Natura Est Speculum Animae: Melihat Malabencana Alam dari Filsafat Al-Razi

Kalau menurut Al-Razi bahwa alam ini merupakan pancaran jiwa manusia. Maka mulailah kita membangun jiwa yang damai. Jiwa yang tanpa gelombang dan badai. Agar perut bumi ini tidak lagi bergejolak.

Minggu, 11 Juli 2021 | 19:12 WIB
0
255
Natura Est Speculum Animae: Melihat Malabencana Alam dari Filsafat Al-Razi
Doa-doa semesta. Ya, Allah, dengarkanlah!

Pagi sepi. Siang lengang. Senjakala luka. Malam temaram. Subuh jatuh.  Pagi datang lagi. Doa-doa semesta. Ya, Allah, dengarkanlah seruan kami!

Kalender di dinding menyobekkan lembarnya. Telah berganti hampir dua kali. Jadi, lebih dari setahun Pandemi Covid-19 mendera dunia. Kita was-was. Semua cemas. Hari ini, ada doa bersama. Semua agama satu hati. Seperti doa-doa semesta.

Dalam  hati, seperti ada bisikan. “Begitulah doa sejati. Tentang yang baik-baik saja!”

Lepas siang tadi. Semua kegiatan kami berhenti. Yang phubbing bisa menahan diri. Saya yang kejar-tayang, berhenti. Semua kami ikut doa. Larut depan televisi.

 Usai acara itu. Saya menulis di beranda Fb. Juga memuat foto ini. Demikian bunyinya.

“Tuhan, kabulkanlah permohonan kami.
Amin. Saya dan keluarga ada bersama miliaran manusia, hari ini merasa debu di hadapan Tuhan, Sang Khalik dan sumber segala kehidupan serta segala yang ada. Minggu, 11-07-2021.”

Saya sempat membagi "ungkapan hati". Semacam kegelisahan jiwa saya itu. Sahabat saya, Dodi Mawardi membalas. "Kita memang harus lebih mendekatkan diri pada Allah!"

Saya merasa sedikit lega. Di saat begini. Kita memerlukan satu sama lain. Di kala saya merasa takut dan cemas, ada yang meneguhkan....

Saban hari. Dan sangat jelas. Saya dengar pengumuman itu dari pengeras suara. “Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Telah berpulang Saudara kita xxxxx.”

Kemaren (10 Juli 2021), tiga kali. Sepagi ini, hari ini dari kemaren, sekali. Dalam hati bertanya, “Hingga bila pengumuman seperti itu terdengar?”

Hari ini, 11 Juli 2001. Lebih kaget lagi. Menerima kabar tiga dukacita di WAG. Satu kawan kantor lama, satunya kenal. Dan... satunya keluarga. Satu lagi. Baru Jumat kena. Sore tadi tiada. Sangat kenal. Handai tolan. Dan pernah ke rumah, sebulan lalu.

Ini soal kemanusiaan. Bagi saya, kemanusiaan di atas segala-galanya. Hati ini bukan saja trenyuh. Melainkan bertanya-tanya. “Tuhan, hingga bila bencana ini?"

Di balik keputusasaan, tebersit secercah harapan. Saya lalu membaca apa yang disebut penyakit menular, sampar, epidemi, dan penyakit mematikan di masa lalu. Dan kini pandemi Covid-19. Intinya: setelah mencapai puncak. Gak tahu. Tiba-tiba saja sampar penyakit itu menghilang.

Apakah itu gejala alam?

Saya lalu teringat seseorang. Saya pernah belajar filsafat formal selama lima tahun. Filsafat Yunani kuno, filsafat Barat, Filsafat Timur, hingga filsafat Timur Tengah. Sejatinya, dari kacamata filsafat, Timur Tengah di abad 8 hingga awal alaf kedua, benar-benar tengah. Ia menjembatani dunia Yunani kuna dan filsafat serta ilmu pengetahuan modern, atau western itu.

Saya ingat Al-Razi. Siapa dia?

(Sebelum posting narasi ini, saya minta dikritisi 3 sahabat. Seorang Doktor. “Tak ada halangan,” kata mereka. Meski seorang menyatakan, ada satu yang sebaiknya gak usah masuk. Dan sudah saya sisihkan).

 Abu Bakr Al-Razi, bernama lengkap Abu Bakr Muhammad b. Zakariya al-Razi alias Rhazes (865-925) adalah filsuf Islam yang sangat mashyur, sekaligus kontroversial. Di antara kaum muslim sezamannya, pria berkebangsaan Iran (Khurasini) yang berpangkat tabib di sitana Abbassi ini ahli di bidang pengobatan. Ia menulis sekitar 200 buku tentang kosmologi, astronomi, dan filsafat.

Di balik kata-kata keras Al-Razi tersimpul makna teologis-eskatologis yang sangat dalam. Manusia adalah pusat dan tujuan segala kegiatan di bumi yang fana ini. Dan jika dalam mekanisme dari segala kegiatan dan tujuan itu tidak terarah kepada sumber dan muasal nafs (Allah), dengan akal budinya, manusia harus insyaf. Segera kembalilah ke jalan yang benar. Ingatlah bahwa dunia ini bukan asal dan tempat tinggalmu.

Karena kontroversial, sebagian besar ajaran Al-Razi dimusnahkan. Ia misalnya, dengan lantang mengritik ajaran tertentu. Menurutnya, ilmu tentang obat-obatan, logika, astronomi jauh lebih berguna daripada apa pun. Tak mengherankan, pandangannya serta merta menuai bantahan. Salah satu oposan ajaran Al-Razi ialah Abu Hatim Al-Razi, penganut aliran Ismailiyyah.

Terlepas dari pemikiran filsafatnya yang kontroversial, Al-Razi meninggalkan sebuah untaian mutiara sangat berharga. Ia mengatakan, “natura est speculum animae” (alam semesta adalah cerminan jiwa). Kata-kata hikmat sarat kebijaksanaan ini terkenal di Eropa pada abad pertengahan.

Sebuah hikmat yang masih tetap laku hingga hari ini. Dan kebenarannya bisa kita saksikan dan rasakan, ketika akhir-akhir ini, kita dikejutkan dengan teror Bu Corona dan Pak Covid. Kiranya, renungan falsafati Al-Razi patut kita camkan: Natura Est Speculum Animae.

***

Semasa hidup, Al-Razi dipuja, sekaligus dihina. Ia diangkat, sekaligus dihujat. Filsafatnya yang bertumpu pada rasionalitis dan eklektis, membuatnya bebas bergerak. Ia yakin bahwa Allah, yang telah menganugerahkan kepada manusia akal budi, tak bakal mencabutnya kembali. Dan dengan akal budi itu manusia harus mengupayakan kemaslahatan bersama.

Itu sebabnya, Al-Razi menyatakan, “Apa yang baik dan berguna bagi manusia, lebih penting dari apa pun.”

Karena ajarannya yang mengutamakan kemaslahatan umat manusia serta keahliannya di bidang pengobatan sangat luar biasa, Al-Razi sangat dipuja. Namun, filsafatnya ditolak. Ia dituduh sebagai kafir. Tulisan-tulisan aslinya dimusnahkan.

Ketika di hari tuanya Al-Razi menjadi buta, ia mendapatkan cela. Orang menganggapnya sebagai pertanda. Al-Razi tentu kena azab murka Allah karena ide-ide liarnya. Ia dibutakan untuk melihat yang lahir, tetapi pada saat bersamaan dicelikkan mata batinnya untuk lebih mengenal Allah. Penilaian manusia dan penilaian Allah sungguh berbeda!

Dunia ini bukan asal dan tempatmu!

Filsafat yang dibangun Al-Razi sangat rapi dan tersistematisasi yang terdiri atas lima fondasi kekal atau al-qudama al-khamsa, yakni: (1)  al-Bari atau Pencipta, (2) al-nafs (jiwa abadi manusia), (3) al-maddah (materi abadi), (4) al-makan (ruang mutlak abadi), dan al-zaman atau al-dhar (waktu mutlak abadi).

Kelima fondasi itu saling berinteraksi. Nafs (manusia) misalnya, hidup tetapi tidak tahu tujuannya yang benar. Karena itu, nafs cenderung menguasai al-maddah (materi), namun terlena pada kenikmatan dunia. Nafs cenderung pada hiburan dan nafsu badani, lupa akan hal-hal rohani yang menjadi tujuannya.

Akan tetapi, Allah Maha Rahim. Ia penuh belas kasih dan melimpahkan kepada nafs akal budi, yang merupakan zat ilahinya sendiri. Akal budi merupakan pancaran ilahi. Allah membekali manusia akal budi ini untuk selalu ingat dan selalu insyaf  bahwa dunia ini adalah fana. Dunia ini hanya sementara. Dunia ini bukan asal dan tempat kehabagiaannya.

Karena itu, nafs harus tetap waspada. Ia harus tetap menggunakan akal budi untuk mengatasi kemerosotan-kemerosotan yang menghinakan derajat dan martabatnya sebagai makhluk tertinggi ciptaan Allah. Ketika manusia khilaf akan hal itu, ia diperingatkan. Bahwa dunia ini bukan asal dan tempatnya yang abadi. Dan tempat dan asal yang abadi itu ialah Allah.

Maka yang berasal dari Allah, kembali jua kepada Allah. Dan kembalilah puluhan ribu saudara-saudara kita   kepada Allah, asal dari segala kehidupan. Lama mereka telah menderita. Allah sudah melihat dan mendengar. Allah sayang pada mereka. Kini mereka berada di pangkuan Allah. Dunia ini bukan asal dan tempatmu, maka kembalilah kepada segala asal sejati. Kalian  telah menemukan kebagaiaan sejati.

Manusia sebagai pusat
Ajaran filsafat Al-Razi, acapkali ditafsirkan dangkal. Seolah-olah ia mengatakan tidak berguna perkara yang lain dan cenderung mengedepankan ilmu yang langsung dapat dipetik manfaatnya oleh manusia.

Manusia ini bukan hanya terdiri atas ruh, tetapi juga badan, maka yang kasat maka terlihat langsung ialah aspek raganya. Itu sebabnya, Al-Razi memaklumkan, apa pun yang tidak dapat menciptakan kemaslahatan umat manusia, tidak penting.

Natura est speculum animae (alam semesta adalah cerminan jiwa)

--Al-Razi 

Sebenarnya, di balik kata-kata  keras Al-Razi tersimpul makna teologis-eskatologis yang sangat dalam. Manusia adalah pusat dan tujuan segala kegiatan di bumi yang fana ini. Dan jika dalam mekanisme dari segala kegiatan dan tujuan itu tidak terarah kepada sumber dan muasal nafs (Allah), dengan akal budinya, manusia harus insyaf. Segera kembalilah ke jalan yang benar. Ingatlah bahwa dunia ini bukan asal dan tempat tinggalmu.

Ketika syair lagu Ebiet G. Ada “Berita kepada Kawan” dan lagu Bimbo “Tuhan” dilantunkan dan mampir ke telinga kita di hari-hari terakhir ini, kita jadi insyaf bahwa “Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa”. Bahwa “Tuhan tempat aku berteduh, di mana aku mengeluh”.

Doa-doa kita semua sama. Doa-doa semesta sama. Kita semua tunduk tafakur, sujud, mohon ampun atas segala dosa dan salah kita. Semua dari kita, tak pandang suku, bangsa, dan agama, sehati sesuara memuliakan Tuhan yang sama, Tuhan Yang Esa. Dari timur sampai ke barat, dari abad ke abad, Allah telah menghimpun umat-Nya ke dalam pelukan-Nya.

Al-Razi sudah mengingatkan bahwa badan itu fana, tapi hati abadi. Karena itu, melalui bencana yang meluluhlantakkan umat manusia. Sebenarnya, Allah telah memperingati kita semua. Ia menyadarkan kita. Bahwa dunia ini bukan asal dan tempat kita tinggal. Kita harus kembali kepada-Nya dengan rapor yang baik sebagaimana tertulis dalam batu mizan kita masing-masing.

Kalau menurut Al-Razi bahwa alam ini merupakan pancaran jiwa manusia. Maka mulailah kita membangun jiwa yang damai. Jiwa yang tanpa gelombang dan badai. Agar perut bumi ini tidak lagi bergejolak.

Dan malabencana segera lalu dari muka bumi.

Amin!

***