Film tentang ikan yang sama sekali tidak mengerikan ini, sebenarnya hanya ingin mengejek betapa menyedihkannya kondisi agama dan praktek beragama di hari ini.
Saya tentu saja tak berkendak, membandingkan keduanya. Di luar merasa tidak punya kapasitas, tentu tak pantas. Apa yang salah tentang agama di hari ini? Tidak ada, tapi lebih tepatnya tidak tahu. Ada, tapi menjabarkannya: terasa menjadi atheis lagi. Lebih seperti getaran cinta, hanya bisa dirasakan tapi selalu gagal menangkapnya. Seperti aliran strum, kadang menyengat keras, kadang hanya bikin geli tapi tetap terasa merasa jeri.
Namun perbolehkan saya bercerita tentang sebuah film yang barangkali tidak pernah edar di bioskop-bioskop Indonesia. Sebuah film yang menggambarkan kerumitan suasana dunia saat ini. Betapa tidak mudahnya melihat segala sesuatu dengan kacamata kuda. Betapa semua persoalan tergantung pada di titik mana kita berdiri, dari atas memandang kebawah atau sebaliknya, atau berdiri sama tinggi namun dengan jarak yang berbeda-beda.
Film ini berjudul Fishing Salmon in Yemen (2011), sebuah cerita tentang seorang syeik dari negeri yang selalu dianggap ambigu. Negara di jazirah Arab, tepat di bawah pantat Saudi. Negeri yang sangat miskin, tetapi memiliki para syeik yang hidup bergelimang kemewahan.
Sedemikian kayanya, sehingga ia bisa memiliki istana yang sedemikian indah di pedalaman Inggris yang saya pikir bahkan orang-orang terkaya di induk negara persemamuran, yang bisa memilikinya serupa hanya hitungan sepuluh jari. Sebuah istana yang divisualisasikan mengakomodasi kegemaran si syeikh untuk memancing ikan salmon. Dan kegilaannya makin menjadi ketika ia ingin memindahkan ikan salmon tersebut ke negerinya sendiri: Yaman!
Dari sinilah kita bisa mengeksplorasi alur dan inti ceritanya, betapa terkadang tidak sederhananya sebuah hubungan, namun juga sebaliknya sedemikian sederhananya semua hal tersebut. Dari film ini, saya bisa mengerti tentang banyak hal terutama tentang orang Yaman itu sendiri. Mulai mempercayai bahwa mereka yang dulu disebut Orang Handramaut itu bisa pergi jauh bermuhibah ke bumi Nusantara, menyebarkan sebuah agama. Dengan bekal apa? Berdagang sambil membawa "keyakinan"-nya!
Dalam film ini membawa keyakinan bahwa ikan salmon dapat dibudidayakan di Yaman. Migrasi dari habitatnya di negara sub-tropis ke negara tropis. Dengan siapa ia bekerjasama? Dengan orang-orang yang semula tidak memiliki keyakinan sama sekali dengan proyeknya. Orang-orang yang menganggap idenya mustahil dan non-sense secara teoritis.
Apa pintu masuknya? Di luar berapa pun bisyanya tersedia, ternyata bagian paling penting adalah menentukan public relations yang tepat!
Di sinilah terjadi adi akting antara dua figur Hollywood favorit saya Ewan McGregor yang berperan sebagai Dr. Alfred Jones seorang ahli perikanan dan Emily Blunt yang berperan sebagai Harriet Chetwode-Talbot (sebuah nama yang rumit khas British).
Suatu urusan yang mulanya sekedar proyek investasi belaka, namun kemudian melibatkan Pemerintah Inggris yang ingin menggunakannya sebagai upaya memperbaiki citranya sebagai negara yang sesungguhnya memang menjadi sponsor terorisme. Nyebahi!
Dan konteks fundamentalisme dan terorisme inilah yang sukar dilenyapkan dari tlatah ini. Sebuah harga yang harus dibayar oleh negeri yang disebut-sebut memiliki banyak keutamaan dalam Kitab Suci. Sebagai negeri yang penduduknya adalah umat yang paling pertama merasakan segarnya air telaga dari Rasullulah.Sedemikian mulianya negeri ini sehingga sebuah hadist mengatakan bahwa Penduduk Yaman, tentara Allah di masa terjadi fitnah. Jadi makin paham kan kenapa Wahabi Saudi sedemikian membenci negeri ini yang disengsarakan sepanjang waktu.
Bagi saya film ini sesungguhnya sebuah film komedi-romantis ala orang Inggris yang serba canggung, namun memiliki bakat kejujuran dan keterbukaan yang aneh. Bagaimana mereka sangat agnostik (baca: tidak suka agama), tetapi sangat mudah jatuh dalam aura spiritualitas. Bagaimana seorang dari negeri yang sangat fundamentalis, tidak mengenal demokrasi, sangat mudah jatuh dalam kekerasan tiba-tiba dengan enteng menjadi sangat humanistik.
Ia bisa menjadi sangat tidak menganggap penting agama. Bagaimana mungkin? Mungkin, jika ia telah selesai dengan segala jenis upacara, pengerahan massa, mencari umat, dan yang terpenting segala tetek bengek tentang mengejar kemakmuran. Sekalipun jadi absurd karena ternyata dimana-mana kemakmuran itu justru tumbuh paling subur di tengah kemiskinan yang sangat.
Film tentang ikan yang sama sekali tidak mengerikan ini, sebenarnya hanya ingin mengejek betapa menyedihkannya kondisi agama dan praktek beragama di hari ini. Ia sama sekali tidak membebaskan, bila tidak ingin justru memenjarakan manusia. Agama di mana tempatnya, banyak kehilangan spiritualitas yang sesungguhnya jadi intinya.
Orang beragama di hari ini seperti ikan yang kemana-mana membawa akuarium kecilnya! Terkungkung, terjebak, terjerat tapi sedemikian bangga berlebihan dan mudah jadi sombong lalu merendahkan orang lain!
Silahkan memilih mana yang lebih baik untuk kita: agama atau spiritualitasnya....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews