Kalau listrik padam saja sudah begitu heboh, bagaimana menghadapi masalah hidup yang mungkin seratus kali lebih rumit ketimbang listrik padam?
Bukti Generasi Muda Cengeng?
Sejak beberapa hari belakangan ini, dapat dikatakan seluruh media heboh banget tentang "petaka dan musibah" yang terjadi akibat listrik padam.
Segala sumpah serapah berhamburan, baik dalam kosa kata yang santun, hingga tulisan yang tajam menusuk. Saya baru saja menerima panggilan telepon lewat WA dari Silvia, salah satu keponakan cucu di Jakarta. Yang dulu sejak bayi sering saya gendong dan kini sudah kuliah semester 1 di Jakarta.
"Opa, mohon maaf, baru menjawab pesan Opa. Habis ini akibat dari PLN yang telolit. Masa iya lampu mau dipadamkan, tidak ada pemberitahuan? Nah, ponsel pas baru di-charge, ee listrik padam...."
Nah, karena ceritanya kepanjangan tentang "kerusuhan" yang disebabkan ulah listrik padam, maka saya potong dengan mengatakan "Hai anak manis, listrik padam saja kok kayak hari kiamat? hahahaha".
"Aduh, mentang-mentang Opa tinggal di Australia, nggak ngerasa ya bagaimana susahnya kami ketika listrik padam? Opa tahu nggak, akibat listrik padam rice cooker tidak bisa digunakan, mau makan terpaksa beli di warung. Pusing dan sumpek mondar-mandir di rumah, tanpa ada yang mau dikerjakan. Silvia stress Opa," dan seterusnya.
Silvia biasa manja sejak kecil dan kali ini saya tidak tega memotong pembicaraannya. Saya biarkan ia mengutarakan unek-uneknya tentang betapa "sengsara" dirinya menghadapi listrik padam.
Karena telepon menggunakan fasilitas WA gratis, maka tidak masalah Silvia berbicara heboh tentang "hari kiamat " yang dirasakan selama listrik padam. Kalau ia menggunakan telepon interlokal, pasti saya cegah karena bisa habis ratusan ribu rupiah.
Giliran Saya Bercerita
Usai Silvia menceritakan berbagai "musibah" yang menimpa warga di Jakarta selama listrik padam, maka kini tiba giliran saya bercerita.
"Silvia, kalian itu generasi manja. Dulu Opa sejak kecil tidak pernah merasakan kehadiran listrik di rumah. Baru ketika Opa berusia 16 tahun dan duduk di SMP, baru bisa merasakan cahaya listrik di dalam rumah. Coba Silvia bayangkan, bukan sehari dua hari, tapi selama 16 tahun Opa hidup tanpa lampu listrik di rumah.
Baca Juga: Komedi Politik di Balik Blackout PLN dan Kongres V PDIP yang Minta Jatah Kursi Menteri
Kalau malam, Opa numpang belajar di Pos Ronda yang ada lampu listriknya. Katanya generasi milenial. Tapi masa iya listrik padam saja, sudah merasa seperti dunia mau kiamat?"
Apa jawaban Silvia?
"Aduh. 16 tahun hidup tanpa listrik? Oh My God! Kalau Silvia jangan bilang 16 tahun, seminggu saja bisa gila nih."
Ditulis from True Story
Karena tulisan ini sama sekali tidak menyangkut kehidupan pribadi maka nama Silvia adalah nama asli. Kakek dan neneknya yang sudah alm, adalah saudara saya. Tulisan ini bukan untuk menyindir siapapun. Hanya sebuah renungan pagi.
Listrik padam, heboh yang terjadi serasa dunia sedang kiamat. Apakah hal ini bukti bahwa generasi muda millenial adalah generasi cengeng?
Kalau listrik padam saja sudah begitu heboh, bagaimana menghadapi masalah hidup yang mungkin seratus kali lebih rumit ketimbang listrik padam?
Saya tidak berani menjawab,ntar bisa di somasi oleh kaum muda dan saya dicekal tidak boleh lagi pulang ke tanah air. Berbahaya tuh.
Tjiptadinata Effendi
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews