Vaksinasi Covid dan Pemberontakan Petani Banten

Namun sebenar-benarnya pemerintah, akan tetap salah di mata kaum oposisi. Namun terkadang, kaum oposisi memang perlu ada di dalam sebuah birokrasi pemerintahan.

Sabtu, 23 Januari 2021 | 15:46 WIB
0
189
Vaksinasi Covid dan Pemberontakan Petani Banten
Ilustrasi vaksin. (Foto: klikdokter.com)

Sebanyak 15 juta dosis bahan baku vaksin Covid-19 asal China, Sinovac, tiba di Indonesia, Selasa (nasional.kompas.com, 12/1/2021).

Dilansir dari tayangan video di kanal YouTube Sekretariat Presien, bahan baku vaksin tersebut diangkut menggunakan pesawat Garuda Indonesia dan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, sekira pukul 12.20 WIB.

Hampir setahun sudah wabah Korona melanda seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Ruang gerak manusia pada akhirnya terbatasi oleh adanya virus tersebut. Berbagai upaya pencegahan dan penyembuhan telah pemerintah dan masyarakat lakukan.

Pada kenyataannya, wabah ini semakin merebak. Secara ilmu kesehatan, apabila di suatu daerah terdapat wabah atau virus yang melanda, maka perlu dilakukan langkah pencegahan dan penanggulangan. Dalam hal ini vaksinasi.

Untuk Indonesia sendiri, pemerintah terus melakukan upaya vaksinasi melawan virus Korona. Tentu, kajian yang membahas mengenai vaksinasi ini dilihat dari beberapa aspek, baik ekonomi, psikologi, utamanya terkait dampak kesehatan.

Dalam upaya vaksinasi ini mendapat banyak tanggapan dari masyarakat, termasuk politisi, organisasi masyarakat, sampai akademisi. Perdebatan ini kemudian mengkistral menjadi sebuah wacana yang terus bergulir, apalagi jika dibenturkan dengan Hak Asasi Manusia.

Dalam sejarahnya, Indonesia sendiri sudah pernah mengalami kejadian serupa. Ibarat mengaca pada masa lalu, masyarakat pernah begitu menentang bahkan sampai memberontak terhadap ‘pemerintah’ yang sedang melakukan vaksinasi.

Dalam Pemberontakan Petani Banten 1888, Sartono Kartodirdjo menuliskan bahwa penyakit cacar pernah mewabah wilayah Hindia-Belanda (Indonesia), sekitar paruh pertama abad 19. Pada masa itu, “Pemerintahan” yang masih dalam kontrol Kolonial, melakukan vaksinasi terhadap wabah tersebut.

Namun dalam pengamalan kebijakan tersebut, banyak penolakan dari rakyat Banten. Sartono menambahkan, penolakan ini terjadi karena beberapa sebab. Pertama, rendahnya pemahaman masyarakat Banten terkait keharusan vaksinasi untuk memerangi penyakit atau wabah.

Kedua, terdapat fakta arsiparis yang menyebutkan, bahwa di beberapa distrik, kampanye vaksinasi terhambat oleh ketidakmampuan jaro (pejabat setingkat desa) membujuk penduduk agar bersedia divaksinasi.

Ketiga, ketidakpercayaan masyarakat terhadap ‘pemerintahan’ dan kebijakannya. Mengingat pemerintah saat itu, bukanlah bagian dari masyarakat. Sehingga apa yang dihasilkan tentu menimbulkan kecurigaan yang besar. Puncaknya adalah kejengahan yang menimbulkan gerakan rakyat.

Adapun solusi pemerintah dalam menanggapi hal tersebut, yaitu dengan melakukan vaksinasi disaksikan langsung oleh pejabat-pejabat pamong praja yang pengaruhnya diperlukan agar kampanye bisa efektif.

Langkah ini rupanya membuahkan hasil. Pada tahun 1889, di mana vaksinasi dapat dilaksanakan di Banten tanpa adanya intervensi atau keluhan dari rakyat. Meskipun sebagian masyarakat menolak dengan anggapan bahwa vaksinasi tidak sesuai dengan keyakinan moral dan agama mereka.

Fragmen sejarah ini sedikit banyak bisa dikaitkan dengan masa kini. Bahwa terdapat persamaan dan perbedaan. Sejarah memang berulang, dengan pola dan tokoh yang berbeda.

Korelasi ini menjadi salah satu bukti dari kalam sejarawan tersebut. Persamaan dari kedua peristiwa di atas, yaitu sama-sama diadakan vaksinasi oleh pemerintah guna menanggulangi wabah atau penyakit yang sedang marak terjadi pada saat itu.

Meskipun demikian, terdapat beberapa perbedaan,

Pertama, dahulu alat/sistem informasi dan komunikasi masih sangat sulit ditemukan sehingga sosialisasi atau kampanye vaksinasi menjadi sangat terhambat. Hal ini menimbulkan minimnya pengetahuan rakyat mengenai vaksinasi.

Dari minimya pengetahuan ini, masyarakat tentu sangat asing dengan adanya vaksinasi dan tentunya beranggapan bahwa vaksin itu berbahaya. Bahkan prasangka buruk pun tak terhindarkan lagi hingga pernah terjadi pemberontakan karena hal ini pada tahun 1820 di Banten.

Namun jika kita lihat pada konteks waktu saat ini, justru informasi dan komunikasi sangat mudah ditemukan dan bahkan kita sering menggunakannya hingga detik ini. Tentunya dengan adanya hal ini, arus informasi menjadi sangat lancar dan cepat.

Berbagai kajian dan sosialisasi kegiatan vaksinasi ini menjadi sangat mudah disebar kepada masyarakat melalui media sosial maupun alat elektronik lain. Berbagai upaya pemerintah Indonesia dilakukan agar rakyat bersedia untuk divaksin guna kesehatan bersama.

Walaupun arus informasi dikatakan lancar, namun hambatan nampaknya masih terus ada. Hambatan itu bisa berupa penyebaran hoaks atau informasi yang tidak valid sehingga menimbulkan keresahan sebagian masyarakat Indonesia.

Contohnya seperti desas-desus adanya dampak mengerikan jika masyarakat melakukan vaksinasi. Dampak buruk ini kata sebagian masyarakat Indonesia, sangat mempengaruhi sistem kerja tubuh walaupun tidak dirasakan secara langsung, namun berjangka.

Selain itu, timbul banyak kecurigaan pula bahwa adanya vaksinasi ini dimanfaatkan oleh elit pengusaha untuk memperoleh banyak keuntungan finansial. Walaupun berita-berita tersebut kurang berdasar, akan tetapi justru masyarakat Indonesia banyak yang percaya.

Baca Juga: Empat Alasan Mengapa Perlu Juga DIbuka Vaksinasi Bebayar Lewat Swasta

Penyakit masyarakat Indonesia hingga saat ini yaitu gampang menerima informasi atau berita tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu. Hal ini sangat disayangkan ketika kita melihat juga perkembangan signifikan dari sistem/alat informasi dan komunikasi di Indonesia.

Hambatan lainnya adalah intrik politik yang masih memanas antara pemerintah dengan kaum oposisi. Terkait hal ini, pemerintah sebetulnya sudah menyangkal menyangkal kecurigaan kaum oposisi mengenai vaksin.

Bahkan presiden pun bersedia divaksin terlebih dahulu untuk membangun kepercayaan rakyat terhadap vaksinasi. Namun sebenar-benarnya pemerintah, akan tetap salah di mata kaum oposisi. Namun terkadang, kaum oposisi memang perlu ada di dalam sebuah birokrasi pemerintahan.

***