Nostalgia Rumah Bahagia

Cinta memperoleh pemenuhannya bukan pada apa yang bisa ia dapatkan, melainkan pada apa yang bisa ia berikan.

Selasa, 31 Desember 2019 | 07:34 WIB
0
257
Nostalgia Rumah Bahagia
Ilustrasi Natal (Foto: centroone.com)

Setiap Natal tiba, tahun baru menjemput, ada kerinduan pulang ke “rumah” (home). Itu bukan kecengengan sentimental, melainkan panggilan eksistensial. Makhluk hidup memang mengidap sejenis penyakit yang tak bisa disembuhkan, kecuali bisa kembali ke “rumah” asal atau menemukan rumah baru, tempat harapan masa depan bisa menetas dan berkembang. Itulah nostalgia (dari kata Yunani nostos = rindu rumah, dan algos = sakit), yang berarti homesickness.

Setelah mengembara ribuan mil, kura-kura dan burung-burung pulang ke asal kelahiran untuk bertelur atau menjalin perkawinan di tempat kehidupan pertama kali tumbuh. Dengan kapasitas otak yang lebih besar, pengertian pulang ke rumah bagi manusia tidak mesti kembali ke titik yang sama di muka bumi. Meminjam ungkapan Shoshana Zuboff (2019), “Rumah adalah tempat di mana kita bisa mengetahui dan diketahui, mencintai dan dicintai. Rumah adalah kemampuan penguasaan, kehangatan percakapan, kerapatan pergaulan, kedamaian pesanggrahan, ruang berkembang, berlindung dan berpengharapan.”

Demikianlah, Natal dan tahun baru adalah ritus peralihan sebagai bantalan kelahiran kembali dengan menarik manusia ke “titik keberangkatan dan kepulangan”, tempat memulihkan keriangan, cinta kasih, semangat berbagi, dan persatuan keluarga. Kebahagiaan hidup bersama dimulai dengan menyalakan cahaya cinta.

Memulihkan cahaya cinta memancarkan keindahan dalam diri. Jika ada keindahan dalam diri, ada harmoni dalam rumah. Jika ada harmoni dalam rumah, ada ketertiban dalam kehidupan bangsa. Jila ada ketertiban dalam bangsa, ada kedamaian di dunia.

Sebaik-baik rumah, seperti diingatkan ayat dalam Bible, ialah rumah yang dibangun dengan kebijaksanaan, ditegakkan dengan pengertian, yang setiap kamarnya diisi pengetahuan dengan segala kekayaan keriangan dan kemuliaan. Rumah kebajikan Samaritan yang pintunya senantiasa terbuka penuh cinta untuk yang lain. Sebaik-baik Natal adalah Natal yang semangatnya diperlebar.

Natal tidaklah menjadi natal tanpa suatu hadiah. Dan tiada hadiah yang lebih berharga daripada cinta. Ia adalah obat bagi yang sakit, lilin bagi kegelapan, semen bagi retakan, dan asa bagi kebuntuan.

Saat langit mendung dikepung awan curiga, tenunan sosial robek dicincang belati kebencian, kesenjangan meluas dipacu keserakahan, semangat kelahiran dan kehangatan Natal seyogianya tak sekadar ritual musiman bagi sesama penganut, melainkan merembesi setiap relung ruang dan waktu. Setiap hari adalah natal, setiap ruang adalah rumah kasih.

Seperti kata Konfusius, keutuhan keluarga menjadi fondasi keutuhan bangsa. Mimpi kita bernegara adalah membangun rumah kebahagiaan bagi semua kalangan. Kebahagiaan bersama itu bisa terengkuh manakala kita bersambung rasa, berbagi rezeki. Bukan seberapa banyak diberikan, melainkan seberapa kasih mendenyuti pemberian.

Persatuan dan keadilan kita kembangkan didasari keyakinan akan sifat-sifat “kehanifan” (kecenderungan pada kebaikan) kespiritualitan, kemanusiaan, kebangsaan, kedaulatan dan keadilan. Alhasil, usaha menguatkan rumah keluarga itu harus dikembangkan secara simultan dengan usaha menguatkan “rumah kebangsaan” (rumah Pancasila).

Demi menguatkan “rumah kebangsaan”, kita harus keluar dari politik ketakutan menuju politik harapan. Untuk itu, suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki, feodalisme dan apatisme menuju penciptaan pemimpin publik dan warga negara yang sadar. Bahwa ketulusan cinta pelayanan bisa menghidupkan bumi dari kering ketandusan.

Cinta yang tulus tak akan goyah hanya karena ekspresi kebencian yang lain. Lagipula, lawan sesungguhnya dari cinta itu bukanlah benci, melainkan masa bodoh. Cinta dan benci masih tersambung oleh biokimiawi perasaan yang sama dengan hasil yang berbeda. Membenci bisa merupakan efek dari mencintai. Namun, masa bodoh pertanda tak memedulikan dan tak menghargai karena ketiadaan cinta.

Maka, hidupilah cinta dengan tak bermasa bodoh terhadap keberlangsungan bangsa. Bung Hatta mengingatkan, “Teluk yang molek dan telaga yang permai, gunung yang tinggi dan lurah yang dalam, rimba belantara dan hutan yang gelap, atau pun pulau yang sunyi serta pun padang yang lengang, semua itu bagian dari Tanah Air yang sama kita cintai. Semuanya itu tidak boleh asing bagi kita. Dan kita bersedia menempuhnya satu per satu, di mana perlu.”

Dalam memenuhi panggilan Ibu Pertiwi itu, para pembesar terhormat sebagai elit negeri memikul tanggung jawab yang lebih besar (noblesse oblige). Dalam kaitan ini, Sjafruddin Prawiranegara mengingatkan, “Apabila para pemimpin rakyat pada suatu saat tidak sanggup lagi bekerja betul-betul untuk kepentingan rakyatnya, apabila kedudukan atau kursi sudah menjadi tujuan dan bukan lagi menjadi alat, maka yang akan mengancam negara kita ialah bahwa demokrasi akan tenggelam dalam koalisi dan kemudian koalisi akan dimakan oleh anarki, dan anarki akan diatasi oleh golongan-golongan yang bersenjata itu.”

Cinta memperoleh pemenuhannya bukan pada apa yang bisa ia dapatkan, melainkan pada apa yang bisa ia berikan. Mencintai sesuatu berarti menginginkannya hidup. ”Apa yang kuharap dari anakku, sudahkah kuberikan teladan baginya. Apa yang kuharap dari rakyatku, sudahkah kupenuhi harapan mereka,” ujar Lao Tzu.

Ujian cinta dibuktikan dengan pengorbanan, seperti Jesus yang siap mengorbankan dirinya demi keselamatan warga bumi. Setiap Natal tiba, saatnya mengisi kembali baterei cinta, dengan menghidupkan jiwa pengorbanan, demi kebaikan-kebahagiaan keluarga dan negeri tercinta. “Cintailah satu sama lain,” ujar Jesus dalam Perjanjian Baru (John 13: 34).

Nabi Muhammad menggemakan anjuran ini dengan bersabda, “Engkau akan melihat orang beriman dalam perangai belas kasih, saling mencintai serta berbagi kebaikan satu sama lain.”

Yudi Latif, Direktur Sekolah Pancasila

***

Keterangan: artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Harian Kompas, Kamis, 26 Desember 2019.