Komedi Politik di Balik Blackout PLN dan Kongres V PDIP yang Minta Jatah Kursi Menteri

Semoga saja Partai pendukungnya, yaitu PDIP dkk, bisa memberikan keleluasaan bagi Presiden Joko Widodo dalam menjalankan hak prerogatifnya.

Sabtu, 10 Agustus 2019 | 00:09 WIB
0
554
Komedi Politik di Balik Blackout PLN dan Kongres V PDIP yang Minta Jatah Kursi Menteri
Foto: Kompas.com

Sebetulnya dua peristiwa ini adalah situasi yang serius, namun saya melihat dari sisi lain yang sangat menggelitik hati saya untuk menuliskannya. Semoga saja tulisan ini bisa menghibur pembaca, bukan malah membuat keningnya berkerut.

Tadinya saya ingin merangkai tulisan ini dengan satu peristiwa lagi, yakni soal pembacaan doa Habib Riziek Shihab di Pemakaman Mbah Moen yang sangat viral itu. Ada satu situasi yang juga menurut saya sangat kental unsur komedinya, namun saya tidak sampai hati untuk menuliskannya.

Persoalan Pemadaman listrik (Blackout) oleh PLN Minggu lalu, (4/8/2019) adalah sebuah peristiwa serius yang sangat berdampak pada situasi dan keamanan negara. Itu harus diakui oleh semua pihak, namun peristiwa ini menjadi sebuah komedi politik ketika argumentasi yange dikemukakan tidak substantif.

Bayangkan sebuah Pohon Sengon efeknya sangat membahayaakan negara, dan bisa mengancam keamanan negara. Menjadi komedi politik ketika argumentasi Pohon Sengon ini dikoreksi, dan dinyatakan bukanlah Pohon Sengon yang menyebabkan Blackout.

Kenapa saya bilang komedi politik? Karena argumentasi yang dikemukakan sangat bermuatan politis, ada yang ditutupi dari situasi yang sebenarnya. Hanya PLN dan Tuhan yang tahu apa penyebab sebenarnya.

Ketika Plt. Dirut PT PLN (Persero) Sripeni Inten Cahyani, Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, Selasa, (6/8/2019), Anggota Dewan sempat menanyakan apakah peristiwa yang serupa akan terjadi kembali? Namun Sripeni tidak bisa menjamin tidak terulang lagi.

Kalau melihat dari kapasitasnya, wajar Plt. Dirut PLN itu menjawab demikian, karena background-nyo direktur Keuangan, dan bisa jadi dia memang tidak ingin menjadi Dirut PLN, sehingga dia tidak perlu memberikan jawaban yang memberikan harapan.

Persoalan dasar dari terjadinya Blackout tersebut adalah pada interconnection transmission Jawa Bali. Kelemahan sistem ini adalah memerlukan biaya yang cukup mahal dengan perencanaan matang dan disiplin tinggi.

Jadi ketahanan Nasional bisa sangat tergantung pada SUTET, sementara SUTET nya sendiri sangat rentan, sekali bermasalah maka gelaplah secara massal, dan kalau seandainya hal tersebut terjadi berhari-hari bisa chaos negara ini.

Situasi inikan komedi banget, sementara kita merasa aman-aman saja, karena ketergantungan kita pada listrik sangatlah besar. Begitu ada masalah dengan pasokan listrik, maka merembet pula pada jaringan komunikasi, putusnya komunikasi akan berakibat pula kepada yang lainnya.

Ini bukan persoalan mengatasi blackout-nya, tapi solusi kedepannya bagaimana, apakah sistem tranmisi seperti itu akan tetap dipertahankan tekhnologinya, atau ada solusi lain yang resiko untuk terjadinya Blackout tidak terulang lagi.

Selain itu tentunya Menteri BUMN sudah harus mengambil tindakan cepat untuk mencari Dirut PLN yang memang memiliki kapasitas secara tekhnis dalam pengelolaan manajemen PLN, dan mengerti bagaimana ruang lingkup pekerjaan PLN secara tekhnis.

Persoalan Blackout ini sama Komedinya dengan Ultimatum Megawati pada kongres V PDI Perjuangan, di Grand Inna Beach, Denpasar, Bali, Jumat (9/8/2019). Dimana secara terang-terangan Megawati Minta jatah kursi Menteri kepada Jokowi lebih dari 4 kursi.

Ini benar-benar komedi politik menurut hemat saya, seorang yang demokratis tidak menghargai hak Prerogatif seorang Presiden, hanya dikarenakan sebagai petinggi politik, dan Ketua Umum Partai yang mengusung Jokowi di Pilpres, dan Ikut memenangkannya jadi Presiden, maka berhak menuntut banyak dapat jatah kursi Menteri.

Padahal sebelumnya PDI Perjuangan mencemooh Nasdem, yang menitipkan banyak Nama kadernya untuk mengisi jabatan Menteri di Kabinet Kerja II Jokowi-Ma'ruf. Dan itu sudah dibantah Surya Paloh, bahwa Nasdem tidak pernah Minta jatah kursi Menteri.

Ultimatum Megawati terhadap jumlah kursi menteri yang sesuai dengan harapannya, adalah sesuatu yang sudah mencederai demokrasi, dimana dia mengintervensi kekuasaan dan hak seorang Presiden. Harusnya sebagai petinggi Partai bisa memberikan teladan bagaimana menghargai hak Prerogatif Presiden.

Peristiwa komedi politik diatas seharusnya tidak terjadi, kalau saja semua yang mempunyai otoritas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, tentunya negara ini akan berjalan sesuai dengan keinginan kita semua.

Persoalannya adalah, negara ini dijalankan dengan berbagai tumpang tindih kepentingan kekuasaan. Mari kita lihat apakah Presiden Jokowi di Periode kedua ini benar-benar tidak ada beban dalam menentukan berbagai kebijakannya, termasuk juga dalam mengatasi persoalan ketahanan Nasional yange menyangkut PLN.

Juga apakah Presiden Jokowi berani melaksanakan hak Prerogatifnya sebagai Presiden dalam memilih Menteri Kabinet yang akan mendampinginya dalam penyelenggaraan pemerintah Lima tahun kedepan nanti. Semoga saja Partai pendukungnya bisa memberikan keleluasaan bagi beliau dalam menjalankan hak Prerogatifnya.

***