Dilema Harmoni di Kerajaan Dongeng

Jumat, 23 Agustus 2024 | 15:02 WIB
0
22
Dilema Harmoni di Kerajaan Dongeng
Balada di Negeri Dongeng

Di sebuah kerajaan yang makmur dan damai, sang Raja memutuskan untuk mencari pegawai baru yang akan membantu menjalankan tugas pemerintahan. Untuk itu, diadakanlah proses seleksi yang panjang dan penuh tantangan. Setiap rakyat yang ingin berbakti, mulai dari petani hingga pendekar, turut berpartisipasi. Mereka semua melalui serangkaian tes dari uji kecerdasan hingga ujian ketangguhan.

Setelah melewati banyak tahapan, akhirnya tibalah hari pengumuman. Para peserta berkumpul di alun-alun kerajaan dengan penuh harap. Namun, kejutan besar terjadi. Pengumuman yang seharusnya mengakhiri penantian justru membuat semua orang terdiam: hasil seleksi itu dianulir!

Pak Bijak, seorang petani tua yang dihormati di negeri itu, duduk di bawah pohon ek tua di pinggir jalan, merenung. “Kenapa hasilnya bisa dibatalkan? Bukannya sudah ada yang lulus?” gumamnya sambil memandang sawah yang menghijau di sekelilingnya.

Di pasar kerajaan, kabar itu menyebar dengan cepat. Para peri, kurcaci, dan rakyat lainnya mulai membahasnya. Ada yang mengatakan bahwa keputusan ini tepat karena ada kecurangan, sementara yang lain curiga bahwa ada permainan politik di balik pembatalan ini. Nenek Penjual Bunga, yang setiap hari menjajakan bunga mawar di alun-alun, tampak khawatir. “Kalau begini terus, kapan negeri kita bisa terus damai? Yang ada malah ribut terus,” ujarnya sambil merapikan kelopak mawar di keranjangnya.

Di istana, suasananya makin memanas. Para calon pegawai yang sudah merasa lolos kini kecewa, merasa harapan mereka diambil begitu saja. Di sisi lain, mereka yang tadinya gagal mulai kembali berharap. Raja pun bingung di satu sisi, ia ingin menjaga ketenangan rakyatnya, namun di sisi lain, ia juga harus memastikan bahwa proses seleksi berjalan dengan adil.

Hari-hari berlalu, namun situasi bukannya mereda, malah semakin rumit. Negeri yang dulunya damai kini terpecah. Sebagian mendukung pembatalan sebagai langkah untuk memperbaiki keadilan. Namun, ada juga yang kecewa, menganggap keputusan itu penuh dengan kejanggalan. Akibatnya, rencana pembangunan negeri tertunda. Jalan-jalan di sekitar kerajaan yang seharusnya diperbaiki tak kunjung dikerjakan, pelayanan untuk rakyat melambat, dan suasana persaudaraan yang dulu hangat mulai pudar.

“Kita ini kerajaan kecil, tapi kok masalahnya sebesar ini,” gumam Pak Bijak sambil tersenyum pahit.

Di tengah situasi yang kacau, beberapa pihak mulai memanfaatkan keadaan. Mereka berbisik di telinga rakyat, mengadu domba dan memanaskan suasana. Alih-alih mencari solusi, situasi malah makin keruh. Kerajaan yang dulunya harmonis kini dirundung kecurigaan dan perpecahan.

Pada akhirnya, keputusan untuk menganulir hasil seleksi yang diharapkan bisa membawa keadilan justru menciptakan masalah baru. Rakyat yang dulunya hidup rukun kini saling menuding, pembangunan terhenti, dan kepercayaan kepada Raja dan pemerintahannya perlahan-lahan memudar.

Pak Bijak hanya bisa menghela napas panjang. “Membangun negeri bukan hanya soal siapa yang terpilih, tapi bagaimana kita tetap rukun dan berjalan maju bersama,” katanya dengan suara lembut.