Kafir Teologis dan Sosiologis, Apa Bedanya?

Kamis, 7 Maret 2019 | 10:00 WIB
0
493
Kafir Teologis dan Sosiologis, Apa Bedanya?
Ilustrasi damai (Foto: Kompasiana.com)

Ramainya jagat maya oleh pro-kontra menyoal kafir di mana seolah-olah diksi ini akan dihapus dari kitab suci Alquran, terjawab sudah. Munas Alim Ulama NU di Banjar, Jawa Barat, telah merekomendasikan bahwa NU tidak lagi menggunakan istilah "kafir" untuk warga negara Indonesia yang bukan beragama Islam, tetapi menyebutnya dengan istilah "non-muslim".

Istilah yang kemudian dipertegas oleh pimpinan sidang Bahtsul Masaail, Abdul Moqsith Ghazali, sebagai "kekerasan teologis" ini barangkali lebih didasarkan atas eufimisme verbal. Penyebutan "non-muslim" saya kira, lebih bernuansa sosiologis daripada teologis dan diksi sosiologis memang jalan keluar satu-satunya sekalipun memang tampak "radikal".

Sudah banyak sekali argumentasi pro dan kontra terhadap persolan ini dan sejauh ini dianggap telah selesai. Mengungkit kembali diksi kafir seolah membuka ruang perdebatan lama yang justru akan menambah rumit, padahal istilah kafir tentu saja bukan sesuatu yang "menyakitkan" apalagi "menakutkan".

Dalam penggunaannya yang paling klasik, istilah "kafir" sepertinya ketika dikaitkan secara teologis, ia lebih berkonotasi "tidak beriman" (naqidl al-iman) baik kepada Tuhan atau sesembahan lainnya.

Jadi, secara teologis, kafir bukanlah dikotomisasi antara "muslim" dan "non-muslim", tetapi lebih kepada mereka yang beriman dan tidak beriman.

Itulah kenapa, ada sebagian ulama yang membedakan istilah kafir secara teologis yang umumnya dibedakan ke dalam empat kategori, yaitu "kafir ingkar" (kekafiran asal karena ketidaktahuannya tentang Allah dan mengingkari-Nya baik secara lisan maupun keyakinan); "kafir juhud" (ingkar terhadap nikmat Allah); "kafir mu'anadah" (meyakini Allah, tetapi enggan mengakui secara lisannya); dan "kafir nifaq" (mereka yang meyakini Allah, tetapi terjebak dalam dosa dan maksiat).

Saya kira, berbagai tingkatan kafir diatas, juga bukan dalam konteks dikotomis antara muslim dan non-muslim, sebagaimana yang belakangan diperdebatkan.

Mungkin secara lebih luas, diksi kafir tentu saja menjadi realitas yang memiliki kerumitan tersendiri ketika dikaitkan secara sosilologis. Kafir dalam konteks ini tak lagi disebut sebagai konsekuensi atas seseorang atau sekelompok orang yang tidak beriman, tetapi dibawa lebih jauh sebagai orang-orang yang "membangkang" ('ashaw) atau mereka yang "menghalang-halangi" (imtina').

Dalam suatu kondisi peperangan (daar al-harb) yang tidak aman, maka mereka yang berupaya membangkang atau menghalang-halangi tujuan dari suatu kelompok tertentu yang mereka ikuti, lalu mereka lebih mendukung atau membela kelompok musuh, sangat mungkin disebut "kuffar" (jamak dari "kafir").

Syekh Yusuf al-Qardlawi---salah satu mufti Mesir kenamaan---telah lebih dulu mengusulkan agar istilah "kafir" diganti dengan "non-muslim", mengingat luasnya makna kafir terlebih dikaitkan dengan realitas kosmopolit warga negara dalam konteks negara-bangsa.

Dalam sebuah karyanya, "Ghairu al-Muslimin fi al-Mujtami' al-Islamiy", ia menjelaskan diksi kekafiran yang dibedakannya dalam konteks teologis dan sosiologis.

Menurutnya, makna kafir secara teologis lebih kepada suatu keadaan dimana ada orang-orang yang tidak mengakui adanya Tuhan, para nabi-Nya, dan tidak mempercayai Hari Kiamat. Sehingga hal ini, tak bisa dikaitkan dengan kelompok orang tertentu yang meyakini "sebagian" dari yang diyakini umat muslim.

Qardlawi bahkan menganggap, bahwa Alquran telah secara implisit mengajarkan untuk tidak memanggil sebutan "kafir" sebagaimana dalam berbagai diksi ayat-ayatnya yang menyebut siapapun dengan "ya ayyuhannaas" (wahai manusia); atau "yaa banai aadam" (hai keturunan Adam); atau "ya 'ibaadii" (hai hamba-hamba-Ku); atau "yaa ahla al-kitaab" (hai ahli kitab) yang secara umum mencakup seluruh manusia tanpa dibedakan secara dikotomis, baik muslim maupun kafir.

Hampir di seluruh diksi Alquran, hanya melakukan penyebutan secara langsung kepada orang-orang kafir dalam dua ayat, yaitu dalam surat at-Tahrim ayat 7 dengan menyebut secara langsung, "yaa ayyuhalladziina kafaruu laa ta'tadziru al-yauma" (hai orang-orang kafir janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini) dan surat al-Kafiruun ayat 1-6, yang diawali oleh "qul yaa ayyuha al-kafiruun" (katakanlah hai orang-orang kafir).

Menurut al-Qardlawi konteks yang disebut pertama lebih berkonotasi kepada mereka yang ingkar terhadap Hari Kiamat, sedangkan yang kedua berkonotasi kepada orang-orang kafir yang musyrik yang meyakini adanya sesembahan lainnya (watsnayain) dengan cara mencampuradukkan sisi ritualitasnya dengan ritual kelompok lain yang berbeda keyakinan.

Saya sendiri meyakini, bahwa penyebutan diksi "kafir" kepada mereka yang non-muslim serasa tidak lagi memiliki relevansinya secara teologis maupun sosiologis, karena selain kata "kafir" ini tidak monolitik pengertiannya, Alquran mengajarkan untuk tidak menyebut istilah "kafir" kecuali dalam dua hal: mereka yang tidak mempercayai Hari Kiamat; dan mereka yang mencampuradukkan akidah-nya (ritualitas keagamaan) dengan ritualitas agama lain.

Menyebut non-muslim bagi mereka yang tidak beragama Islam, selain lebih mempererat persaudaraan lintas agama, juga terhindar dari berbagai diksi "kafir" yang kontroversial dan mengundang polemik. Dan inilah barangkali, dimana Nabi Muhammad pernah melarang siapapun menuduh kafir kepada pihak lain, kecuali kekafiran akan kembali kepada dirinya sendiri.

Tidak berlebihan kiranya, jika kita merujuk pada situasi daar al-harb(wilayah perang) yang pernah terjadi di Nusantara, hampir tak pernah ditemukan diksi "kafir" untuk menyebut pemerintah Hindia Belanda yang non-muslim.

Seorang ulama keturunan Arab, Sayyid Usman yang diangkat menjadi Penasehat Honorer untuk Perkara-perkara Arab pada pemerintah Belanda pada 1891, bahkan tidak menyebut sama sekali pemerintah atau orang-orang Belanda dengan sebutan kafir.

Dalam kitabnya, "Manhaj al-Istiqamah fi al-Diin bi al-Salamah" hanya menyebut kafir sebagai entitas keyakinan yang batil (bertentangan) dengan akidah Islam. Kafir disebutnya sebagai "ahli bid'ah" yang mempercayai jin atau ramalan bintang yang memberikan manfaat atau pengaruh kepada manusia.  

Namun demikian, polemik penyebutan kafir ini seolah tak pernah ada kata sepakat, karena masing-masing tentu saja memiliki argumen tersendiri yang didasarkan atas cara pandang mereka yang beragam. Sekalipun, kemunculan istilah ini menjadi ramai dan mengemuka setelah Munas Alim Ulama NU justru mengangkat kembali tema kafir yang direkomendasikan tidak disematkan kepada non-muslim, karena mereka terikat dalam entitas warga negara.

Lebih jauh, polemik ini dikaitkan dengan konteks politik, di mana NU seolah-olah sebagai bagian dari pendukung pemerintah yang kemudian diserang oleh mereka yang berbeda pandangan politik dengan pemerintah.

Konteks politik tentu saja menarik perdebatan ini menjadi lebih sengit, terlebih di saat suhu politik memanas menjelang Pilpres 2019. NU kemudian dituduh sebagai kelompok oportunis, liberalis, dan masih banyak tuduhan lainnya yang sarat nuansa kepentingan politik. NU yang sejauh ini dekat dengan Jokowi, lalu "dihabisi" oleh kelompok-kelompok penentangnya.

Saya justru melihat, mereka yang menuduh NU berpolitik dengan fatwa "kafir" memang sejauh ini merupakan pendukung Prabowo, sehingga sulit dilihat dalam konteks diskursus agama yang lebih mengedepankan nalar keagamaan.

Yang ada justru ada semacam upaya pengalihan isu politik, dimana NU dituduh akan mengamandemen ayat Alquran dengan mengganti "kafir" dengan "non-muslim".

Bagi saya ini sangat berlebihan, terlebih banyak yang tidak memahami secara lebih jauh, bagaimana istilah "kafir" ini dapat dibagi secara teologis maupun sosiologis.

Untuk lebih memahami diksi ini memang terlampau sulit, sebab, kebanyakan jika ingin melihat konteks "kafir" secara lebih komprehensif harus merujuk pada kitab-kitab klasik berbahasa Arab.

Sebagai bahan perbandingan, menarik saya kira jika kita menelusuri makna "kafir" yang lebih luas, sebagaimana ditulis oleh Ibnu al-Mandzur dalam kitabnya, "Lisan al-'Arab".

Dalam kitab ini dikupas makna "kafir" secara etimologis dalam konteksnya yang beragam, sehingga kita lebih memahami apa dan bagaimana kafir ketika bersentuhan secara teologis maupun sosiologis.

***