Fakta atau Opini? Atau Fakta tentang Opini?

Bahwa yang dikutip itu opini dan tanpa perimbangan dengan opini lain, itu merupakan penodaan kesucian fakta. Karena fakta yang dimaksud tidak dalam konteks, melainkan hanya sebatas teks.

Rabu, 25 Maret 2020 | 08:06 WIB
0
460
Fakta atau Opini? Atau Fakta tentang Opini?
Ilustrasi fakta dan opini (Foto: Editorial.id)

Media massa, mau cetak, online, audio-visual di Indonesia, masih merupakan bagian dari masalah bagi bangsa dan negara. Walaupun semua lembaga publik, yang jualan apapun di ruang publik, pasti menyantumkan visi dan misi kemuliaan mereka. Tapi kalau praktiknya sering berlawanan, atau bahkan ingkar?

Celakanya, ada yang ingkar karena sengaja dan ingkar karena bodoh. Dan itu bisa terjadi untuk yang bernama Tempo, Kompas, CNN, atau BBC, apalagi berbagai media online abal-abal yang pakai web gratisan.

Mungkin karakter medianya, namun menulis berita hanya dengan mengutip satu narasumber, untuk sesuatu yang interpretative dan menyangkut hajat-hidup orang banyak, saya kira hal itu masuk kategori dekaden. Jika jaman dulu ada yang dinamakan mengutip press-release, jaman kini bedanya melalui interview, meski tak jarang pula wawancara via telpon, atau bahkan sambal lalu via whatsapp.

Di situ tragedi ‘fakta adalah suci’ (fact is sacred) dalam sebuah pemberitaan. Bahwa wartawan mengutip omongan orang, adalah fakta (artinya, bukan opini wartawannya). Tetapi bahwa yang dikutip adalah opini, dan tanpa perimbangan dengan opini lain, hal itu merupakan penodaan kesucian fakta. Karena fakta yang dimaksud tidak dalam konteks, melainkan hanya sebatas teks.

Belum lama lalu, ada berita cukup bagus sepertinya, setidaknya dengan argumentasi narasumber. Bahwa jika Presiden Jokowi tidak melakukan lockdown, ia berpotensi melanggar konstitusi. Demikian berita yang saya maksud, mengutip omongan juru bicara PKS (yang katanya juga disuarakan presiden PKS).

Pernyataan nara-sumber itu bagus, karena berdasar pembacaannya atas UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan dan Kesehatan (istilah lain untuk lockdown). Sayangnya, meski disebutkan pasal-pasal, berita tersebut sama sekali hanya bersumber dari satu pihak, atau tepatnya satu orang. Jika pun disebut pihak lain, hanya dikutipkan dengan kata “di satu sisi Jokowi menyatakan,…”.

Apa yang dikatakan nara-sumber bukanlah fakta, tetapi interpretasi. Fakta dalam dunia pers bukan bagaimana peristiwa wartawan mendapat data. Namun apa yang disampaikan oleh data.

Itu persoalannya. Bahwa ada “peristiwa pernyataan”, memang. Tapi pernyataan dari opini atau interpretasi narasumber bukanlah fakta. Dan karena itu, bisa tidak suci.

Interpretasi narasumber yang superlative, bisa lamis dan amis (sekalipun faktual ia mengatakan ‘itu’). Apalagi dalam kasus penyebutan pasal UU Kekarantinaan itu, narasumber hanya berdasar satu-dua pasal yang menguatkan agumennya. Ia sama sekali tak menyinggung pasal lain, bahwa hal tersebut menuntut syarat dan ketentuan berlaku.

Pada sisi itu, membicarakan UU dari satu pihak, apalagi satu orang, menjadi tidak kredibel untuk sebuah ‘kebenaran’ yang dibayangkan sebagai fakta.

Jika saya tak begitu kecewa pada PKS, karena saya kira demikian karakter partai itu. Sah-sah saja secara demokratis, meski tidak bijak. Yang lebih saya kecewakan, media yang menulis berita itu.

Saya tidak tahu siapa yang bodoh, reporter atau redakturnya. Atau memang niatnya mau memakai hal itu sebagai framing? Mangkanya kini banyak artis media yang lebih banyak muncul karena kontroversinya?

Saya tidak berani mengritik media. Nanti saya bisa dibunuh dan tidak popular. Mending ngritik penyanyi ndangdhut saja! 

***