebih sangar : khilafah.
Beberapa buku pelajaran agama Islam untuk SMP, kita dapatkan soal khilafah ini. Buku itu mengklaim khilafah sebagai bagian dari ajaran agama. Pasti, dibuku anak SMP itu gak pernah diulas tentang khilafah yang gay. Atau pertumpahan darah sesama umat hanya untuk pengambilalihan kekuasaan dari dinasti sebelumnya.
Justru di situlah masalah bangsa ini sekarang. Gerakan Islam puritan yang merongrong ideologi negara tidak berhenti sebagai doktrin dan pengetahuan. Tapi sudah menjelma menjadi kekuatan politik.
Ibaratnya begini. Komunisme sekarang hadir sebagai hantu. Yang namanya hantu, paling kehadirannya cuma bikin kaget. Toh, kita suka nonton horor. Sejak 1966, tidak pernah ada lagi gerakan komunis di Indonesia. Semuanya sudah mati.
Tapi ideologi khilafah, hadir di Indonesia sebagai begal. Lebih jelas dampaknya. Lebih nyata ancamannya. Tidak bisa dihitung berapa banyak akibat buruk dari ideologi ini. Rata-rata teroris yang beraksi dimulai dengan keyakinan pada penegakkan khilafah.
Polisi tidak pernah difungsikan sebagai pengusir hantu. Itu urusan dukun. Tapi kalau begal, aparat harus bertindak. Sebab dampaknya nyata dan jauh lebih berbahaya.
Nah, untuk menutupi aurat politiknya yang horny ingin berkuasa, para pengasong khilafah itu membenturkan kehadirannya dengan isu kebangkitan komunis. Padahal itu hanya tipu daya mereka saja.
Aneh bin ajaib memang. Indonesia yang kadar literasinya sangat minim ini, kok bisa-bisanya ada masyarakat yang mempermasalahkan sebuah buku?
"Mas, buku ini bagus gak?" tanya Abu Kumkum. Saya melihat tangannya memegang sebuah draft buku. Judulnya 'Mati Ketawa ala Kampret!'.
Jangan ngeledek, Kum. Itu buku gue yang lagi disusun. Terbitnya mungkin akhir tahun.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews