Setelah mendarat di Beirut lah saya baru bikin rencana: ke mana dulu.
Ke pusatnya Hisbullah? Yang dikategorikan organisasi teroris oleh Amerika Serikat itu?
Ke Sabra Shatila? Kamp pengungsi Palestina yang dihancurkan Israel itu? Yang sudah lama saya baca buku kengeriannya itu? Karya dokter China yang jadi relawan Palestina itu?
Ke pusatnya Druz? Yang dianggap bukan Islam lagi itu?
Ke pusat bisnis Beirut? Yang didesain ulang itu? Dengan konsep public private partnership itu? Yang kontroversial itu? Yang dulunya hancur akibat perang itu?
Ke museum Khalil Gibran? Yang puisinya sering saya baca itu? Yang letaknya 3 jam di utara Beirut itu?
Atau cari visa ke Syiria dulu? Siapa tahu bisa masuk ke Damaskus? Yang jaraknya hanya tiga jam bermobil dari Beirut?
Akhirnya saya pilih tidur dulu. Ngantuknya bukan main.
Saya tidak perlu cari taksi. Sopir taksi yang mencari saya. Di kedatangan bandara Beirut. Yang melihat saya kelihatan bingung mau ke mana.
“Ke mana?” tanya sopir. Dalam bahasa Arab.
“Funduq,” jawab saya.
“Hotel apa?” tanyanya lagi.
“Hotel apa saja. Saya ngantuk sekali. Mau cepat tidur.”
“Yang bintang berapa?”
“Berapa saja. Bintang tiga boleh. Empat boleh. Jangan bintang lima.”
Itu jam lima pagi.
Masih gelap.
Sepi.
Dingin sejuk. 15 derajat.
Sepanjang penerbangan dari Qatar tadi saya tidak tidur. Empat jam setengah. Ngantuk-ngantuknya. Mestinya. Meski business class kursinya tidak bisa dibuat flat.
Tapi saya tidak ngantuk.
Banyak bacaan yang saya bawa: koran-koran Qatar. Juga New York Times. Dan Financial Times.
Juga karena tadi saya sempat tidur. Di bandara Qatar. Yang lounge first class-nya istimewa. Saya dapat rejeki. Tiket saya business class tapi dimasukkan lounge first class. Diberi kamar. Seperti hotel bintang lima. Dengan kamar mandi yang lux sekali.
Bisa tidur sebentar. Dan mandi. Dan makan. Dan lihat-lihat lobbynya yang semua kursinya sofa. Atau model bar.
Pukul 1 malam boarding. Pakai bus first class. Lihat fotonya.
Di situlah saya berkenalan: dengan orang yang sudah sering ke Beirut. Tenang. Berarti Beirut aman.
Ia orang Oman. Bahkan kelahiran Lebanon. Eksekutif perusahaan telekomunikasi Qatar: Oredoo. Yang kini menjadi pemilik Indosat.
Ia tahu Indosat. Ia tahu Indonesia.
Ngobrol pun asyik. Bahkan ia beri saya nomor HP-nya. “Kalau ada kesulitan hubungi saya, ” katanya.
Saya langsung punya kesulitan. Saya langsung minta tolong ia: minta difotokan di bus first class itu. Untuk pembaca disway.
“Datanglah ke Oman lagi,” pintasnya. Setelah saya mengaku pernah ke Oman. 40 tahun lalu.
“Semuanya sudah beda,” katanya.
“Hotel Intercontinental itu masih ada?” tanya saya.
“Masih. Tapi sudah lebih baru.”
Tentu masih ada yang tetap sama di Oman: Sultan Qabus. Pemimpin negara itu. Yang saat saya ke sana masih sangat muda.
Oleh sopir taksi ternyata saya dipilihkan hotel dekat pantai. Bintang empat. Tapi menurut penilaian saya itu bintang dua. Kalau dibandingkan dengan perbintangan hotel di Indonesia. Hanya harganya yang benar-benar bintang empat.
Tiba di hotel itu ternyata saya tidak jadi mengantuk. Begitu masuk lobbynya yang sempit terdengar suara musik yang keras. Kelihatannya dari ruang bawah tanah. Di bawah loby itu.
“Suara apa itu?” tanya saya.
“Night club,” jawab petugas hotel.
“Masih buka? Ini kan sudah jam 6 pagi?” tanya saya.
“Baru tutup nanti pukul 7,” jawabnya.
Hah?
Luar biasa Beirut ini. Night clubnya bukan sepanjang malam. Bahkan sampai jam 7 pagi.
Saya pun ingin melihatnya. Seperti apa night clubnya. “Jangan pada jam segini,” kata petugas itu. “Terlalu banyak orang mabuk,” tambahnya.
Saya tidak takut orang mabuk. Saya menuju pintu ke arah basement itu. Saya buka pintunya. Belum kelihatan apa-apa. Hanya tangga menurun. Tapi gumpalan asap rokok langsung menerpa wajah saya. Dengan kuatnya. Dengan aroma menyengatnya.
Saya tertegun. Saya urungkan niat menuruni tangga itu. Saya ingat bahayanya asap rokok. Khususnya bagi saya. Yang masih harus minum obat setiap hari.
Tapi saya tidak mungkin bisa tidur. Oleh bunyi bas dan drum yang begitu berdegub. Saya longok jalan raya. Saya lihat pantai di kejauhan. Kok ada ramai-ramai di pantai itu. Saya ke sana.
Oh ada maraton. Finishnya akan di situ. Semua pakai kostum Santa Claus. Termasuk para wanita yang berjilbab itu. Rupanya ini dalam rangka hari Natal 2019.
Itulah pertama kali saya ke pantai Beirut.
Ternyata tujuan pertama saya pantai. Bukan Hisbullah. Bukan Sabra Shatila. Bukan Khalil Gibran.
Gara-gara night club buka sampai pukul 7 pagi.
***
Dahlan Iskan
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews