Hidup yang Paripurna

Kamis, 21 Maret 2019 | 22:30 WIB
0
443
Hidup yang Paripurna
Ilustrasi (Foto: Rumahfilsafat.com)

Setiap orang ingin hidupnya penuh. Ini berarti, ia ingin bahagia bersama orang-orang yang dicintainya. Ia juga ingin hidup berkecukupan. Bisa dibilang, hidup yang penuh dan utuh adalah tujuan tertinggi yang bisa dicapai seseorang.

Namun, hidup yang penuh tidak terjadi begitu saja. Jaman kita penuh dengan hal-hal yang membuat hidup menjadi sempit dan rumit. Penderitaan mencengkram siapapun, tak peduli kaya atau miskin, sehat atau sakit dan cakap ataupun buruk rupa. Hidup yang penuh harus dibentuk secara cermat.

Kita harus memiliki pemahaman yang tepat, guna mencapai hidup yang penuh, yakni hidup yang paripurna. Pemahaman itu tidak boleh hanya diam menjadi teori. Ia harus menjelma menjadi perilaku sehari-hari. Tanpa pemahaman yang tepat, hidup hanya menjadi langkah-langkah kecil penuh derita menuju liang kubur.

Tiga Hal Dasar

Pertama, kita harus paham, bahwa hidup bukanlah pikiran, emosi ataupun tubuh yang kita punya. Hidup adalah energi yang menciptakan dan menggerakan semua itu. Ia adalah sesuatu yang menjadi latar belakang dari pikiran, emosi maupun tubuh kita. Energi kehidupan bersifat abadi. Ia tak pernah diciptakan, dan tak akan lenyap.

Dua, tentang pikiran dan emosi, keduanya adalah bentukan dari pola asuh yang kita dapatkan. Ia tidak alami di dalam diri kita. Cara kita menanggapi suatu keadaan adalah suatu bentukan dari pola didik yang ada di dalam diri. Pendek kata, pikiran dan emosi adalah “sampah” dari beragam hubungan sosial yang telah ada sebelumnya.

Tiga, tubuh juga merupakan kumpulan dari semua makanan yang telah kita makan. Semua makanan tersebut diubah oleh energi kehidupan, sehingga menjadi tubuh yang kita punya sekarang ini. Jadi, kita bukanlah tubuh kita. Jika ini tidak dipahami, hidup hanya akan menjadi upaya dangkal untuk mempercantik dan mempersehat tubuh tanpa henti. Ini adalah sia-sia.

Kita paham, bahwa pikiran, emosi dan tubuh bukanlah diri kita yang sebenarnya. Kita pun kembali menjadi “kehidupan” itu sendiri. Kita menggunakan pikiran, emosi dan tubuh seperlunya. Segala masalah dan derita terjadi di tingkat pikiran, emosi dan tubuh. Energi kehidupan selalu jernih dan baik-baik saja.

Hubungan dengan Orang Lain

Hubungan dengan orang lain amat mempengaruhi hidup kita. Satu hal yang pasti, bahwa hubungan dengan orang lain tidak pernah bersifat mutlak. Bahkan, pernikahan dan keluarga pun adalah hubungan yang terus berubah. Ia perlu dikelola secara bijak dari saat ke saat, supaya bisa berjalan dengan baik, dan memberikan kebahagiaan.

Jika anda ingin memiliki hubungan yang mutlak, anda harus memiliki hubungan dengan Tuhan. Hubungan dengan orang lain hanya menempati tingkat kedua semata. Beberapa agama besar memberikan peluang untuk ini dalam bentuk kehidupan monastik. Semua ini bisa dilakukan, asal orang bisa hidup sebagai “kehidupan” itu sendiri, dan tak terjebak pada pikiran, emosi maupun dorongan-dorongan tubuhnya.

Politik pun memainkan peranan penting dalam hidup kita. Tak peduli politik berarti kita hidup dalam penjajahan orang lain yang mungkin berniat jahat. Tak peduli politik, termasuk golput, adalah sikap miskin pemahaman yang bermuara pada hancurnya kebaikan bersama. Beberapa hal kiranya penting diperhatikan soal politik.

Kehidupan Politik

Pertama, kiranya tepat yang dikatakan Aristoteles, bahwa hidup yang penuh dan utuh hanya dapat dicapai di dalam keterlibatan sosial dalam hidup bersama. Orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri tak akan pernah bisa hidup secara penuh. Hidupnya tak seimbang, dan cenderung jatuh ke dalam penderitaan.

Dua, ini rupanya juga sejalan dengan ideal di dalam pandangan Zen Asia tentang Boddhisatva. Ini adalah konsep untuk menjelaskan orang-orang yang sudah menyadari dirinya sebagai “kehidupan”, lalu bergerak menolong semua mahluk. Keterlibatan jelas diperlukan disini. Namun, keterlibatan yang terjadi lebih menyeluruh, karena menyentuh semua mahluk, dan bukan hanya manusia.

Berpolitik, dengan demikian, adalah jalan untuk mencapai hidup yang paripurna. Ia bisa ditafsirkan sebagai upaya untuk terlibat di dalam terciptanya kebaikan bersama di masyarakat, juga untuk semua mahluk. Secara sempit, ia bisa ditafsirkan sebagai upaya untuk merebut berbagai kedudukan kekuasaan politik, supaya bisa menciptakan kebaikan yang lebih besar.

Apapun yang dilakukan, semuanya berakar pada “kehidupan”, dan bukan pada pikiran, emosi ataupun dorongan tubuh semata. Arahnya pun juga jelas, yakni untuk menolong semua mahluk. Inilah hidup yang paripurna.

***