Kiat "Kompas" dan "Pikiran Rakyat" Siasati Hari-hari Sulit Media Cetak

Menyiasati kesulitan-kesulitan itu, pada akhirnya, hampir semua koran memiliki edisi e-newspaper. Dengan mengelola e-paper secara serius, maka perusahaan koran akan memasuki bisnis data.

Rabu, 18 September 2019 | 06:07 WIB
0
715
Kiat "Kompas" dan "Pikiran Rakyat" Siasati Hari-hari Sulit Media Cetak
Ilustrasi koran (Foto: Kompas)

Sudah sebulan harian Kompas, dan beberapa minggu Harian Pikiran Rakyat di pojok kanan  halaman utamanya mencantumkan pemberitahuan tentang halaman e-paper. Kompas mencantumkan kalimat “20 Halaman/24 Halaman e-paper.” Sedangkan Pikiran Rakyat menuliskan : (16 halaman print/20 halaman e-paper). Artinya, Kompas cetak terbit dengan 20 halaman, dan di e-paper 24 halaman. Pikiran Rakyat dengan 16 halaman cetak dan 20 halaman e-paper.

Itulah kiat Kompas dan Pikiran Rakyat menyiasati hari-hari sulit media cetak. Industri media cetak memang sedang limbung. Gabungan internet dan smartphone menyebabkan pola baca berubah. Tiras koran turun. Iklan pun beralih ke dunia digital. Padahal selama ini pendapatan utama koran adalah dari iklan. Dengan iklan itu pula koran mensubsidi pembaca.

Belum lagi  dolar yang makin mahal sehingga harga kertas pun naik. Anjloknya iklan dan semakin mahalnya harga kertas  menyebabkan perusahaan media cetak harus mengurangi tiras dan menipiskan halaman.

Hampir semua media cetak menurunkan tiras cetak dan mengurangi jumlah halaman. Data Serikat Perusahaan pers menunjukkan, sejak 2008 hingga 2014, oplah harian menunjukkan tren naik, meski jumlah medianya naik-turun.

Pada 2008, total oplah harian tercatat 7,49 juta. Tahun-tahun berikutnya, angka itu terus naik. Pada 2014, total oplah telah mencapai 9,65 juta. Namun, kenaikan itu berhenti pada 2014. Pada 2015 oplah mulai melorot, hanya 8,79 juta, turun 8,9 persen dari tahun sebelumnya. Ia bahkan lebih kecil dibanding total oplah pada 2011. (Tirto.id)

Kompas pernah perkasa dengan menerbitkan edisi ulangtahunya ke-50. Kompas edisi hari Jum’at, (28/11/14) adalah edisi khusus 100 halaman dalam bingkai ‘Menatap Indonesia 2015″, dengan harga Rp4.000, dan edisi Hari Ulangtahun ke-50 pada 26 Juni 2016. Sekarang tebalnya hanya 20 halaman. Pikiran Rakyat pernah terbit 48 halaman pada edisi HUT ke-50, Maret 2016 dengan harga Rp 2.900. Sekarang terbit hanya 16 halaman.

Di lain pihak, isu paperless juga menyebabkan konsumsi kertas menurun, termasuk menurunnya minat konsumsi koran, maka permintaan akan kertas koran pun turun.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Misbahul Huda,industri kertas cukup tertekan karena tidak terlalu banyak orang yang membaca media cetak. Hal itu karena saat ini sebagian orang telah beralih ke teknologi. “Isu paperless misalnya koran atau media cetak agak turun. Mana ada sih sekarang yang masih suka baca koran sebagian ada yang pakai gadget,” ujar Misbahul sambil seperti dikutip Detik.com.

Maka pabrik kertas banyak yang terpukul. Sebagian gulung tikar, yang lain beralih menjadi produsen kertas karton (kardus) dan tisu.

Sekarang ini jumlah rumahtangga yang berlangganan pun turun. Keluarga muda dengan suami istri yang bekerja, dan anak-anak yang sejak pagi berangkat sekolah, tidak lagi sempat membaca koran. Belum lagi perkembangan kota yang meluas ke pinggiran yang memaksa mereka harus berangkat sepagi mungkin jika tidak ingin terjebak macet. Jadi kedatangan koran pagi hari pun percuma, karena penghuni sudah berangkat.

Faktor lain, semakin sulit mencari loper koran zaman sekarang. Begitu mempunyai sepeda motor, anak muda lebih memilih menjadi pengemudi ojek online ketimbang jadi loper korang. Jadi supir ojek online bisa mengatur waktu kerja, sementara kalau menjadi loper koran harus bangun antara jam 02.00 – 03.00 dini hari. Tidak ada libur, karena koran hari minggu pun terbit. Selain itu, keuntungan dari menjadi loper tidak begitu besar.

Menyiasati kesulitan-kesulitan itu, pada akhirnya, hampir semua koran memiliki edisi e-newspaper, atau e-paper agar pembaca di manapun bisa membaca berita hari ini. E-paper bisa diakses dengan smartphone kapan dan di mana pun si pembaca berada.

Menyediakan e-paper adalah sebuah keharusan untuk mengikat pembaca fanatik. E-paper bisa disisipi berita terbaru (update news) bahkan breaking news. Selain itu, pengelola juga bisa memasukkan news video maupun podcast. Jadi beruntunglah media yang memiliki platform cetak, online, televisi dan radio. Semuanya bisa diintegrasikan di dalam e-paper.

Dengan adanya e-paper, model bisnis konvensional di e-paper masih bisa berlangsung, yaitu berjualan iklan dan sirkulasi. Hanya saja kreativitas dan penguasaan teknologi audio visual menjadi mutlak.  Iklan di e-paper bisa berbentuk video. Konten videografis sangat diperlukan.  Dengan demikian iklan-iklan kreatif bisa diakomodasi di e-paper. Pentarifan bisa dipaketkan (bundling) dengan iklan cetak.

Model bisnis konvensional yang lain adalah  menarik uang langganan. Para pengguna membayar uang langganan dengan berbagai opsi: langganan mingguan, bulanan, tiga bulanan, enam bulanan hingga setahun. Kompas dan Pikiran Rakyat masih menerapkan sistem langganan berbayar.

Cara berlangganannya pun opsional, mulai dari langganan sebulan, enam bulan, sampai setahun, dan dipaket dengan koran cetak. Variasi tarif langganan Kompas mulai dari Rp 98.000 sampai 1.920.000. Pikiran Rakyat menetapkan tarif Rp 30.000 sampai Rp 270.000. Harga paket koran cetak dengan e-paper diharapkan masih bisa memperpanjang umur media massa.

Maka tugas pemasaran menjadi berat karena harus mencari orang yang mau membayar pada saat banyak informasi gratis. Bagaimana meyakinkan publik untuk mau mengunduh aplikasi (apps) e-paper. Marketing harus mencari cara kreatif, karena kebanyakan orang memegang gadget tidak untuk mencari news. Bagian marketing commnucation harus mendidik publik tentang perlunya membaca informasi terverifikasi.

Baca Juga: Asal Muasal Kompas [26] Pembentukan Kader

Namun, bila berhasil menggaet pelanggan dalam jumlah besar, maka ada keuntungan lain yang tidak pernah ada sebelumnya, yaitu data pelanggan. Selama ini agen-agen koran tidak pernah mau menyerahkan data pelanggan kepada penerbit. Wajar saja, mereka takut data itu digunakan langsung oleh penerbit untuk berhubungan dengan pelanggan, padahal mereka membangun relasi pelanggan selama puluhan tahun. Untuk keperluan data itu, kelompok Kompas dan Jawa Pos bahkan membuat perusahaan distribusi sendiri.

Tapi dengan era sekarang, kombinasi paket print dengan e-paper menjadikan data itu dimiliki penerbit. Para pelanggan print diberi hak gratis untuk membaca e-paper. Untuk bisa membaca e-paper, pelanggan harus mengisi formulir online (e-form) data-data diri seperti nama, alamat, jenis kelamin, hobi dan lain-lain.

Selain data-data dasar pribadi, maka pengelola e-paper juga bisa mendapatkan statistik kepembacaan. Penerbit bisa mengetahui berita apa yang paling banyak dibaca, pada jam berapa, dengan gadget merk dan tipe apa.

Selain itu, karena ada juga yang meregistrasi dengan akun media sosial (facebook), maka pengelola akan bisa menganalisis jaring pertemanan si pembaca maupun status-status yang mencerminkan karakter dan minat pembaca. Bila kemudian e-paper ini di masukkan menjadi link di web media yang bersangkutan, maka dengan Google Analytics, data itu semakin kaya. Data affinity dan in-segment market di Google Analytics dengan jelas menunjukkan minat si pembaca dan jenis informasi apa yang dicari dari web itu.

Jadi dengan mengelola e-paper secara serius, maka perusahaan koran akan memasuki bisnis data. Amatan saya, sangat sedikit perusahaan media yang mau memanfaatkan data ini untuk membuat sebuah perencanaan konten dan penyusunan model bisnis baru. Banyak perusahaan media yang memandang era konvergensi itu hanya sekadar “memindahkan konten print ke online.” 

Artinya, medianya baru, cara berpikirnya konvensional. Padahal era disrupsi itu justru membuka kesempatan baru: era big data. Data dengan asas 3V: Volume, Variety, dan Velocity itu harus dimanfaatkan menjadi model bisnis baru.

Jadi apakah e-paper akan menyelamatkan media cetak? Bisa, kalau manajemen punya visi yang komprehensif tentang era konvergensi. Bisa, kalau pengelola hirau akan manajemen data di balik e-paper.

***

Keterangan: Tulisan telah tayang sebelumnya di blog personal Budhiana Kartawijaya dengan judul Kertas Mahal, e-Paper Alternatif?