Gerakan Kumpul "Kohe" alias Kotoran Hewan

Siapa tahu, kohe yang semula dianggap barang hina dan tak berguna di banyak tempat, semoga semakin hari secara luas dilihat sebagai bahan penyelamat bumi.

Jumat, 10 September 2021 | 09:17 WIB
0
181
Gerakan Kumpul "Kohe" alias Kotoran Hewan
Pupuk dari Kotoran Hewan (Foto: Dok. pribadi)

Bagi yang belum kenal istilah KOHE, ini singkatan dari "kotoran hewan". Di perdesaan, benda ini sering berceceran di jalan, karena jalan umum manusia biasanya juga menjadi jalan hewan seperti kambing, sapi dan kerbau. Semasa kecil di desa dulu, saya selalu menghindari benda ini karena bila terinjak, bau akan menyengat. Sudah bertahun-tahun lamanya, saya melihat benda ini sebagai kotoran yang tak berharga.

Namun, beberapa tahun belakangan ini, pandangan saya secara drastis berubah. Ini gara gara banyak bergaul dengan teman teman ahli lingkungan dan pertanahan. Nampaknya, kohe justru menjadi barang sangat berharga untuk dijadikan pupuk penyubur organik tanah.

Para ahli pertanahan dan pertanian tentu pengetahuan ini bukan hal baru. Bahkan kakek saya yang petani, pengetahuan tentang manfaat kohe sebagai bahan pupuk sudah melekat dalam kehidupannya. Secara ilmiah (lihat Samekto 2006 dalam Andayani dan Lasarido), konon pupuk kandang yang dibuat dari kotoran hewan (baik kotoran padat atau cair yang bercampur dengan sisa makanan) dapat "menambah persediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam

meningkatkan produksi dan mutu hasil tanaman yang dihasilkah." Katanya, pupuk kandang penuh kandungan yang sangat berguna bagi penyuburan tanah karena di dalamnya tidak hanya ada nitrogen, fosfat (P) dan kalium (K), namun juga ada unsur mikro seperti kalsium (Ca), magnesium (Mg), dan mangan (Mn). Semua kandungan itu sangat dibutuhkan tanaman untuk memelihara keseimbangan hara dalam tanah. Percaya aja deh.

Masalahanya, bagaimana kita melakukan gerakan pemanfaatan pupuk kandang yang tersebar di banyak perkampungan. Nah di sinilah pentingnya gerakan. Saya pun penasaran bagaimana memulainya. Setiap hari saya kepikiran tentang ini. Untung ada anak muda bernama Aziz, lulusan jurusan fisika di sebuah perguruan tinggi di Bandung datang pada saya dan menyediakan diri jadi relawan. Saya meminta Aziz melakukan pendataan di mana saja dan siapa saja yang memelihara ternak dan memiliki kandang di lokasi tempat kami melakukan pendampingan. Jadilah Si Sarjana Fisika ini mengurus kohe. Tentu Aziz dibantu relawan lain.

Wow..dari hasil pendataan, luar biasa. Rupanya potensi ketersediaan kohe di satu desa saja, cukup banyak. Aziz dengan tekunnya menemui pemilik kandang satu persatu dan sekaligus melakukan sosialisasi tentang pentingnya membersihkan kandang untuk kesehatan. Katanya pada warga, "kandang bersih, hewan peliharaan pun sehat dan juga pemiliknya".

Walaupun awalnya Aziz sempat dicurigai sedang mengintai ternak untuk ia curi, namun akhirnya banyak warga yang sepakat untuk bekerjasama membersihkan kandang. Setiap minggu Aziz datang mengambil kotoran hewan itu. Ember plastik bekas cat Mowilex sumbangan pabrik cat itu pun dibagikan (tepatnya dipinjamkan) untuk wadah kohe. Maka jadilah awal gerakan pengumpulan kohe.

Apa kohe itu didapat gratis? Uniknya, di daerah ini, ada ajaran agama bahwa warga desa dilarang menjual kotoran hewan. Itu kata ustad dalam pengajian di sini. Ya sudah. Walau kohe didapat gratis, namun Aziz nampaknya tak tega tak memberi apapun sebagai ganti jerih payah mereka memasukkan kohe ke ember bekas cat itu. Apalagi warga peternak ini jelas sekali bukanlah termasuk kelompok konglomerat yang ekonominya berlebih.

Karena itu, warga diberi beras sekedar untuk menambah nutrisi. Kelak, bila gerakan ini terus belanjut, warga petenak akan dibagikan karung yang sudah diisi tanaman ubi celembu yang insya Allah bisa dipanen hasilnya tiap tiga bulan.

Nah, singkat ceritera. Kohe terkumpul. Kebun komunitas yang sebelumnya dirancang untuk percontohan kebun organik (community farming) kini mulai dipenuhi kohe hasil kerja Aziz. Bu Utami, ahli pertanian lulusan UGM, mengajari teman teman yang tergabung dalam gerakan ini mengajari metode terra preta dalam mengolah tanah. Saya google apa itu arti terra preta.

"Terra preta is a type of very dark, fertile artificial soil found in the Amazon Basin. It is also known as "Amazonian dark earth" or "Indian black earth". In Portuguese its full name is terra preta do índio or terra preta de índio... Terra preta owes its characteristic black color to its weathered charcoal content, and was made by adding a mixture of charcoal, bone, broken pottery, compost and manure to the low fertility Amazonian soil. A product of indigenous soil management and slash-and-char agriculture, the charcoal is stable and remains in the soil for thousands of years, binding and retaining minerals and nutrients."

Silahkan cari sendiri informasi terkait hal ini bagi yang tertarik mendalami. Yang jelas, saya bergembira melihat proses ini. Siapa tahu, kohe yang semula dianggap barang hina dan tak berguna di banyak tempat, semoga semakin hari secara luas dilihat sebagai bahan penyelamat bumi. Sayapun setiap melihat kohe bercecaran di jalan, kini merasa sayang karena tak dimanfaatkan. Mungkin dalam hati saya, berdengung kalimat "Sayangi kohe, untuk sayangi bumi". Hehehe...

#iPras2021